PROBLEMATIKA DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA


BAB II
KAJIAN TEORITIS
A.      Kebijakan Penegakan Hukum
Kebijakan adalah kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan; rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak pemerintah; pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran dari haluan-haluan pemerintah mengenai moneter perlu dibahas oleh DPR (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 149).
Sedangkan penegakan adalah proses, cara, perbuatan, menegakkan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 1155). Selain itu hukum memiliki beberapa pengertian atau definisi dari hukum, antara lain:
Hukum adalah:
1.    Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah;
2.    Undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat;
3.    Patokan (kaidah,ketentuan) mengenai peristiwa (alam, dsb) yang tertentu;
4.    Keputusan (pertimbangan) yang diterapkan oleh hakim (di pengadilan); vonis. (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 410)

Hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat (Van Kan dalam Soeroso, 2009: 27). Hukum ialah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat, yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau keadilan (Borst dalam Soeroso, 2009: 27).
Jadi, kebijakan penegakan hukum adalah usaha-usaha yang diambil oleh pemerintah atau suatu otoritas untuk menjamin tercapainya rasa keadilan dan ketertiban dalam masyarakat dengan menggunakan beberapa perangkat atau alat kekuasaan negara baik dalam bentuk Undang-undang, sampai pada para penegak hukum antara lain polisi, hakim, jaksa, serta pengacara.
Bangsa yang beradab adalah bangsa yang menjalankan fungsi hukumnya secara merdeka dan bermartabat (Erwin, 2011: 132). Merdeka dan bermartabat berarti dalam penegakan hukum wajib berpihak pada keadilan, yaitu keadilan untuk semua (Erwin, 2011:132). Sebab apabila penegakan hukum dapat mengaplikasikan nilai keadilan, tentulah penerapan fungsi hukum tersebut dilakukan dengan cara-cara berpikir yang filosofis (Erwin, 2011:132).
Penegakan hukum yang dilakukan dengan nilai-nilai filosofis , pada hakikatnya yang merupakan penegakan hukum yang menerapkan nilai-nilai (Erwin, 2011:133) yakni sebagai berikut:
1.      Nilai kesamaan, yang berarti bahwa kesamaan itu hanya sama dengan sama.
2.      Nilai kebenaran, yang berarti bahwa kebenaran itu benar dengan benar.
3.      Nilai kemerdekaan, yang berarti bahwa sesuatu hal itu hanya merdeka dengan merdeka.
Refleksi keadilan pada penegakan hukum tersebut senantiasa pula dtitikberatkan untuk mengejar kebenaran. Dan semuanya itu berpulang pada setiap yang berada pada struktur hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan aparatur penegak hukum yang dapat bertanggung jawab, baik kepada suara hatinya, maupun kepada masyarakat, dan Tuhan. Dengan sikap yang bertanggung jawab, tidak sulit bagi hukum untuk memberi keadilan, kepantasan dan kemanfaatan (Erwin, 2011:133).
“Berikanlah kepada saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang paling buruk pun, saya akan menghasilkan putusan yang adil” (Taverne dalam Erwin, 2011:133). Penegakan hukum selalu atas nama negara (Ali dalam Erwin, 2011:133). Penegakan hukum diyakini untuk menjamin dan melindungi kepentingan masyarakat. Jaminan yang harus ada agar nilai-nilai dan asas-asas dari penegakan hukum dapat diterapkan fungsinya yakni harus ada pengawasan terhadap kemungkinan penegak hukum menyalahgunakan kekuasaannya, selain itu harus pula ada jaminan perlindungan agar penegak hukum dapat secara bebas, tanpa rasa takut melaksanakan nilai-nilai dan asas-asas penegakan hukum (Erwin, 2011:133)
       Dalam pasal 27 UUD 1945 dengan jelas tercantum:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Rumusan tersebut mengandung makna bahwa semua warga negara Republik Indonesia memiliki persamaan hukum dan hak-hak yang sama di hadapan pemerintah. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak boleh ada yang dinamakan diskriminasi terhadap warga negara. Bahkan tafsiran tersebut juga menyangkut prinsip persamaan itu berlaku bagi siapa saja, apakah ia seorang warga negara atau bukan, selama mereka adalah penduduk Negara Republik Indonesia (Azhary, 2004: 208).
Asas penegakan hukum adalah pengelolaan pemerintahan yang professional harus didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan hukum dan penegakannya secara konsekuen, pertisipasi publik dapat berubah menjadi tindakan publik yang anarkis. Publik membutuhkan ketegasan dan kepastian hukum. Tanpa kepastian dan aturan hukum, proses politik tidak akan berjalan dan tertata dengan baik (Komaruddin dan Azyumardi, 2008: 162).
Momentum gawat (crucial) yang terjadi pada peralihan dari staendestaat ke negara modern dan negara hukum. Di Eropa negara hukum (rechtstaat) muncul berkaitan dengan munculnya golongan borjuis yang merupakan golongan ekonomi yang sedang menanjak, tetapi secara politik stagnan (Rahardjo, 2009: 11). Perjuangan borjuis adalah untuk merebut satu tempat dalam hukum, yang selama ini dimonopoli oleh golongan-golongan dalam ancient regime (Orde Lama), yaitu golongan raja-raja, ningrat dan gereja (Unger dalam Nitibaskara, 2006: 11). Golongan borjuis membutuhkan kepastian serta jaminan kemerdekaan, selain itu diikuti pula dengan perubahan-perubahan yang besar dan didasarkan pada hukum (Rahardjo, 2009: 12).
Di dalam perkembangannya, negara modern harus menghadapi perluasan tugas publik yang luar biasa, sehingga negara tidak dapat lagi berhenti sebagai negara hukum formal (Rahardjo, 2009: 17). Usaha (zorg) pemerintah untuk mencapai kesejahteraan bersama dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1.    Melindungi orang-orang terhadap resiko bekerjanya industri modern, seperti kecelakaan perburuhan;
2.    Jaminan penghasilan minimum, juga karena sakit, kehilangan pekerjaan dan masa tua;
3.    Menyediakan sarana yang dibutuhkan oleh setiap orang agar dapat berfungsi dengan baik dalam masyarakat, seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan (Rahardjo, 2009: 20).
Perihal yang signifikan harus disadari adalah posisi hubungan antara manusia dengan negara. Manusia (individu) adalah pihak yang tidak berkuasa, sementara negara adalah pihak yang berkuasa secara politik (Hendardi dalam Afandi, 2005: xxviii). Supremasi hukum dalam pengertian itu dapat dimaknai bahwa asas legalitas merupakan landasan yang terpenting di dalam setiap tindakan, baik itu dilakukan oleh individu maupun kelompok. Puncak legalisme ini dapat dicermati pada pendapat yang menyatakan bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi adalah hukum (Krabbe dalam Nitibaskara, 2006: 59).
Hukum yang didorong berlaku tanpa terkecuali umumnya dilandasi nilai kepastian hukum (Nitibaskara, 2006: 59). Ada tiga nilai dasar hukum, yaitu: keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum (Radbruch dalam Nitibaskara, 2006: 59). Sekalipun ketiga hal tersebut merupakan nilai dasar dari hukum, namun antara mereka terdapat spannungsverhaltnis, suatu ketegangan satu sama lain (Radbruch dalam Nitibaskara, 2006: 59). Hubungan atau keadaan yang demikian bisa dimengerti karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang berlain-lainan dan satu sama lain mengandung potensi untuk bertentangan (Rahardjo dalam Nitibaskara, 2006: 59-60).
B.       Problematika Penegakan Hukum di Indonesia
Problematika adalah:
1.      Masih menimbulkan masalah;
2.    Hasil yang masih belum dapat dipecahkan; permasalahan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 410)
Sedangkan penegakan adalah proses, cara, perbuatan, menegakkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 1155). Selain itu hukum memiliki beberapa pengertian atau definisi dari hukum, antara lain:
1.    Hukum adalah keseluruhan peraturan-peraturan sosial yang mewajibkan perbuatan lahir yang mempunyai sifat keadilan serta dapat dibenarkan (Kartorowich dalam Soeroso, 2009: 31);
2.    Hukum adalah himpunan petunjuk-petunjuk hidup tata tertib suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan (Utrecht dalam Soeroso, 2009: 35);
3.    Hukum adalah keseluruhan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa dan dibuat oleh yang berwenang, berisikan suatu perintah/larangan atau izin untuk berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib kehidupan masyarakat (Tasrief dalam Soeroso, 2009: 36).
Jadi, problem penegakan hukum adalah suatu masalah yang dihadapi oleh berbagai elemen dalam kehidupan di mana belum ditemukan solusi untuk mengatasinya di berbagai negara karena kurang loyalnya para penegak hukum terhadap negara yang menimbulkan masalah yang belum bisa diselesaikan dengan tuntas.  
Pengalaman menegakkan keadilan melalui supremasi hukum memberi bekas yang mendalam bagi Voltaire. Apabila kita mencintai hukum, kita wajib memikul seluruh beban yang ditimpakan. Yang dimaksud dengan “beban yang ditimpakan oleh hukum” adalah kewajiban bagi pemerintah dan rakyat untuk bersama-sama menaati hukum (Nitibaskara, 2006: 58-59). Sendi utama negara berdasarkan atas hukum adalah bahwa hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat maupun antara anggota atau kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain (Bagir Manan dalam Nitibaskara, 2006: 59).
Sistem hukum modern berdiri diatas semua golongan dan karena itu bersifat kompromistis. Hukum modern menjaga agar semua kepentingan dapat berinteraksi satu sama lain secara baik dan produktif (Unger dalam Rahardjo, 2009: 14). Masalah “Supremasi Hukum” yang diangkat bukan masalah yang berdiri sendiri. Hal ini terlihat dari tema seminar yang berjudul “Supremasi Hukum Dalam Negara Demokrasi Menuju Indonesia Baru”. Masalah supremasi hukum dikaitkan dengan:
a.       Masalah kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang demokratis, dan
b.      Masalah supremasi hukum menuju Indonesia Baru (Arief, 2001: 7)
Apabila terjadi pelanggaran terhadap kepentingan atau hak seseorang, maka orang yang bersangkutan tidak boleh bertindak sendiri atau main hakim sendiri untuk meminta atau mengambil haknya kembali. Siapapun tidak boleh melakukan tindakan sewenang-wenang, apakah ia dari kalangan pejabat pemerintah atau dari kalangan supremasi hukum atau apa yang disebut sebagai negara hukum belumlah sesuai dengan keinginan atau belum terwujud. Keadilan berdasar hukum masih menjadi angan-angan bagi banyak orang, terutama rakyat kecil. Belum lagi semakin merebaknya bentuk-bentuk kekerasan dan konflik antar warga, etnis, maupun agama, serta bermunculannya preman-preman atau lzimnya disebut premanisme (Hendarsi dalam Afandi, 2005: xxiii)
Menurut hasil penelitian Indonesian Corruption Watch (ICW) yang diolah kembali Majalah Gatra (3/8/2002), akalan-akalan jaksa dalam menjalankan tugasnya untuk menguntungkan diri sendiri (korupsi) (Nitibaskara, 2006: 11-12) sebagai berikut:
1.         Penasaran
a.              Sengaja memperpanjang proses penyidikan, guna ,merundingkan uang damai.
b.              Memanggil orang yang terkait kasus tertentu untuk meneror mentalnya. Kemudian jaksa meminta uang dengan ancaman perubahan status menjadi tersangka.
2.         Negosiasi status
Mengatur status, misalnya: seharusnya jadi tersangka, cukup menjadi saksi. Pelaku utama cukup menjadi pembantuan.


3.         Pelepasan tersangka/terdakwa.
a.              Tersangka dengan alasan tidak cukup cukup bukti dilepaskan dengan menerbitkan SP3. Pihak Kejati dan Kejagung turut terlibat (bisnis SP3).
b.              Membuat dakwaan kabur, sehingga terdakwa lolos dari jeratan hukum.
c.              Menggelapkan perkara.
d.             Terdakwa pengganti.
4.         Pengurangan tuntutan
a.              Menawarkan tuntutan ringan kepada terdakwa.
b.              Membocorkan berita acara pemeriksaan, agar terdakwa siap menghadapi persidangan.
c.              Rekayasa barang bukti
Hal diatas kemudian membuktikan betapa carut-marutnya sistem peradilan kita. Indonesia adalah suatu negara nasional yang memiliki dasar dan filsafat Pancasila yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 (Azhary, 2004: 194). Dilihat dari segi hukum, maka implementasi sila kedua dari Pancasila itu di Negara Republik Indonesia tiada lain adalah implementasi salah satu prinsip dasar dari negara hukum. Indonesia adalah suatu negara yang berdasarkan atas hukum dan bukan kekuasaan (Azhary, 2004:204-205). Segala sesuatu yang kita lakukan harus sesuai dengan hukum. Apabila terjadi pelanggaran terhadap kepentingan atau hak seseorang, maka orang yang bersangkutan tidak boleh bertindak sendiri atau main hakim sendiri untuk meminta atau mengambil haknya kembali. Siapapun tidak boleh melakukan tindakan sewenang-wenang, apakah ia dari kalangan pejabat pemerintah atau dari kalangan rakyat biasa, wajib mematuhi hukum dan karena dilarang melakukan tindakan sewenang-wenang di luar garis batas hukum (Azhary, 2004: 205).
Reformasi yang mengusung wacana demokrasi, penegakan HAM dan masyarakat madani ternyata masih belum mampu menghilangkan perilaku-perilaku tidak demokratis dan beradab peninggalan masa lalu. Dengan kata lain, paralel dengan menguatkan tuntutan demokrasi dan penegakan HAM, kita masih menjumpai perilaku dan tindakan-tindakan yang tidak demokratis, seperti politik uang (money politic), angka korupsi yang masih tinggi, dan penggunaan simbol-simbol primordial (agama, budaya, dan suku) untuk tujuan-tujuan politik sesaat. Bahkan unsur terakhir ini kerap kali berpotensi mengancam keutuhan Indonesia sebagai bangsa yang majemuk dan besar (Komaruddin dan Azyumardi, 2008:ix).  
Ketimpangan penghukuman bukan terletak pada kaidah peraturan perundang-undangan (set of rules and norms), melainkan pada tingkat pelaksanaannya. Kecenderungan klasik itu tampaknya masih kuat mewarnai penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam pemberantasan korupsi. Bahkan, kelemahan ini tampak terjadi pada semua tingkatan lembaga penegakan hukum salah satunya kejaksaan. Akibat lemahnya dakwaan jaksa, para terdakwa skandal bank Bali yang melibatkan dana sebesar Rp 904,57 miliar, bebas (Nitibaskara, 2006: 22).
Setiap orang yang turut andil dalam permusyawaratan, harus diperlakukan secara adil, memiliki kedudukan sama dan kebebasan penuh. Karena adanya hubungan yang erat antara prinsip musyawarah dengan prinsip-prinsip keadilan (Azhary, 2004: 203). Implementasi prinsip keadilan tersebut akan banyak bergantung kepada para pelaksana dalam hal ini kecuali pejabat pemerintahan dalam bidang eksekutif, juga pejabat-pejabat dalam bidang yudikatif (peradilan) yaitu para hakim (Azhary, 2004:205). Para penegak hukum antara lain hakim, jaksa, polisi, advokat dan penasihat hukum. Di tangan merekalah terletak suatu beban kewajiban untuk mengimplementasikan suatu prinsip keadilan sebagaimana yang tercantum dalam sila kedua secara optimal dan maksimal (Azhary, 2004: 205).
Implementasi prinsip keadilan di negara Republik Indonesia bukan hanya dalam bidang kekuasaan yudikatif (kehakiman), tetapi juga dalam bidang kekuasaan eksekutif dan legislatif (Azhary, 2004: 205). Implementasi prinsip keadilan sebagaimana yang dikandung dalam sila kedua itu, pernah mengalami suatu distorsi yang hampir membawa bangsa Indonesia pada suatu malapetaka atau disintegrasi nasional, yaitu selama Orde Lama (masa pemerintahan Soekarno) (Azhary, 2004: 206).
Hukum modern yang sampai saat ini sangat mendominasi pengajaran dan praktek hukum di negara kita ternyata dalam batas-batas tertentu tidak dapat memenuhi tujuan hukum memberikan keadilan, mensejahterakan, dan memberikan kestabilan hidup. Sejarah mencatat daftar korban panjang atas kebijakan dan praktek regresif rezim yang membelenggu kebebasan berekspresi. Suara yang dianggap tidak linier atau sejalan dengan kepentingan penguasa atau elit politik negara akan diberangus seketika (Afandi, 2005: vii). Supremasi hukum atau apa yang disebut sebagai negara hukum belumlah sesuai dengan keinginan atau belum terwujud. Keadilan berdasar hukum masih menjadi angan-angan bagi banyak orang, terutama rakyat kecil. Belum lagi semakin merebaknya bentuk-bentuk kekerasan dan konflik antar warga, etnis, maupun agama, serta bermunculannya preman-preman atau lzimnya disebut premanisme (Hendarsi dalam Afandi, 2005: xxiii).
Tindakan main hakim sendiri sangatlah berlawanan dengan prinsip demokrasi yang lebih mengedepankan cara-cara musyawarah atau menyerahkan segala sengketa hukum antarwarga negara maupun antara warga negara dengan negara kepada lembaga hukum (Komaruddin dan Azyumardi, 2008: 104). Sikap mengancam atau merusak fasilitas umum dalam mengeluarkan pendapat, lebih-lebih menggantikan peran penegak hukum atau melakukan tindakan teror terhadap aparat hukum dalam mengungkapkan pandangan dan keinginan, sama sekali bertentangan dengan semangat demokrasi dan keseimbangan hak dan kewajiban warga negara dalam warga negara demokrasi. Tentu saja, sikap destruktif juga sangat bertentangan dengan ajaran semua agama (Komaruddin dan Azyumardi, 2008: 104). 
Banyak anomalia dalam peradilan, yang semuanya dianggap mempunyai dasar hukum, sehingga para obligor kakap yang cenderung kuat merusak perekonomian negara dilepaskan dari segala tuntutan hukum (Nitibaskara, 2006: 61). Judicial crime, terjadi karena terdapat peluang untuk mempertukarkan kekuasaan dengan materi melalui celah-celah kelemahan hukum. Kehebatan mereka dalam menggunakan hukum itulah menghasilakan penyimpangan yang tidak sah secara hukum. (Nitibaskara, 2006: 61-62)
C.      Pemecahan Berbagai Problematika Penegakan Hukum di Indonesia
Realita yang terjadi sekarang ini sudah tidak lagi sesuai dengan konstitusi yang berlaku yang sudah dikodifikasikan. Keterpurukan hukum yang berlangsung di Indonesia saat ini merupakan suatu “krisis hukum yang luar biasa”, yang mencukupi tiga unsur sistem hukum yaitu  1. Substansi, 2. Struktur, 3. Budaya hukum “keadilan substansif” diabaikan dan sebaliknya “keadilan prosedural” yang menonjol. Untuk mengatasinya, satu-satunya jalan yang harus di tempuh adalah cara yang luar biasa pula.
Kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaedah-kaedah atau pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan (sebagai social engineering) memelihara dan mempertahankan (sebagai  social control) kedamaian pergaulan hidup (Logemann dalam Soekanto, 1983: 34).
Hukum harus menegakkan kebenaran dan rasa keadilan dalam kehidupan masyarakat (Kamil, 2005: 22). Para sarjana hukum mengerti makna hukum dan mempunyai sikap seorang pemelihara  hukum (Huijbers, 2005: 146). Kita belum mempunyai sopan santun demokrasi. Demokrasi bukan semata persoalan prosedur, melainkan tidak kalah pentingnya adalah sebuah komitmen untuk menjunjung tinggi hukum serta nilai-nilai terbaik yang melekat pada seseorang serta sebuah bangsa (Komaruddin dan Azyumardi, 2008: viii).
Realisasi wujud good and clean governance, harus diimbangi dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum yang mengandung unsur-unsur (Komaruddin dan Azyumardi, 2008: 162)  sebagai berikut:
a.       Supremasi hukum (supremacy of law), yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara, dan peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada hukum dan aturan yang jelas dan tegas, dan dijamin pelaksanaannya secara benar serta independen. Supremasi hukum akan menjamin tidak terjadinya tindakan pemerintah atas dasar diskresi (tindakan sepihak berdasarkan pada kewenangan yang dimilikinya).
b.      Kepastian hukum (legal certainty), bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif dan tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
c.       Hukum yang responsif, yakni aturan-aturan hukum yang disusun berdasarkan aspirasi masyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan publik secara adil.
d.      Penegakan hukum yang konsisten dan non diskriminatif, yakni penegakan hukum berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu. Untuk itu, diperlukan penegak hukum yang memiliki integritas moral dan bertanggung jawab terhadap kebenaran hukum.
e.       Independensi peradilan, yakni peradilan yang independen bebas dari pengaruh penguasa atau kekuatan lainnya.
Hukum mempunyai kelakuan yuridis, apabila penentuannya berdasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatnya (ini di dasarkan pada teori “stufenbau nya elsen “. Oleh karena efektifitas merupakan fakta (Kelsen dalam Soekanto, 1983: 35). Suatu kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis jikalau kaedah tersebut terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan (Zevenbergen dalam Soekanto, 1983: 35).
Salah satu yang menjadi masalah penegakan hukum di negara kita yakni penyelesaian masalah korupsi. Pada hakikatnya korupsi tidak dapat ditangkal hanya dengan satu cara. Penanggulangan korupsi harsu dilakukan dengan pendekatan komprehensif, sistemis, dan terus-menerus. Penanggulangan tindakan korupsi dapat dilakukan (Komaruddin dan Azyumardi, 2008:168-169) antara lain dengan:
Pertama, adanya politic will dan politic action dari pejabat negara dan pimpinan lembaga pemerintah pada setiap satuan kerja organisasi untuk melakukan langkah proaktif pencegahan dan pemberantasan perilaku dan tindak pidana korupsi. Tanpa kemauan kuat pemerintah untuk memberantas korupsi di segala lini pemerintahan, kampanye pemberantasan korupsi hanya slogan kosong belaka.
Kedua, penegakan hukum secara tegas dan berat. Proses eksekusi mati bagi koruptor China, misalnya telah membuat sejumlah pejabat tinggi dan pengusaha di negeri itu menjadi jera untuk melakukan tindak korupsi. Hal yang sama terjadi pula di negara-negara maju di Asia, seperti Korea Selatan, Singapura, dan Jepang termasuk negara yang tidak kenal kompromi dengan pelaku korupsi. Tindakan tersebut merupakan shock therapy untuk membuat tindakan korupsi berhenti.
 Ketiga, membangun lembaga-lembaga yang mendukung upaya pencegahan korupsi, misalnya Komisi Ombudsman sebagai lembaga yang memeriksa pengaduan pelayanan administrasi publik yang buruk. Pada beberapa negara, mandat Ombudsman mencakup pemeriksaan dan inpeksi atas sistem administrasi pemerintah dalam hal kemampuannya mencegah tindakan korupsi aparat birokrasi. Di Indonesia telah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tim Penuntasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor) dengan tugas melakukan investigasi individu dan lembaga, khususnya aparatur di pemerintah yang melakukan korupsi. Selain lembaga bentukan pemerintah, masyarakat juga membentuk lembaga yang mengemban misi tersebut, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan lembaga sejenis.
Keempat, membangun mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menjamin terlaksananya praktik good and clean governance, baik di sektor pemerintah, swasta, atau organisasi kemasyarakatan.
Kelima, memberikan pendidikan antikorupsi, baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Dalam pendidikan formal, sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi diajarkan bahwa nilai korupsi adalah bentuk lain dari kejahatan.
Keenam, gerakan agama antikorupsi, yaitu gerakan membangun kesadaran keagamaan dan mengembangkan spiritual antikorupsi.
Secara filosofis, hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum, sebagai nilai positif yang tertinggi, misalnya Pancasila, masyarakat yang adil dan makmur, dan seterusnya (Soekanto, 1983: 36). Ada empat faktor agar hukum dapat berfungsi dengan baik diperlukan keserasian dari kempat tersebut yakni:
·           Hukum atau aturan itu sendiri
·           Metalitas petugas yang menegakkan hukum
·           Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum
·           Kesadaran hukum, kepatuhan hukum dan perilaku warga masyarakat. (Logemann dalam Soekanto, 1983: 36)
Maka kalau kita ingin melihat reformasi berhasil dan hukum kembali menjadi tumpuan harapan kita, sebaiknya kita tidak hanya sibuk memperbaiki sistem dan habitat politik dari hukum, melainkan juga menempatkan orang-orang dengan visi reformis dalam jabatan-jabatan hukum. Mereka ini adalah orang-orang yang secara jujur ingin menegakkan keadilan di negeri ini dan bukan malah mendorong hukum masuk ke jalur lambat (Erwin, 2011:134).  












BAB III
PEMBAHASAN
A.      Kebijakan Penegakan Hukum
Penegakan hukum (law enforcement) adalah sebuah masalah yang hampir di hadapi oleh setiap negara di dunia, khususnya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia yang mempunyai banyak permasalahan hukum baik kualifikasinya maupun modus operasinya. Hukum pada hakekatnya sebagai sarana untuk mencapai apa yang dinamakan keadilan.
Tidak semua negara yang baru merdeka menegaskan secara eksplisit bahwa negara tersebut ingin membangun suatu tata hukum yang baru. Ini berarti tata hukum yang lama ditinggalkan. Bangsa Indonesia termasuk ke dalam negara baru yang menyatakan ketegasan tersebut sebagaimana dapat dibaca pada Pembukaan UUD 1945. Tata hukum yang baru tersebut didasarkan pada landasan kerokhanian Pancasila, maka tata hukum dapat disebut sebagai Sistem Hukum Pancasila. 
Penegakan hukum di Indonesia harus mampu membawa bangsa ini menuju bangsa yang adil, tidak ada yang dinamakan ketimpangan hukum. Seluruh pihak terutama para penegak hukum, serta para pengambil kebijakan dapat dengan bijak menyikapi berbagai kasus hukum yang terjadi di sekitar mereka. Dibutuhkan pula kepekaan para penegak hukum terkait dengan semakin banyaknya kasus pelanggaran hukum yang tersaji. Hal ini perlu di dorong oleh political will serta political action yang mesti diambil oleh para stakeholders atau pemerintah kita sebagai titik awal menjalankan hukum yang adil bagi segenap bangsa Indonesia, dan mereka juga merupakan pioneer yang bertanggung jawab apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum.
Pembuatan suatu peraturan pada hakekatnya adalah suatu langkah pertama dari keseluruhan “aksi yang direncanakan” yang ditujukan untuk mencapai sasaran tertentu. Peraturan tersebut dapat dilihat sebagai suatu kerangka bagi aksi yang direncanakan tersebut yang seyogyanya juga mensyaratkan dipenuhinya berbagai fasilitas yang dibutuhkan. Faktor berikutnya, yaitu manusia-manusia yang berhubungan dengan pelaksanaan hukum, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum. Keberhasilannya untuk menjalankan kerangka yang dibuat oleh peraturan menentukan apakah tujuan yang hendak dicapai oleh hukum terlaksana. Apabila sistem hukum dikehendaki untuk bersifat proaktif, maka aktivitas yang dituntut dari penegak hukum menjadi lebih tinggi lagi.
Hukum harus datang kepada rakyat dengan memberikan hak-hak yang dijanjikan dan bukan sebaliknya. Tentunya tidak perlu direntang-panjangkan lagi, bahwa untuk mencapai hal-hal seperti itu dibutuhkan suatu mentalitas tertentu yang cocok. Dimensi sosial dari hukum dewasa ini kian hari kian tampak menonjol. Keterlibatan hukum pada persoalan-persoalan sosial dan ekonomi bangsa serta tuntutan agar hukum mampu berperan sebagai sarana untuk memecahkan berbagai problem sosial menampilkan kisi-kisi lain dari hukum yang tidak hanya yuridis-dogmatis. Pertalian antara hukum di satu pihak dan bidang-bidang tersebut di lain pihak meningkat menjadi hubungan yang semakin intensif. Perkembangan dimensi sosial hukum telah membebaskan hukum dari isolasinya berhadapan dengan faktor-faktor serta kekuatan-kekuatan yang sering disebut sebagai “non-hukum”.
Selama ini tidak terasa kita telah menerima hukum sebagai suatu kenyataan, seolah-olah hukum benar-benar merupakan suatu sarana atau instrumen yang sudah siap belaka. Hukum yang selama ini kita terima sebagai sarana yang utuh, solid, dan tinggal melihat hasil saja, pada pengamatan yang lebih dekat ternyata menampilkan suatu mozaik unsur-unsur dan faktor-faktor yang beraneka ragam. Sistem hukum ternyata terdiri dari unsur-unsur: peraturan itu sendiri, fasilitas-fasilitas, manusia-manusia pelaksananya dan suatu kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik, ekonomi yang bekerja atas sistem hukum.
Sebagai suatu sistem (atau sub sistem dari sistem kemasyarakatan), hukum mencakup struktur, substansi dan kebudayaan. Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang mencakup tatanan lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, dan seterusnya. Substansi mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak menegnai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa-apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan.
Tarik menarik antara dua nilai yang saling berseberangan ini akan semakin kuat bila sudah berkait dengan kepentingan masing-masing pihak yang saling benturan itu. Belum lagi apabila dibarengi dengan persepsi atau penilaian yang saling berbeda atau bertentangan satu sama lain, sehingga menambah tingkat kompleksitas perkara.
Kebijakan lain yang perlu dijalankan untuk menjamin penyelesaiaan kasus hukum yang adil yakni masyarakat hendaknya menjadi orang-orang yang tertib hukum sehingga hubungan antara penegak hukum itu sendiri tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan di dalamnya. Semua elemen bangsa hendaknya menggunakan nurani, naluri, serta nalari terhadap penafsiran yang mereka buat terhadap berbagai situasi dan kondisi.
Untuk dapat menemukan hukum yang benar dan tepat serta dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa hakim harus melihat kesadaran hukum masyarakat setempat, baik melalui kaca mata ilmu hukum dengan segala cabang-cabangnya maupun melalui hukum agama yang dianut oelh para pihak. Dengan demikian, hukum yang ditemukan benar-benar merupakan pencerminan dari sistem sosial dan budaya hukum yang hidup dalam masyarakat, dan putusan hakim pun akan dapat menyentuh rasa keadilan yang didambakan.
Telah menjadi kodratnya bahwa manusia itu ingin hidup bersama dalam masyarakat. berdasarkan kesadaran etis, manusia tidak hanya menuntut hak dan lupa menjalankan kewajiban, tetapi kedua-duanya dituntut secara seimbang. Itulah keadilan sosial. Sifat-sifat inilah yang harus dibangkitkan dan dikembangkan oleh hakim dalam rangka penyelesaian sengketa. Segenap bangsa Indonesia harus saling bekerjasama untuk mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang adil, dan segenap elemen bangsa sadar akan tanggung jawab yang mereka miliki dan senantiasa mengakui kesalahannya apabila merasa berbuat salah.
Dalam pelaksanaan kebijakan penegakan hukum, hakim harus menyadari bahwa para pihak yang menghadap adalah manusia. Oleh sebab itu hakim harus menghadapinya secara manusiawi dengan menerapkan asas manusiawi. Sebagai manusia hakim harus memberikan pelayanan secara adil dan manusiawi, serta dapat memberikan pelayanan yang simpatik dan memberikan bantuan sesuai dengan apa yang diperlukan agar sengketa mereka dapat diselesaikan dengan tuntas dan final.
B.       Problematika Penegakan Hukum di Indonesia
Pengaruh politik yang merambah pada pelaksanaan fungsi peradilan terjadi pada berbagai tingkatan pengaruh sejumlah negara dengan pemerintahan yang otoriter. Pengaruh kekuasaan pemerintahan tersebut terutama muncul dalam hal proses peradilan bersinggungan dengan kepentingan pemerintah atau kepentingan penguasa. Pengaruh pemerintah dapat berbentuk intervensi langsung terhadap proses peradilan dengan cara memberitahu hakim agar membuat putusan yang menguntungkan pemerintah atau mencegah eksekusi putusan pengadilan. Pengaruh pemerintah terhadap peradilan juga dapat dilakukan melalui pembuatan undang-undang tentang kekuasaan kehakiman, yang menempatkan sedemikian rupa posisi lembaga peradilan di bawah pengaruh pemerintah atau ketergantungan kepada pemerintah.
Banyak faktor yang menyebabkan sulitnya penegakan hukum di Indonesia, yakni di antaranya:
Pertama, political will dan political action para pemimpin negara untuk secara bersama-sama menjalankan hukum yang adil dan dapat menjamin hak setiap warga negara masih kurang dimiliki oleh pemimpin bangsa ini. Kedua, yakni berbagai undang-undang yang dibuat yang notabene-nya adalah representatif dari hukum hanya mengutamakan kepentingan penguasa. Ketiga, integritas yang dimiliki oleh setiap individu di negara Indonesia dapat dikatakan masih rendah apabila dibandingkan beberapa negara-negara di Asia seperti Jepang, serta Malaysia. Selain itu tingkat kredibilitas serta profesionalisme yang dimiliki oleh bangsa ini masih sangat rendah buktinya dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi kesalahan yang disebabkan ketidak patuhan terhadap suatu aturan.
Keempat, tidak dapat kita pungkiri sarana serta prasarana yang dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk menegakkan hukum yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia masih sangat kurang sehingga pelaksanaannya pun belum maksimal. Kelima. Budaya hukum yang dimiliki oleh bangsa Indonesia masih sangat rendah buktinya sebagian besar masyarakat apabila menghadapi suatu perkara, sudah jelas salah masih terus menyembunyikan kesalahan mereka. Keenam, yakni adanya paradigma yang salah dari masyarakat terhadap hukum. Serta yang ketujuh, berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah atau (stakeholders) masih dilaksanakan secara parsial dan hanya menguntungkan beberapa pihak saja.
Akhir-akhir ini banyak isu yang sedang hangat-hangat di perbincangkan salah satunya adalah permasalahan korupsi. Kasus ini seakan sudah menjadi tradisi yang mendarah daging di bangsa ini. Penyakit korupsi melanda seluruh lapisan masyarakat bahkan yang menjadi perhatian saat ini adalah para aparat yang seharusnya menjadi penegak dalam kasus ini juga ikut terkait di dalamnya. Salah satu lembaga yang menjadi perhatian adalah lembaga peradilan.
Korupsi telah merambat dan mengotori hampir seluruh institusi penegakan hukum kita termasuk lembaga peradilan. Misalnya saja tentang salahnya penegakan hukum di Indonesia seperti saat seseorang mencuri sandal, ia disidang dan didenda hanya karena mencuri sandal seorang briptu yang harganya bisa dibilang murah, sedangkan para koruptor di Indonesia bisa dengan leluasa merajalela, menikmati hidup seakan tanpa dosa, karena mereka memandang rendah hukum yang ada di Indonesia. Kita ambil contoh Arthalyta Suryani, yang menempati ruang tahanan yang terbilang mewah dari tahanan yang lain karena lengkap dengan fasilitas televisi, kulkas, AC, bahkan sampai ruang karokean. Hal ini kemudian memperlihatkan deskriminasi di dalam pemutusan perkara oleh lembaga peradilan kita dimana rakyat miskin yang tidak mempunyai kekuatan financial seakan hukum begitu runcing kepadanya sedangkan para orang-orang yang berduit menganggap hukum itu bisa dibeli bahkan kami anggap bahwa sel tahanan mereka tidak layaklah dikatakan sebagai sel tetapi hotel sementara sedangkan rakyat miskin begitu merasakan yang namanya sel tahanan
Hukum di negara kita ini dapat diselewengkan atau disuap dengan mudahnya, dengan inkonsistensi hukum di Indonesia. Selain lembaga peradilan, ternyata aparat kepolisianpun tidak lepas dari penyelewengan hukum. Misalnya saat terkena tilang  polisi lalu lintas, ada beberapa oknum polisi yang mau atau bahkan terkadang minta suap agar kasus ini tidak diperpanjang, polisinya pun mendapatkan keuntungan materi dengan cepat namun salah tempat. Ini merupakan contoh kongkrit di lingkungan kita.
Persamaan di hadapan hukum yang selama ini di kampanyekan oleh pemerintah nyatanya tidak berjalan dengan efektif. Hukum yang berlaku sekarang di Indonesia seakan-akan berpihak kepada segelintir orang saja. Supremasi hukum di Indonesia masih harus diperbaiki untuk mendapat kepercayaan masyarakat dan dunia internasional tentunya terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Namun, keadaan yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Hukum seakan tajam kebawah namun tumpul keatas. Ini terbukti dengan banyaknya kasus yang terjadi, contohnya saja kasus nenek Minah yang divonis 1,5 bulan penjara karena mencuri tiga buah kakao. Dari segi manapun mencuri memang tidak dibenarkan. Namun, kita juga harus melihat dari sisi kemanusiaan. Betapa tidak adilnya ketika rakyat kecil seperti itu betul-betul ditekan sedangkan para pejabat yang korupsi jutaan bahkan miliaran rupiah bebas begitu saja, walaupun ada yang terjerat hukuman tapi penjaranya bagaikan kamar hotel.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan lembaga penegak hukum kita, sehingga justice for all berubah menjadi justice not for all. Hukum di negara kita ini seakan tidak memperlihatkan cerminan terhadap kesamaan di depan hukum yang merata kepada semua lapisan masyarakat tetapi terkesan tajam kebawah kepada rakyat miskin tetapi tumpul keatas terhadap mereka yang mempunyai uang. Berbagai kasus terkait dengan penegakan hukum di Indonesia yang sangat memprihatinkan menjadi cambuk atau pukulan telak serta menjadi potret buram bagi kita semua sebagai satu kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini menjadi ironi tersendiri bagi kita.
Di Indonesia sendiri hukum dibuat berlandaskan Pancasila serta UUD 1945. Dalam penegakkan hukum di Indonesia memang terjadi beberapa masalah seperti ketidakmampuan suatu lembaga keadilan dalam memberikan keadilan itu sendiri bagi masyarakat. Keadilan dianggap suatu yang sulit untuk didapatkan terutama bagi masyarakat kelas bawah yang sekiranya merupakan golongan yang tidak mampu dalam segi materi. Sekiranya kita dapat melihat fakta yang terjadi di lapangan dengan berbagai macam kasus yang ada dan melibatkan masyarakat kelas bawah. Beberapa kasus seperti pencurian sendal yang dilakukan oleh seorang murid terhadap salah satu anggota kepolisian misalnya, terdapat berbagai kejanggalan dalam kasus tersebut seperti berbedanya sandal yang dimaksud serta adanya penganiayaan terhadap sang pelaku oleh oknum polisi tersebut. Dengan hanya mencuri sepasang sendal jepit yang kemungkinan pula bukan anak tersebut pelakunya, malah diberikan tuntutan hukuman 5 tahun penjara. Adilkah itu ? Masyarakat awam pun pasti mengetahui apa yang dimaksud keadilan. Berbeda dengan kasus yang melibatkan rakyat kecil yang seharusnya memang bisa diselesaikan dengan rasa keadilan serta kekeluargaan, para pimpinan negara yang terhormat malah melakukan banyak korupsi dan tak terselesaikan masalahnya.
Para penegak hukum antara lain hakim, jaksa, polisi, advokat dan penasihat hukum. Di tangan merekalah terletak suatu beban kewajiban untuk mengimplementasikan suatu prinsip keadilan sebagaimana yang tercantum dalam sila kedua secara optimal dan maksimal. Namun , hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Banyak kasus penegakan hukum yang tidak berjalan semestinya. Banyak keganjalan yang terjadi didalam penegakan hukum itu seperti dengan mudahnya seseorang yang mempunyai uang mendapatkan fasilitas di ruang tahanan atau ada beberapa kasus yang sangat mengganjal keputusan yang di putuskan seperti kasus pencurian sandal diatas.
Penegakkan hukum dari aparat kepolisian juga dinilai sangat kurang, bisa dilihat dengan banyaknya penilangan kepada kendaraan bermotor yang berakhir dengan istilah UUD (Ujung-Ujungnya Duit) atau biasa disebut uang sogokkan. Serta ada pula masalah tentang kebijakkan-kebijakkan pemerintah yang dinilai kurang serta tidak didasari dengan landasan hukum yang tepat. Seperti kebijakkan bagi pengendara motor yang diharuskan menyalakan lampu utama pada siang hari yang dinilai kurang realistis. Karena menyalakan lampu pada siang hari sama saja dengan pemborosan energi, sesungguhnya cahaya matahari sudah cukup terang bagi pengguna jalan. Dan alasan karena banyaknya terjadi kecelakaan siang hari oleh para pengguna sepeda motor tentu bukan karena lampu atau cahaya yang kurang.
Dengan adanya pemanasan global dan yang dicanagkan pemerintah tentang save energy-pun dipertanyakan karena memang menyalakan lampu pada siang hari adalah pemborosan energi. Beberapa Undang-undang yang seharusnya dibuat setiap tahun dengan jumlah yang sudah ditetapkan pun molor sehingga hanya ada sedikit Undang-undang yang sudah terealisasikan. Hal ini tentu menjadi catatan bagi pemerintah yang seharusnya hukum itu untuk keteraturan serta tercipta kedamaian di negara kita menjadi begitu tidak dapat diandalkan.
Selain dengan masalah-masalah tersebut tentu dengan adanya hukum yang lemah maka ketahanan negara juga akan lemah. Bisa kita lihat dari berbagai macam kasus tentang perbatasan negara maupun pencaplokan wilayah dan budaya yang dilakukan oleh negara tetangga. Pemerintah Indonesia sangat lamban dalam mengambil sikap dalam hal pertahanan dan keamanan negara, adanya kesenjangan sosial di wilayah perbatasan Indonesia serta kota-kota lain di Indonesia serta sarana dan infrastruktur di daerah perbatasan yang sangat kurang menjadi masalah yang harus ditanggapi serius oleh pemerintah. Masyarakat perbatasan tentu merasa dianak tirikan oleh pemerintah karena tidak adanya peran pemerintah dalam mengatasi hal tersebut, dan tentu hal ini menjadi senjata bagi negara lain untuk dengan mudah mencaplok daerah perbatasan sebagai daerah negaranya karena negara tersebut mengambil hati masyarakat dengan memberi berbagai macam kebutuhan oleh negara tersebut berbeda dengan apa yang diberikan oleh pemerintah Indonesia.
Hal tersebut menyebabkan bahwa suatu hukum di Indonesia walaupun dibuat dengan berlandaskan pancasila serta UUD 1945 namun dalam pelaksanaannya tidak ada jiwa pancasila yang melekat dalam setiap penegak hukum serta pemerintah Indonesia. Dengan melemahnya hukum di Indonesia tentu sedikit demi sedikit maka keadilan di Indonesia akan terkikis dengan adanya sikap pemerintah yang seakan hanya mementingkan dirinya sendiri, jabatan dan kekuasaan politik bagi diri dan partainya
Sungguh menjadi sesuatu yang ironis ketika kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya menjadi berkurang, dan ketika itulah masyarakat akan menjadi merasa tersakiti serta tak mempercayai kepemerintahan negara, karena kepercayaan adalah salah satu tiang keadilan dan kemakmuran. Ketika hukum yang hanya memihak golongan tertentu maka keadilan juga akan memudar dan akan meruntuhkan derajat dan martabat negara. Dengan runtuhnya derajat negara, runtuh pula negara tersebut dan akan mudah bagi pihak-pihak yang merasa diuntungkan dengan situasi ini yaitu adanya intervensi asing dalam masalah negara.
Karena intervensi itu sendiri sudah mulai muncul ketika banyaknya media asing yang memberitakan tentang bobroknya negara ini. Sebagai salah satu contohnya dimana ada media asing yang memberitakan tentang masalah jembatan yang tak layak di Indonesia. Masyarakat terutama para siswa yang ingin bersekolah harus menantang nyawa dengan menyebrangi sungai hanya dengan seutas tali. Dimana peran pemerintah? Hanya ada janji yang entah kapan akan ditepati. Hukum memang salah satu cara untuk memberikan keadilan, dan hukum seharusnya ditegakkan dengan bijaksana, tegas dan apa adanya.
Selain beberapa faktor diatas, faktor uang juga mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia. Beberapa kasus bisa menjadi cerminan lemahnya hukum di Indonesia ketika sudah berbenturan dengan uang, misalnya saja kasus korupsi yang menjerat nama Gayus Tambunan. Kasus ini memang sudah di selesaikan dipengadilan, tetapi walaupaun Gayus telah ditempatkan di dalam penjara, nyatanya dia masih bebas untuk berwisata ke  Bali bahkan sampai keluar negeri yaitu Makau. Ini karena lemahnya iman para petugas yang seharusnya menegakkan keadilan hukum setegak-tegaknya kalau sudah dihadapkan dengan uang. Mereka tentunya mengabulkan permintaan Gayus tersebut tidak dengan cuma-cuma, tetapi ada imbalan yang diberikan kepada para petugas tersebut. Beberapa kasus yang diungkapkan sebelumnya seperti kasus Artalita, ini semua tidak lepas dari lemahnya iman aparat yang bertugas menegakkan hukum ketika sudah di hadapkan dengan uang. Apakah ini yang di namakan “uang berbicara”? Dan apakan hukum di negeri ini semudah itu menjadi lunak?. Kalau sudah seperti itu Anda pun dapat menilainya sendiri sebenarnya apa yang telah melanda hukum di negeri tercinta kita ini, sehingga jangan heran kalau ada istilah yang kemudian muncul di masyarakat kita tentang penegakkan hukum di Indonesia yaitu KUHP(Kasi Uang Habis Perkara). Ini adalah cerminan bahwa rakyat Indonesia sudah mulai hilang kepercayaan dengan penegakan hukum yang ada di Indonesia.
C.      Pemecahan Berbagai Problematika Penegakan Hukum di Indonesia
Berbagai realita yang terjadi di era reformasi sampai sekarang terkait dengan penegakan hukum yang terdapat di Indonesia sudah tidak relevan dengan apa yang tertuang dalam kontitusi negara ini. Indonesia dengan berbagai macam problem tentang anarkisnya para penegak hukum, hal ini sudah tidak sesuai dengan apa yang di cita-citakan oleh para pendiri bangsa terdahulu. Berbagai hal sudah bergeser dari amanah konstitusi namun kita tidak sepantasnya untuk menyalahkan sepenuhnya kegagalan tersebut kepada para penegak hukum atau pihak-pihak yang menjalankan hukum karena bagaimana pun masyarakat adalah pemegang hukum dan tempat hukum tersebut berpijak.
Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” merupakan entri yang sangat menuju masyarakat kewargaan. Masyarakat kewargaan pertama-tama akan mempersoalkan siapa-siapa yang termasuk ke dalam kategori warga atau kewargaan dalam masyarakat. Reformasi hukum hendaknya secara sungguh-sungguh menjadikan “eksistensi kebhinekaan” menjadi agenda dan bagaimana mewujudkan ke dalam sekalian fundamental hukum. Kalau kita belajar dari pengalaman, maka semboyan “Bhineka Tunggal Ika” lebih memberi tekanan pada aspek ”Tunggal”, sehingga memperkosa eksistensi pluralism. Demi ketunggalan atau kesatuan, pluralism tidak dibiarkan ada.
Bertolak dari pengakuan terhadap eksistensi pluralism tersebut, maka konflik adalah fungsional bagi berdirinya masyarakat. Konflik bukan sesuatu yang harus ditabukan, sebab mengakui kebhinekaan adalah mengakui konflik, sebagai sesuatu yang potensial. Dengan demikian, filsafat yang dipegang adalah menyalurkan konflik sedemikian rupa sehingga menjadi produktif buat masyarakat.   
Masalah tentang problematika penegakan hukum telah menjadi sebuah tema yang sangat menarik untuk diangkat dalam berbagai seminar. Salah satu diantaranya tidak ada kepuasaan yang dicapai subjek hukum yang tidak lain adalah manusia serta berbagai badan-badan hukum.
Di sini kami mencoba untuk memberikan beberapa pemecahan dari berbagai problematika penegakan hukum di Indonesia. Yang pertama yakni bagaimana sikap serta tindakan para sarjana hukum untuk lebih memperluas cakrawalanya dalam memahami atau menganalisis masalah-masalah yang terjadi sekarang ini. Di sini dibutuhkan sebuah pandangan kritis akan makna atau arti penting penegakan hukum yang sebenarnya. Selain itu dibutuhkan ilmu-ilmu sosial lainnya seperti sosiologi dalam mengidentifikasi masalah-masalah sosial serta penegakan hukum yang ada dalam masyarakat agar dalam pembuatan hukum ke depannya dapat menjadikan kekurangan atau kegagalan di masa lalu sebagai bahan pembelajaran.
Namun yang perlu diingat bersama adalah adanya kesadaran dalam pelaksanaaan hukum serta adanya keadilan tanpa memandang suku, agama, ras, serta budaya seperti yang terkandung di dalam pasal 27 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Kemudian yang kedua, cara untuk menyelesaikan berbagai masalah terkait hal tersebut  yakni bagaimana tindakan para aparat penegak hukum mulai dari polisi, hakim, jaksa, serta pengacara dalam menangani setiap kasus hukum dengan dilandasi nilai-nilai kejujuran, sadar akan namanya keadilan, serta melakukan proses-proses hukum sesuai dengan aturan yang ada di dalam Undang-undang negara kita. Bukan hanya itu filosofi Pancasila sebagai asas kerohanian dan sebagai pandangan hidup dalam bertindak atau sebagai pusat dimana pengamalannya sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara kita sebagaimana telah dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945 yang terdapat pada alinea ke-IV.
Cara yang ketiga yakni program jangka panjang yang perlu dilakukan yakni penerapan pendidikan karakter dalam setiap tingkatan pendidikan. Untuk mengetahui tingkat keefektifan program tersebut dalam membangun atau menguatkan mental anak bangsa ditengah penurunan kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun perlu kita pupuk dulu agar nantinya generasi-generasi penerus bangsa tidak salah langkah dalam mengambil setiap keputusan. Program ini juga mempunyai implikasi positif terhadap penegakan hukum yang dijalankan di Indonesia karena para penegak hukum telah dibekali pembangunan karakter yang akan melahirkan atau menciptakan manusia Indonesia yang unggul.















BAB IV
PENUTUP
A.      Simpulan
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan yakni sebagai berikut:
1.      Kebijakan penegakan hukum yang dijalankan oleh negara Indonesia masih menjadi masalah yang perlu pembenahan di berbagai lini, utamanya tentang kualifikasi penegak hukum yang masih kurang kompeten untuk menegakkan hukum, serta modus operasi penegakan hukum yang menyimpang dari prosedur yang ada. Hal ini ditujukan untuk mewujudkan apa yang dinamakan keadilan dan ketertiban di dalam masyarakat.
2.      Berbagai macam problematika penegakan hukum yang melanda negara Indonesia, yakni sebagai berikut: politic will and politic action yang dimiliki dan dijalankan oleh pemerintah kurang diarahkan untuk mewujudkan suatu keadilan dan ketertiban di dalam masyarakat. Permasalahan lain yakni undang-undang yang digunakan untuk menegakkan hukum masih berpihak kepada para penguasa, dan kurang berpihak kepada rakyat kecil. Selain itu, problematika penegakan hukum yang dijalankan oleh negara Indonesia disebabkan oleh kurangnya tingkat kredibilitas serta profesionalisme yang dimiliki oleh para penegak hukum kita yang tidak lain adalah: polisi, hakim, jaksa, serta pengacara. Dan tidak dapat dipungkiri lemahnya koordinasi yang terjalin antar beberapa unsur penegak hukum ikut memunculkan berbagai problematika penegakan hukum.
3.      Terdapat beberapa langkah mesti dilakukan oleh berbagai pihak diantaranya: dalam menegakkan hukum para penegak hukum diharapkan melaksanakan dan menjalankan hukum sebagaimana mestinya sehingga keadilan serta ketertiban dalam masyarakat dapat tercapai. Masyarakat pun dituntut untuk memberikan kontribusi positif terhadap pelaksanaan hukum yang ada di Indonesia
B.       Saran  
Agar hasil penulisan dapat dimaksimalkan , penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:
1.    Bagi masyarakat, diharapkan semakin peka terhadap berbagai kasus penegakan hukum yang ada di negara Indonesia agar dapat menjadi semakin dewasa dalam menyikapi berbagai kasus tersebut, dan memberi kontribusi positif dalam pelaksanaan hukum di Indonesia .
2.    Bagi pemerintah, diharapkan dapat menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran hukum yang semakin meningkat dan mampu menegakkan hukum yang adil agar keadilan dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, serta bernegara dapat terjamin.
3.    Bagi penulis selanjutnya, diharapkan mengembangkan gagasan tertulis ini untuk memahami dan melakukan pengkajian lebih lanjut tentang problematika dalam penegakan hukum yang ada di Indonesia.

2 komentar: