AKSIOLOGI ILMU


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Aksiologi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penetuan objek yang di telaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antar teknik, procedural yang merupakan oprasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau professonal?.
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, berikut akan diuraikan beberapa definisi tentang aksiologi, diantaranya: 
1.      Aksiologi berasal dari kata bahasa Yunani axios yang berarti nilai atau sesuatu yang berharga dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “teori tentang nilai”.
2.      Sedangkan arti aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
3.      Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, estheticexpression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat social-politik.
4.      Dalam Encyclopedia of philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan Value dan Valuation. Ada tiga bentuk Value dan Valuation.
a.    Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih  sempit seperti, baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian. Penggunaan nilai yang lebih luas, merupakan kata benda asli untuk seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain dan ia berada dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi adalah bagian dari etika. Lewis menyebutkan sebagai alat untuk mencapai beberapa tujuan, sebagai nilai instrumental atau menjadi baik atau suatu menjadi menarik, sebagai nilai inheren atau kebaikan seperti estetis dari sebuah karya seni, sebagai nilai interinsik atau menjadi baik dalam dirinya sendiri, sebagai nilai kontributor atau nilai yang merupakan pengalaman yang memberikan kontribusi.
b.   Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan system nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawana dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.
c.    Nilai juga di gunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, member nilai, dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.


B.     Dasar-Dasar Aksiologi Ilmu
 Dari defenisi-defenisi mengenai aksiologi, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Terhadap perbuatan-perbuatan manusia.
Makna  kata ”etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Seperti ungkapan “saya pernah belajar etika”. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang di pakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia yang lain. Seperti ungkapan “ia bersifat etis atau ia seorang yang jujur atau pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila”.
Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau  dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam satu kondisiyang normatif, yaitu suatu kondsi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tetang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian.
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Misalnya kita bengun pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita merasaakan kenikmatan. Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap. Padahal sebenarnya  tetap merupakan perasaan.
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif.  Dikatakan obyektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuwan harus bebas dalam menentukan topiknya penelitiannya, bebas dalam melakukan eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah yang akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan bekerja dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar penelitian berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai subyektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Bagi seorang ilmuwan kegiatan ilmiahnya dengan kebenaran ilmiahnya adalah sangat penting.

C.    Aksiologi Pengetahuan filsafat
Disini diuraikan dua hal, pertama kegunaan pengetahuan filsafat dan kedua cara filsafat menyelesaikan masalah.
1.      Kegunaan Pengetahuan Filsafat
Tidak setiap orang perlu mengetahui filsafat. Tetapi orang yang merasa perlu berpartisipasi dalam membangun dunia perlu mengetahui filsafat. Mengapa? Krena dunia dibangun oleh dua kekuatan: agama dan filsafat. Untuk mengetahui kegunaan filsafat, kita dapat memulainya dengan menlihat filsafat sebagai tiga hal, pertama filsafat sebagai kumpulan teori filsafat, kedua filsafat sebagai metode pemecahan masalah, ketiga filsafat sebagai pandangan hidup (philosophy of life). Mengetahui teori-teori filsafat amat perlu karena dunia dibentuk oleh teori-teori itu. Jika tidak senang pada Komunisme maka harus mengetahui Marxsisme, karena teori filsafat untuk Komunisme itu ada dalam Marxisme. Jika menyenangi ajaran Syi’ah Dua Belas di Iran, maka hendaknya mengetahui filsafat Mulla Shadra. Begitulah kira-kira. Dan jika hendak membentuk dunia, baik dunia besar maupun dunia kecil (diri sendiri), maka kita tidak dapat mengelak dari penggunaan teori filsafat. Jadi, mengetahui teori-teori filsafat amatlah perlu. Filsasat sebagai terori filsafat juga perlu dipelajari oleh orang yang akan menjadi pengajar dalam bidang filsafat.
Yang amat penting juga ialah filsafat sebagai methodology, yaitu cara memecahkan masalah yang dihadapai. Disini filsafat digunakan sebagai satu cara atau model pemecahan masalah secara mendalam dan universal. Filsafat selalu mencari sebab terakhir dan dari sudut pandang seluas-luasnya. Hal ini diuraikan pada bagian lain sesudah ini.
Filsafat sebagai pandangan hidup tentu perlu juga diketahui. Mengapa –misalnya- salah seorang Presiden Amerika (Bill Clinton, 1998), telah mengaku berzina, dan masyarakatnya tetap banyak memberikan dukungan? Mungkinkah hal seperti ini seperti Indonesia? Presiden Indonesia yang mengaku berzina pasti akan dicopot oleh masyarakat Indonesia. Mengapa berbeda? Karena masyarakat Indonesia berbeda pandangan hidupnya dengan masyarakat Amerika.
Fisalfat sebagai philosophy of life sama dengan agama, dalam hal sama mempengaruhi sikap dan tindakan penganutnya. Bila agama dari tuhan atau dari langit, maka fislafat (sebagai pandangan hidup) berasal dari pemikiran manusia.
Berikut uraian yang membahas kegunaan filsafat dalam menentukan philosophy of life. Banyak orang memiliki pandangan hidup, banyak orang yang menganggap philosophy of life itu sangat penting dalam menjalani kehidupan.
a.       Kegunaan Filsafat bagi Akidah
Akidah adalah bagian dari ajaran Islam yang mengatur cara berkeyakinan. Pusatnya ialah keyakinan kepada tuhan. Posisinya dalam keseluruhan ajaran Islam sangat penting, merupakan fondasi ajaran Islam secara keseluruhan, di atas akidah itulah keseluruhan ajaran Islam berdiri dan didirikan. Keterangan seperti ini berlaku juga bagi agama selain Islam.
Karena kedudukan akidah seperti itu, maka akidah seseorang muslim haruslah kuat, dengan kuat akidah akan kuat pula keIslamanya secara keseluruhan. Untuk memperkuat akidah perlu dilakukan sekurang-kurangnya dua hal, pertama, mengamalkan seluruh ajaran Islam secara bersungguh-sungguh, kedua, memprtajam pengertian ajaran Islam itu. Jadi, akidah dapat diperkuat dengan pengalaman dan pemhaman (ajaran Islam). Dapatkah filsafat memperkuat pemahaman kita tentang tuhan?
b.      Kegunaan Filsafat bagi Kaum Hukum
Istilah hukum Islam sering rancu. Kadang-kadang hukum Islam itu diartikan syari’ah, kadang-kadang fikih (fiqh). Yang dimaksud disini ialah fikih. Fikih secara bahasa berarti mengetahui. Al-Qur’an menggunakan kata al-fiqh dalam pengertian memahami atau paham. Pada zaman Nabi Muhammad SAW kata al-fiqh itu tidak hanya berarti paham tentang hukum tetapi paham dalam arti hukum. Faqiha artinya paham, mengerti, tahu.
Dalam perkembangan terakhir fikih dipahami oleh kalangan pakar ushu al-fiqh sebagai hukum praktis hasil ijtihad. Sementara dikalangan pakar fikih, al-fikih dipahami sebagai kumpulan hukum Islami yang mencangkup semua aspek syari’ah baik yang tertuang secara tekstual maupun hasil penalaran terhadap sesuatu teks. Itulah sebabnya dikalangan ahli ushul al-fiqh konsep syariah dipahami sebagai teks syari’iy yakni Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang tetap dan tidak pernah mengalami perubahan. Butir-butir aturan dan ketentuan hokum yang ada dalam fikih pada garis besarnya mencangkup tiga unsur pokok, pertama, perintah shalat.
c.       Kegunaan Filsafat bagi Bahasa
Di sepakati oleh para ahli bahwa bahasa berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran.terlihat ada hubungan yang erat antara bahasa dan pikiran. Ahmad Abdurrahman Hamad (Al-‘Alaqah bayn al-lughah wa al-Fikr, dar al-Ma’rifah al-Jami’iyyah, 1985: 17) menggambarkan hubungan itu bagaikan satu mata uang yang mempunyai dua sisi. Aristoteles, sebagaimana dikutip Hamad (1985: 32) menggambarkan hubungan antara bahasa dan pemikiran ( logika ) sebagai hubungan antara hitungan dan angka, hubungan itu adalah hubungan interindependen.
Diantara problem yang di hadapi bahasa ialah dalam pemeliharaannya. Bahasa sering tidak mampu membebaskan diri dari gangguan pemakainya. Orang awam sering merusak bahasa, mereka menggunakan bahasa tanpa menggunakan kaidah yang benar. Kerusakan bahasa itu biasanya di sebabkan oleh tidak di gunakannya logika. Logika itu filsafat.
Filosof adalah “prototype” orang bijaksana. Orang bijaksana tentu harus menggunakan bahasa yang benar. Peran logika dalam bahasa ialah memperbaikai bahasa, logika dapat mengetahui kesalahan bahasa. Peran ini diakui Ibrahim Madkur sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Sammira’i (Fiqh al-Lugah al-Muqarran, tt:18) yang mengatakan bahwa kaidah bahasa Arab, tepatnya Nahwu telah di pengaruhi oleh logika Aristoteles dalam beberapa hal. Pertama, menggunakan kias atau analogi sebagai kaidah dalam Nahwu sebagaimana di gunakan dalam logika. Kedua, munculnya Nahwu siryanipada sekolah Nashibayn pada bad ke-6 Masehi bersamaan dengan munculnya pakar Nahwu yang pertama.
Kekeliruan dalam bahasa menimbulkan kekelirun dalam berpikir. Berikut beberapa contohnya, yakni:
a.       Kekeliruan dalam komposisi
b.      Kekeliruan dalam pembagian atau devisi
c.       Kekeliruan karena tekanan
d.      Kekeliruan karena amfibioli
Kesimpulannya ialah filsafat sangat berperan dalam menentukan kualitas bahasa. Tanap peran serta filsafat (logika) kekeliruan dalam bahasa tidak mungkin dapat di pengaruhi.
Contoh-contoh diatas menjelaskan bahwa filsafat berhubungan dengan bahasa. Hubungan itu sangat erat bahkan menjelaskan bahwa perkembangan filsafat mempengaruhi perkembangan bahasa, mungkin juga sebaliknya.
2.      Cara Filsafat Menyelesaikan masalah
Kegunaan filsafat yang lain adalah sebagai methodology, maksudnya sebagai metode dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah bahkan dengan metode dalam memandang dunia (world view).
Dalam hidup kita, kita menghadapi banyak masalah (kesulitan). Kehidupan akan di jalani lebih enak bila masalah itu terselesaikan. Ada banyak cara dalam menyelesaikan masalah, mulai dari yang amat sederhana sampai yang rumit.    
Sesuai dengan sifatnya, filsafat menyelesaikan massalah secara mendalam dan universal. Penyelesaian filsafat bersifat mendalam, artinya ia ingin mencari akar masalah. Universal, artinya filsafat ingin masalah itu dilihat dalam hubungan seluas-luasnya agar nantinya penyelesaian itu cepat dan berakibat seluas mungkin.

D.    Ilmu dan Moral
Pengetahuan (knowledge atau ilmu) adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir adalah sebagai differentia yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya, yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya.
Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia, sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia. Karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Ilmu tidak hanya menjadi berkah dan penyelamat manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya memudahkan untuk kerja manusia, namun kemudian digunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti bom yang terjadi di Bali.
Disinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak kepada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dapat diartikan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis baik yang berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Dalam tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Di sinilah masalah moral muncul kembali namun dalam kaitannya dengan faktor lain. Kalau dalam tahap kontemplasi, masalah moral berkaitan dengan metafisik keilmuan, sedangkan pada tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah itu sendiri. Dengan kata lain ketika ilmu dihadapkan pada kenyataan, maka yang dibicarakan adakah tentang  aksiologi keilmuan. Sebelum menentukan sejauhmana peran moral dalam penggunaan ilmu atau teknologi, ada dua kelompok yang memandang hubungan antara ilmu dan moral. Kelompok pertama, memandang bahwa ilmu itu harus bersifat netral, bebas dari nilai-nilai ontologi dan aksiologi. Sedangkan kelompok kedua, berpendapat bahwa kenetralan terhadap nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan.
Etika atau moral menjadi acuan bagi pengembangan ilmu pengetahuan karena penghormatan atas manusia. Sebagaimana dikemukakan, fisuf Jerman, Imanuel Kant, penghormatan kepada martabat manusia adalah suatu keharusan karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang merupakan tujuan pada dirinya, tidak boleh ditaklukkan untuk tujuan lain.
Pada akhirnya setiap ilmu akan dipertanyakan manfaatnya. Serba tebatas sudah didiskusikan bagaimana lahir dan berkembangnya pengetahuan sehingga melahirkan perbedaan konsep atas pemikiran tentang ilmu
E.     Tanggung jawab Sosial Ilmuwan
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Sekiranya hasil karya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan maka dia diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat tersebut. Atau dengan perkataan lain, penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat social. Peranan individu inilah yang menonjol dalam kemajuan ilmu di mana penemuan seorang seperti Newton atau Edison dapat mengubah wajah peradaban. Kreativitas individu yang didukung oleh sistem komunikasi social yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu yang berjalan sangat efektif.
Manusia adalah mahluk yang eksentirs. Diri manusia terarah keluar. Eksistensi manusia adalah koeksistensi yaitu “ada-bersama”. Kesosialisasian ini disebut eksistensial, karena terjalin dalam eksistensi manusia. Aku menjadi aku berkat realisasi dengan kamu. Jelaslah kiranya bahwa seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab social yang terpikul dibahunya. Bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentudalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawabagar produk keilmuan sampai dan dapat di manfaatakan oleh masyarakat.
Secara historis fungsi sosial dari kaum keilmuwan telah lama di kenal dan diakui.Raja Charles II dari Inggris mendidirikan The Royal Society yang bertindak selaku penawar bagi fatanisme di masyarakat waktu itu.Para ilmuwan pada waktu itu bersuara mengenai toleransi  beragama dan pembakaran tukang – tukang sihir. Akhir – akhir ini di kenal nama seperti Andre Sakharov yang bukan saja mewakili  sikap pribadinya namun pada hakikatnya mencerminkan sikap kelembagaan profesi keilmuan dalam menanggapi masalah – masalah sosial.
Mungkin pula terjadi masyarakat telah merasakan adanya masalah tertentu yang perlu di pecahkan namun karena satuvdan lain hal masalah itu belum muncul ke permukaan dan mendapatkan dukungan.Dalam hal seperti ini maka seseorang ilmuwan harus tampil ke depan dan berusaha mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah tersebut.Seorang ilmuwan terpanggil dalam tanggung jawab sosial mengenai hal ini karena dia mempunyai kemampuan untuk bertindak persusif dan argumentatif berdasarkan pengetahuannya yang dia miliki.
Pada bidang lain mungkin terjadi bahwa masalah itu baru akan timbul yang di sebabkan proses sekarang sedang berjalan. Ilmuwan berdasarkan pengetahuannya memiliki kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi. Umpamanya saja apakah yang akan terjadi di masa depan berdasarkan proses pendidikan keilmuan sekarang.Apakah sistem pendidikan kita memungkinkan negara kita mengejar keterbelakangan di bidang ilmu  dan teknologi di masa yang akan datang ?  sekiranya tidak maka apakah yang akan timbul sekiranya tindakan pencegahan tidak dilakukan ? Demikianlah pertanyaan yang serupa dapat di kemukakan dalam berbagai bidang seperti kependudukan, energy, sumber alam, dan pemukiman.
Kemampuan analisis seseorang ilmuwan mungkin pula menemukan alternative dari obyek permasalahan yang sedang menjadi pusat perhatian. Bertrand Russell umpamanya mengemukakan sebagai contoh betapa uang yang di pakai untuk persenjataan dapat di pergunakan  untuk meningkatkan dan mendistribusikan bahan makanan serta mengurangi ledakan penduduk. Kemampuan analisis seseorang ilmuwan dapat di pergunakan  untuk mengubah kegiatan nonproduktif yang bermanfaat bagi masyarakat banyak.
Singkatnya dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah – masalah yang seyogyanya mereka sendiri.Dalam hal ini,berbeda menghadapi masyarakat ilmuwan yang elitis dan esoterik,dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat di cernakan oleh orang awam.Dia harus bersikap seperti apa yang di sebutkan Norman Denzin selaku seorang salesman.Untuk itu maka dia bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisinya namun juga integritas kepribadiannya.
Karakteristik lain dari ilmu terletrak dalam usaha untuk menemukan kebenaran. Manusia dalam usaha untuk menemukan kebenaran itu ternyata menempuh cara yang bermacam-macam sehingga menimbulkan pemeo: kepela sama berbulu namun pendapat berlain-lain.
Memang kita harus bangga dengan julukan kita sebagai manusia: homo sapiens, mahluk yang berpikir. Segera terbeyeng di benak kita, mahluk yang tercenung dengan tinju di dagu, menghadapi masalah secara rasional. Namun bayangan ini kemudian luntur. Kemanusiaan berhutang budi kepada Sigmund Freud yang menyadarkan kita bahwa manusia itu bukan saja pandai membikin rasional tetapi juga cerdas membikin rasionalisasi.
Pikiran manusia bukan saja di pergunakan untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran namun sekaligus juga dapat di pergunakan untuk menemukan dan mempertahankan hal-hal yang tidak benar. Seorang manusia biasa berdalih untuk menutup-nutupi kesalahannya baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Dalih yang berbahaya adalah rasionalisasi yang disusun secara sistematis dan meyakinkan. Dalih semacam ini bisa memukau apalagi bila di dukung oleh sarana seperti kekuasaan. Tidak sedikit para ilmuan yang terbius oleh Hitler dan persepsi Jerman sebagai bangsa Aria dan kaum Yahudi sebagai pengotor ras Aria. Keadaan seperti ini bukan saja berlaku di bidang politik namun juga di bidang-bidang lain seperti mistik, ekonomi, peraturan lalu lintas sampai masalah pop ala sawitno dan  Erich Von Daniken.
Bagaimana sikap seseorang ilmuan menghadapi cara berpikir yang keliru ini? Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang bisa berpikir dengan teratur dan teliti. Bukan saja jalan pikirannya mengalir melalui pola-pola yang teratur namun juga segenap materi yang menjadi bahan pemikirannya dikaji dan diteliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu saja tanpa satu pemikiran yang cermat. Di sinilah kelebihan seorang ilmuwan di bandingkan dengan cara berpikir seorang awam.
Seorang awam kadang-kadang mempercayai asumsi yang tidak benar karena secara sepintas lalu memang hal itu kelihatannya masuk akal. Proses rasionalisasi di dasarkan kepada jalan pikiran yang keliru atau materi pemikiran yang tidak  benar. Seorang awam kadang –kadang terpakau oleh jalan pemikiran yang berlian dengan misteri yang tidak benar. Atau sebaliknya, dia terpakau dengan kenyataan – kenyataan yang memang di kenalnya, yang benar menurut anggapannya dan kepercayaannya, namun dia gagal untuk melihat jalan pikiran yang keliru dalam menganalisis kenyataan-kenyataan tersebut. Kelebihan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarkat sekiranya dia mengetahui cara berpikir mereka itu keliru. Dia mesti menjelaskan di mana mereka keliru, apa yang membuat mereka keliru, apa yang harus di bayar untuk kekeliruan itu.
Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang ilmuan. Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral yang melandasi sikap etis seorang ilmuwan. Kegiatan intelektual yang meninggikan kebenaran sebagai tujuam akhirnya mau tidak mau akan mempengaruhi pandangan moral. Kebenaran berfungsi bukan saja sebagai jalan pikirannya namun seluruh jalan hidupnya. Dalam usaha masyarakat untuk menegakkan kebenaran inilah maka seorang ilmuwan terpanggil oleh kewajiban sosialnya bukan saja sebagai penganalisis materi kebenran tersebut namun juga sebagai prototype moral yang baik.
Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberikan informasi tapi memberikan contoh. Dia harus tampil di depan bagaiaman caranya bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kuluh dalam pendirian yang dianggapnya benar, dan kalau perlu berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini, besrta sifat-sifat lainnya yang tidak di sebutkan di sini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenarana secara ilmiah. Di tengah situasi di mana segenap nilai mengalami kegoncangan maka seorang ilmuwan harus tampil ke depan. Pengetahuan yang di milikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Demikian juga dalam masyarakat yang sedang membangun maka dia harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan suri teladan.
Aspek etika dari hakikat keilmuan ini kurang mendapakan perhatian baik dari para pendidik maupun dati para ilmuwan itu sendiri. Kita cenderung untuk mendidik anak-anak kita menjadi cerdas tanpa mempersiapkan mereka dengan seksama agar kecerdasan itu di lengkapi dengan nilai-nilai moral yang luhur. Para pendidik bukan saja terlupa memasukkan hal-hal tersebut dalam materi kurikulumnya namun juga gagal memberikan teledan dalam proses belajar-mengajar. Kegagalan ini menimpa pula kalangan para ilmuwan kita. Debat mengenai matemaika modern umpanya merupakan contoh yang buruk yang sangat tidak mendidik baik secara berpikir keilmuan maupun mapun cara etika keilmuan.
Salah satu sendi masyarakat modern adalah ilmu dan teknologi. Berhadapan dengan teknlogi tampaknya kita berada dalam dilema: Teknologi kelihatan mengobrak-abrik kebudayaan tradisional, termasuk nilai-nilai dan tradisi-tradisi moralnya tapi lain pihak kita tidak dapat hidup tanpa teknologi. Kaum ilmuwan tidak boleh picik dan menganggap ilmu dan technologi itu alpha dan omega dari segala-galanya, masih terdapat banyak lagi sendi-sendi lain yang menyangga peradaban manusia yang baik. Demikian juga masih terdapat kebenaran-kebenaran lain di samping kebenaran keilmuan yang  melengkapi harkat manusia yang hakiki. Namun bila kaum ilmuwan konsekuen dengan pandangan hidupnya, baik secara intelektual maupun secara moral, maka salah satu penyangga masyarakat modern itu akan berdiri dengan kukuh. Berdirinya pilar penyangga kelimuan inimerupakan tanggung jawab social seorang ilmuwan. Kita tidak bisa lari padanya sebab hal ini merupakan bagian dari hakikat ilmu itu sendiri. Biar bagaimanapun kita tidak akan pernah melarikan diri dari diri kita sendiri.   


























BAB III
KESIMPULAN
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam manusia, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia setelah mencapai pengetahuan.
Dalam kajian aksiologi ilmu membicarakan untuk apa dan untuk siapa. Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan. Banyak ahli yang menafsirkan pengertian dari aksiologi ilmu, tapi pada dasarnya semua tertuju kepada bagaimana ilmu itu sebenarnya di gunakan .
Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai.
Sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak benar maka dari itulah di butuhkan suatu tanggung jawab social dari para ilmuwan. Hal ini juga tidak terlepas dari peran nilai dan moral.
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.








DAFTAR PUSTAKA
Tafsir, Ahmad. filsafat ilmu. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,  2010.
Susriasumantri, Jujun S.. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Surajiyo. Filsafat ilmu & perkembangannya di Indonesia Sebuah Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Prof. Dr. Ir. Soetrisno, MP, dan Dr. Ir. SRDm Rita Hanafie, MP. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: C.V Andi Offset, 2007.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers, 2011
Magnis, Franz, dan Suseno. Pijar-Pijar Filsafat Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, Dari Adam Muller ke Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Snijders, Adelbert. Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan.Yogyakarta: Kanisius, 2004.      
TIM, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), 2005

0 komentar:

Posting Komentar