AKSIOLOGI ILMU
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Aksiologi
Aksiologi adalah cabang filsafat
yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi
mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan?
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penetuan objek yang di telaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan antar teknik, procedural yang merupakan oprasionalisasi metode
ilmiah dengan norma-norma moral atau professonal?.
Untuk lebih mengenal apa yang
dimaksud dengan aksiologi, berikut akan diuraikan beberapa definisi tentang
aksiologi, diantaranya:
1.
Aksiologi berasal dari kata bahasa Yunani axios yang berarti
nilai atau sesuatu yang berharga dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi
adalah “teori tentang nilai”.
2.
Sedangkan arti aksiologi yang terdapat di dalam bukunya
Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi
diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh.
3.
Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan
moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, estheticexpression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini
melahirkan keindahan. Ketiga,
sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan
filsafat social-politik.
4.
Dalam Encyclopedia of philosophy dijelaskan, aksiologi
disamakan dengan Value dan Valuation. Ada tiga bentuk Value dan Valuation.
a.
Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam
pengertian yang lebih sempit seperti,
baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi
sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian. Penggunaan
nilai yang lebih luas, merupakan kata benda asli untuk seluruh macam kritik
atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain dan ia berada
dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi adalah bagian dari etika. Lewis
menyebutkan sebagai alat untuk mencapai beberapa tujuan, sebagai nilai
instrumental atau menjadi baik atau suatu menjadi menarik, sebagai nilai
inheren atau kebaikan seperti estetis dari sebuah karya seni, sebagai nilai
interinsik atau menjadi baik dalam dirinya sendiri, sebagai nilai kontributor
atau nilai yang merupakan pengalaman yang memberikan kontribusi.
b.
Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita
berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk
kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan system nilai
dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai
sebagaimana berlawana dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.
c.
Nilai juga di gunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi
menilai, member nilai, dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi
ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey
membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.
B.
Dasar-Dasar Aksiologi Ilmu
Dari defenisi-defenisi mengenai aksiologi,
terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai.
Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam
filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Terhadap
perbuatan-perbuatan manusia.
Makna kata ”etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Seperti
ungkapan “saya pernah belajar etika”. Arti kedua,
merupakan suatu predikat yang di pakai untuk membedakan hal-hal,
perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia yang lain. Seperti ungkapan “ia
bersifat etis atau ia seorang yang jujur atau pembunuhan merupakan sesuatu yang
tidak susila”.
Etika menilai perbuatan manusia,
maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa
objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan
pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan
tidak baik di dalam satu kondisiyang normatif, yaitu suatu kondsi yang
melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tetang
pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan
fenomena di sekelilingnya. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala
sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu
kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah
bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga
mempunyai kepribadian.
Sebenarnya keindahan bukanlah
merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan
dengan perasaan. Misalnya kita bengun pagi, matahari memancarkan sinarnya kita
merasa sehat dan secara umum kita merasaakan kenikmatan. Meskipun sesungguhnya
pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat.
Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek
itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap. Padahal
sebenarnya tetap merupakan perasaan.
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan obyektif jika nilai-nilai tidak
tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan
berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran
tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada
objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek
berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur
penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah
kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan
diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu
faktor yang membedakan antara peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah
terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuwan harus bebas dalam
menentukan topiknya penelitiannya, bebas dalam melakukan eksperimen-eksperimen.
Kebebasan inilah yang akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang
ilmuwan bekerja dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar
penelitian berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya,
dia tidak mau terikat dengan nilai subyektif, seperti nilai-nilai dalam
masyarakat, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Bagi seorang ilmuwan
kegiatan ilmiahnya dengan kebenaran ilmiahnya adalah sangat penting.
C. Aksiologi Pengetahuan
filsafat
Disini
diuraikan dua hal, pertama kegunaan pengetahuan filsafat dan kedua cara
filsafat menyelesaikan masalah.
1.
Kegunaan
Pengetahuan Filsafat
Tidak setiap orang perlu mengetahui filsafat. Tetapi orang
yang merasa perlu berpartisipasi dalam membangun dunia perlu mengetahui
filsafat. Mengapa? Krena dunia dibangun oleh dua kekuatan: agama dan filsafat.
Untuk mengetahui kegunaan filsafat, kita dapat memulainya dengan menlihat
filsafat sebagai tiga hal, pertama filsafat sebagai kumpulan teori filsafat,
kedua filsafat sebagai metode pemecahan masalah, ketiga filsafat sebagai
pandangan hidup (philosophy of life). Mengetahui teori-teori filsafat amat
perlu karena dunia dibentuk oleh teori-teori itu. Jika tidak senang pada
Komunisme maka harus mengetahui Marxsisme, karena teori filsafat untuk
Komunisme itu ada dalam Marxisme. Jika menyenangi ajaran Syi’ah Dua Belas di
Iran, maka hendaknya mengetahui filsafat Mulla Shadra. Begitulah kira-kira. Dan
jika hendak membentuk dunia, baik dunia besar maupun dunia kecil (diri
sendiri), maka kita tidak dapat mengelak dari penggunaan teori filsafat. Jadi,
mengetahui teori-teori filsafat amatlah perlu. Filsasat sebagai terori filsafat
juga perlu dipelajari oleh orang yang akan menjadi pengajar dalam bidang filsafat.
Yang amat penting juga ialah filsafat sebagai methodology,
yaitu cara memecahkan masalah yang dihadapai. Disini filsafat digunakan sebagai
satu cara atau model pemecahan masalah secara mendalam dan universal. Filsafat
selalu mencari sebab terakhir dan dari sudut pandang seluas-luasnya. Hal ini
diuraikan pada bagian lain sesudah ini.
Filsafat sebagai pandangan hidup tentu perlu juga diketahui.
Mengapa –misalnya- salah seorang Presiden Amerika (Bill Clinton, 1998), telah
mengaku berzina, dan masyarakatnya tetap banyak memberikan dukungan? Mungkinkah
hal seperti ini seperti Indonesia? Presiden Indonesia yang mengaku berzina
pasti akan dicopot oleh masyarakat Indonesia. Mengapa berbeda? Karena
masyarakat Indonesia berbeda pandangan hidupnya dengan masyarakat Amerika.
Fisalfat sebagai philosophy of life sama dengan agama, dalam
hal sama mempengaruhi sikap dan tindakan penganutnya. Bila agama dari tuhan
atau dari langit, maka fislafat (sebagai pandangan hidup) berasal dari
pemikiran manusia.
Berikut uraian yang membahas kegunaan filsafat dalam menentukan philosophy of life. Banyak orang memiliki pandangan hidup, banyak orang yang menganggap philosophy of life itu sangat penting dalam menjalani kehidupan.
Berikut uraian yang membahas kegunaan filsafat dalam menentukan philosophy of life. Banyak orang memiliki pandangan hidup, banyak orang yang menganggap philosophy of life itu sangat penting dalam menjalani kehidupan.
a.
Kegunaan Filsafat
bagi Akidah
Akidah adalah
bagian dari ajaran Islam yang mengatur cara berkeyakinan. Pusatnya ialah
keyakinan kepada tuhan. Posisinya dalam keseluruhan ajaran Islam sangat
penting, merupakan fondasi ajaran Islam secara keseluruhan, di atas akidah
itulah keseluruhan ajaran Islam berdiri dan didirikan. Keterangan seperti ini
berlaku juga bagi agama selain Islam.
Karena kedudukan
akidah seperti itu, maka akidah seseorang muslim haruslah kuat, dengan kuat
akidah akan kuat pula keIslamanya secara keseluruhan. Untuk memperkuat akidah
perlu dilakukan sekurang-kurangnya dua hal, pertama, mengamalkan seluruh ajaran
Islam secara bersungguh-sungguh, kedua, memprtajam pengertian ajaran Islam itu.
Jadi, akidah dapat diperkuat dengan pengalaman dan pemhaman (ajaran Islam).
Dapatkah filsafat memperkuat pemahaman kita tentang tuhan?
b.
Kegunaan Filsafat
bagi Kaum Hukum
Istilah hukum Islam
sering rancu. Kadang-kadang hukum Islam itu diartikan syari’ah, kadang-kadang
fikih (fiqh). Yang dimaksud disini ialah fikih. Fikih secara bahasa berarti
mengetahui. Al-Qur’an menggunakan kata al-fiqh dalam pengertian memahami atau
paham. Pada zaman Nabi Muhammad SAW kata al-fiqh itu tidak hanya berarti paham
tentang hukum tetapi paham dalam arti hukum. Faqiha artinya paham, mengerti,
tahu.
Dalam perkembangan
terakhir fikih dipahami oleh kalangan pakar ushu al-fiqh sebagai hukum praktis
hasil ijtihad. Sementara dikalangan pakar fikih, al-fikih dipahami sebagai
kumpulan hukum Islami yang mencangkup semua aspek syari’ah baik yang tertuang
secara tekstual maupun hasil penalaran terhadap sesuatu teks. Itulah sebabnya
dikalangan ahli ushul al-fiqh konsep syariah dipahami sebagai teks syari’iy
yakni Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang tetap dan tidak pernah mengalami perubahan. Butir-butir
aturan dan ketentuan hokum yang ada dalam fikih pada garis besarnya mencangkup
tiga unsur pokok, pertama, perintah shalat.
c.
Kegunaan Filsafat
bagi Bahasa
Di sepakati oleh
para ahli bahwa bahasa berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan perasaan dan
pikiran.terlihat ada hubungan yang erat antara bahasa dan pikiran. Ahmad
Abdurrahman Hamad (Al-‘Alaqah bayn
al-lughah wa al-Fikr, dar al-Ma’rifah al-Jami’iyyah, 1985: 17) menggambarkan
hubungan itu bagaikan satu mata uang yang mempunyai dua sisi. Aristoteles,
sebagaimana dikutip Hamad (1985: 32) menggambarkan hubungan antara bahasa dan
pemikiran ( logika ) sebagai hubungan antara hitungan dan angka, hubungan itu
adalah hubungan interindependen.
Diantara problem
yang di hadapi bahasa ialah dalam pemeliharaannya. Bahasa sering tidak mampu
membebaskan diri dari gangguan pemakainya. Orang awam sering merusak bahasa,
mereka menggunakan bahasa tanpa menggunakan kaidah yang benar. Kerusakan bahasa
itu biasanya di sebabkan oleh tidak di gunakannya logika. Logika itu filsafat.
Filosof adalah “prototype” orang bijaksana. Orang
bijaksana tentu harus menggunakan bahasa yang benar. Peran logika dalam bahasa
ialah memperbaikai bahasa, logika dapat mengetahui kesalahan bahasa. Peran ini
diakui Ibrahim Madkur sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Sammira’i (Fiqh al-Lugah al-Muqarran, tt:18) yang
mengatakan bahwa kaidah bahasa Arab, tepatnya Nahwu telah di pengaruhi oleh
logika Aristoteles dalam beberapa hal. Pertama,
menggunakan kias atau analogi sebagai kaidah dalam Nahwu sebagaimana di
gunakan dalam logika. Kedua, munculnya
Nahwu siryanipada sekolah Nashibayn pada bad ke-6 Masehi bersamaan dengan
munculnya pakar Nahwu yang pertama.
Kekeliruan dalam
bahasa menimbulkan kekelirun dalam berpikir. Berikut beberapa contohnya, yakni:
a.
Kekeliruan dalam
komposisi
b.
Kekeliruan dalam
pembagian atau devisi
c.
Kekeliruan karena
tekanan
d.
Kekeliruan karena amfibioli
Kesimpulannya ialah filsafat sangat berperan dalam
menentukan kualitas bahasa. Tanap peran serta filsafat (logika) kekeliruan dalam
bahasa tidak mungkin dapat di pengaruhi.
Contoh-contoh diatas menjelaskan bahwa filsafat berhubungan
dengan bahasa. Hubungan itu sangat erat bahkan menjelaskan bahwa perkembangan
filsafat mempengaruhi perkembangan bahasa, mungkin juga sebaliknya.
2.
Cara Filsafat
Menyelesaikan masalah
Kegunaan filsafat yang lain adalah sebagai methodology, maksudnya sebagai metode
dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah bahkan dengan metode dalam memandang
dunia (world view).
Dalam hidup kita, kita menghadapi banyak masalah
(kesulitan). Kehidupan akan di jalani lebih enak bila masalah itu
terselesaikan. Ada banyak cara dalam menyelesaikan masalah, mulai dari yang
amat sederhana sampai yang rumit.
Sesuai dengan sifatnya, filsafat menyelesaikan massalah
secara mendalam dan universal. Penyelesaian filsafat bersifat mendalam, artinya
ia ingin mencari akar masalah. Universal, artinya filsafat ingin masalah itu
dilihat dalam hubungan seluas-luasnya agar nantinya penyelesaian itu cepat dan
berakibat seluas mungkin.
D.
Ilmu dan
Moral
Pengetahuan (knowledge atau ilmu)
adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah
dari "berpikir ". Berpikir adalah sebagai differentia yang memisahkan
manusia dari sesama genus-nya, yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia
dan keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan
manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya.
Masalah-masalah itu akan berubah
dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana
menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu
dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan
dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara
memandang dunia, sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah
realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan
ideologi.
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia.
Karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara
lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri
bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu. Singkatnya ilmu merupakan
sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Ilmu tidak hanya menjadi berkah dan penyelamat manusia,
tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Misalnya pembuatan bom yang pada
awalnya memudahkan untuk kerja manusia, namun kemudian digunakan untuk hal-hal
yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri,
seperti bom yang terjadi di Bali.
Disinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan
memihak kepada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab jika ilmu tidak
berpihak kepada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang
kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dapat diartikan sebagai
penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis baik yang
berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Dalam
tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala alam untuk tujuan pengertian dan
pemahaman, namun lebih jauh lagi memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam
gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Di
sinilah masalah moral muncul kembali namun dalam kaitannya dengan faktor lain.
Kalau dalam tahap kontemplasi, masalah moral berkaitan dengan metafisik
keilmuan, sedangkan pada tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara
penggunaan pengetahuan ilmiah itu sendiri. Dengan kata lain ketika ilmu
dihadapkan pada kenyataan, maka yang dibicarakan adakah tentang aksiologi keilmuan. Sebelum menentukan
sejauhmana peran moral dalam penggunaan ilmu atau teknologi, ada dua kelompok
yang memandang hubungan antara ilmu dan moral. Kelompok pertama, memandang
bahwa ilmu itu harus bersifat netral, bebas dari nilai-nilai ontologi dan
aksiologi. Sedangkan kelompok kedua, berpendapat bahwa kenetralan terhadap
nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan.
Etika atau moral menjadi acuan
bagi pengembangan ilmu pengetahuan karena penghormatan atas manusia.
Sebagaimana dikemukakan, fisuf Jerman, Imanuel Kant, penghormatan kepada
martabat manusia adalah suatu keharusan karena manusia adalah satu-satunya
makhluk yang merupakan tujuan pada dirinya, tidak boleh ditaklukkan untuk
tujuan lain.
Pada akhirnya setiap ilmu akan
dipertanyakan manfaatnya. Serba tebatas sudah didiskusikan bagaimana lahir dan
berkembangnya pengetahuan sehingga melahirkan perbedaan konsep atas pemikiran
tentang ilmu
E. Tanggung jawab
Sosial Ilmuwan
Ilmu merupakan hasil karya
perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat.
Sekiranya hasil karya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan maka dia diterima
sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat
tersebut. Atau dengan perkataan lain, penciptaan ilmu bersifat individual namun
komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat social. Peranan individu inilah
yang menonjol dalam kemajuan ilmu di mana penemuan seorang seperti Newton atau
Edison dapat mengubah wajah peradaban. Kreativitas individu yang didukung oleh
sistem komunikasi social yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu
yang berjalan sangat efektif.
Manusia adalah mahluk yang
eksentirs. Diri manusia terarah keluar. Eksistensi manusia adalah koeksistensi
yaitu “ada-bersama”. Kesosialisasian ini disebut eksistensial, karena terjalin
dalam eksistensi manusia. Aku menjadi aku berkat realisasi dengan kamu. Jelaslah
kiranya bahwa seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab social yang terpikul
dibahunya. Bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya
terlibat secara langsung di masyarakat namun lebih penting adalah karena dia
mempunyai fungsi tertentudalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya
selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun
juga ikut bertanggung jawabagar produk keilmuan sampai dan dapat di manfaatakan
oleh masyarakat.
Secara historis fungsi sosial
dari kaum keilmuwan telah lama di kenal dan diakui.Raja Charles II dari Inggris
mendidirikan The Royal Society yang bertindak selaku penawar bagi fatanisme di
masyarakat waktu itu.Para ilmuwan pada waktu itu bersuara mengenai toleransi beragama dan pembakaran tukang – tukang
sihir. Akhir – akhir ini di kenal nama seperti Andre Sakharov yang bukan saja
mewakili sikap pribadinya namun pada
hakikatnya mencerminkan sikap kelembagaan profesi keilmuan dalam menanggapi
masalah – masalah sosial.
Mungkin pula terjadi masyarakat
telah merasakan adanya masalah tertentu yang perlu di pecahkan namun karena
satuvdan lain hal masalah itu belum muncul ke permukaan dan mendapatkan
dukungan.Dalam hal seperti ini maka seseorang ilmuwan harus tampil ke depan dan
berusaha mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah tersebut.Seorang
ilmuwan terpanggil dalam tanggung jawab sosial mengenai hal ini karena dia
mempunyai kemampuan untuk bertindak persusif dan argumentatif berdasarkan
pengetahuannya yang dia miliki.
Pada bidang lain mungkin terjadi
bahwa masalah itu baru akan timbul yang di sebabkan proses sekarang sedang
berjalan. Ilmuwan berdasarkan pengetahuannya memiliki kemampuan untuk
meramalkan apa yang akan terjadi. Umpamanya saja apakah yang akan terjadi di
masa depan berdasarkan proses pendidikan keilmuan sekarang.Apakah sistem
pendidikan kita memungkinkan negara kita mengejar keterbelakangan di bidang
ilmu dan teknologi di masa yang akan
datang ? sekiranya tidak maka apakah
yang akan timbul sekiranya tindakan pencegahan tidak dilakukan ? Demikianlah
pertanyaan yang serupa dapat di kemukakan dalam berbagai bidang seperti
kependudukan, energy, sumber alam, dan pemukiman.
Kemampuan analisis seseorang
ilmuwan mungkin pula menemukan alternative dari obyek permasalahan yang sedang
menjadi pusat perhatian. Bertrand Russell umpamanya mengemukakan sebagai contoh
betapa uang yang di pakai untuk persenjataan dapat di pergunakan untuk meningkatkan dan mendistribusikan bahan
makanan serta mengurangi ledakan penduduk. Kemampuan analisis seseorang ilmuwan
dapat di pergunakan untuk mengubah
kegiatan nonproduktif yang bermanfaat bagi masyarakat banyak.
Singkatnya dengan kemampuan pengetahuannya
seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah –
masalah yang seyogyanya mereka sendiri.Dalam hal ini,berbeda menghadapi
masyarakat ilmuwan yang elitis dan esoterik,dia harus berbicara dengan bahasa
yang dapat di cernakan oleh orang awam.Dia harus bersikap seperti apa yang di
sebutkan Norman Denzin selaku seorang salesman.Untuk itu maka dia bukan saja
mengandalkan pengetahuannya dan daya analisinya namun juga integritas
kepribadiannya.
Karakteristik lain dari ilmu terletrak
dalam usaha untuk menemukan kebenaran. Manusia dalam usaha untuk menemukan
kebenaran itu ternyata menempuh cara yang bermacam-macam sehingga menimbulkan
pemeo: kepela sama berbulu namun pendapat berlain-lain.
Memang kita harus bangga dengan
julukan kita sebagai manusia: homo
sapiens, mahluk yang berpikir. Segera terbeyeng di benak kita, mahluk yang
tercenung dengan tinju di dagu, menghadapi masalah secara rasional. Namun
bayangan ini kemudian luntur. Kemanusiaan berhutang budi kepada Sigmund Freud
yang menyadarkan kita bahwa manusia itu bukan saja pandai membikin rasional
tetapi juga cerdas membikin rasionalisasi.
Pikiran manusia bukan saja di
pergunakan untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran namun sekaligus juga
dapat di pergunakan untuk menemukan dan mempertahankan hal-hal yang tidak
benar. Seorang manusia biasa berdalih untuk menutup-nutupi kesalahannya baik
terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Dalih yang berbahaya
adalah rasionalisasi yang disusun secara sistematis dan meyakinkan. Dalih
semacam ini bisa memukau apalagi bila di dukung oleh sarana seperti kekuasaan.
Tidak sedikit para ilmuan yang terbius oleh Hitler dan persepsi Jerman sebagai
bangsa Aria dan kaum Yahudi sebagai pengotor ras Aria. Keadaan seperti ini
bukan saja berlaku di bidang politik namun juga di bidang-bidang lain seperti
mistik, ekonomi, peraturan lalu lintas sampai masalah pop ala sawitno dan Erich Von Daniken.
Bagaimana sikap seseorang ilmuan
menghadapi cara berpikir yang keliru ini? Seorang ilmuwan pada hakikatnya
adalah manusia yang bisa berpikir dengan teratur dan teliti. Bukan saja jalan
pikirannya mengalir melalui pola-pola yang teratur namun juga segenap materi
yang menjadi bahan pemikirannya dikaji dan diteliti. Seorang ilmuwan tidak
menolak atau menerima sesuatu secara begitu saja tanpa satu pemikiran yang
cermat. Di sinilah kelebihan seorang ilmuwan di bandingkan dengan cara berpikir
seorang awam.
Seorang awam kadang-kadang
mempercayai asumsi yang tidak benar karena secara sepintas lalu memang hal itu
kelihatannya masuk akal. Proses rasionalisasi di dasarkan kepada jalan pikiran
yang keliru atau materi pemikiran yang tidak benar. Seorang awam kadang –kadang terpakau
oleh jalan pemikiran yang berlian dengan misteri yang tidak benar. Atau sebaliknya,
dia terpakau dengan kenyataan – kenyataan yang memang di kenalnya, yang benar
menurut anggapannya dan kepercayaannya, namun dia gagal untuk melihat jalan
pikiran yang keliru dalam menganalisis kenyataan-kenyataan tersebut. Kelebihan
dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang menyebabkan dia mempunyai
tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarkat sekiranya dia
mengetahui cara berpikir mereka itu keliru. Dia mesti menjelaskan di mana
mereka keliru, apa yang membuat mereka keliru, apa yang harus di bayar untuk
kekeliruan itu.
Proses menemukan kebenaran secara
ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang ilmuan. Karakteristik proses tersebut
merupakan kategori moral yang melandasi sikap etis seorang ilmuwan. Kegiatan
intelektual yang meninggikan kebenaran sebagai tujuam akhirnya mau tidak mau
akan mempengaruhi pandangan moral. Kebenaran berfungsi bukan saja sebagai jalan
pikirannya namun seluruh jalan hidupnya. Dalam usaha masyarakat untuk
menegakkan kebenaran inilah maka seorang ilmuwan terpanggil oleh kewajiban
sosialnya bukan saja sebagai penganalisis materi kebenran tersebut namun juga
sebagai prototype moral yang baik.
Di bidang etika tanggung jawab
sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberikan informasi tapi memberikan contoh.
Dia harus tampil di depan bagaiaman caranya bersifat obyektif, terbuka,
menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kuluh dalam pendirian yang
dianggapnya benar, dan kalau perlu berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini,
besrta sifat-sifat lainnya yang tidak di sebutkan di sini, merupakan implikasi
etis dari proses penemuan kebenarana secara ilmiah. Di tengah situasi di mana
segenap nilai mengalami kegoncangan maka seorang ilmuwan harus tampil ke depan.
Pengetahuan yang di milikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya
keberanian. Demikian juga dalam masyarakat yang sedang membangun maka dia harus
bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan suri teladan.
Aspek etika dari hakikat keilmuan
ini kurang mendapakan perhatian baik dari para pendidik maupun dati para
ilmuwan itu sendiri. Kita cenderung untuk mendidik anak-anak kita menjadi
cerdas tanpa mempersiapkan mereka dengan seksama agar kecerdasan itu di
lengkapi dengan nilai-nilai moral yang luhur. Para pendidik bukan saja terlupa
memasukkan hal-hal tersebut dalam materi kurikulumnya namun juga gagal
memberikan teledan dalam proses belajar-mengajar. Kegagalan ini menimpa pula
kalangan para ilmuwan kita. Debat mengenai matemaika modern umpanya merupakan
contoh yang buruk yang sangat tidak mendidik baik secara berpikir keilmuan
maupun mapun cara etika keilmuan.
Salah satu sendi masyarakat
modern adalah ilmu dan teknologi. Berhadapan dengan teknlogi tampaknya kita
berada dalam dilema: Teknologi kelihatan mengobrak-abrik kebudayaan tradisional,
termasuk nilai-nilai dan tradisi-tradisi moralnya tapi lain pihak kita tidak
dapat hidup tanpa teknologi. Kaum ilmuwan tidak boleh picik dan menganggap ilmu
dan technologi itu alpha dan omega dari segala-galanya, masih terdapat banyak
lagi sendi-sendi lain yang menyangga peradaban manusia yang baik. Demikian juga
masih terdapat kebenaran-kebenaran lain di samping kebenaran keilmuan yang melengkapi harkat manusia yang hakiki. Namun
bila kaum ilmuwan konsekuen dengan pandangan hidupnya, baik secara intelektual
maupun secara moral, maka salah satu penyangga masyarakat modern itu akan
berdiri dengan kukuh. Berdirinya pilar penyangga kelimuan inimerupakan tanggung
jawab social seorang ilmuwan. Kita tidak bisa lari padanya sebab hal ini
merupakan bagian dari hakikat ilmu itu sendiri. Biar bagaimanapun kita tidak
akan pernah melarikan diri dari diri kita sendiri.
BAB III
KESIMPULAN
Filsafat
adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan,
alam manusia, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang
bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia setelah mencapai
pengetahuan.
Dalam
kajian aksiologi ilmu membicarakan untuk apa dan untuk siapa. Aksiologi adalah
ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi
Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya
dari pengetahuan. Banyak ahli yang menafsirkan pengertian dari aksiologi ilmu,
tapi pada dasarnya semua tertuju kepada bagaimana ilmu itu sebenarnya di
gunakan .
Perkembangan
yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik baru karena
kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai
netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan
yang didasarkan pada keterikatan nilai.
Sebenarnya
ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan
tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Karena
akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu
dimanfaatkan di jalan yang tidak benar maka dari itulah di butuhkan suatu
tanggung jawab social dari para ilmuwan. Hal ini juga tidak terlepas dari peran
nilai dan moral.
Pembahasan
aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai.
Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan
nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu
tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan
kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.
DAFTAR PUSTAKA
Tafsir,
Ahmad. filsafat ilmu. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010.
Susriasumantri,
Jujun S.. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2005.
Surajiyo.
Filsafat ilmu & perkembangannya di
Indonesia Sebuah Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Prof.
Dr. Ir. Soetrisno, MP, dan Dr. Ir. SRDm Rita Hanafie, MP. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: C.V Andi
Offset, 2007.
Bakhtiar,
Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta:
Rajawali Pers, 2011
Magnis,
Franz, dan Suseno. Pijar-Pijar Filsafat
Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, Dari Adam Muller ke Postmodernisme.
Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Snijders,
Adelbert. Antropologi Filsafat Manusia
Paradoks dan Seruan.Yogyakarta: Kanisius, 2004.
TIM,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), 2005
0 komentar:
Posting Komentar