Pembangunan Hukum Lingkungan Nasional, Hukum Lingkungan Dan Kebijaksanaan Lingkungan Di Indonesia, Hubungan Antara Hukum Lingkungan Dengan Hukum Adminstrasi Negara, Hukum Tata Negara, Hukum Perdta Dan Hukum Pidana


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    PEMBANGUNAN HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL
Sebalum kita membahas tentang pembangunan hukum lingkungan nasional, kita terlebih dahulu harus mengetahui defenisi dari pembangunan itu sendiri. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pembangunan adalah proses, cara, perbuatan membangun.[1] Sedangkan menurut Johan Galtung, pembangunan adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, baik secara individual maupun kelompok, dengan cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan, baik terhadap kehidupan sosial maupun lingkungan alam.[2]
Istilah “hukum lingkungan” merupakan konsepsi yang relative masih baru dalam dunia keilmuan pada umumya dan dalam lingkungan ilmu hukum pada khususnya, yang tumbuh sejalan bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran akan lingkungan. Dengan tumbuhnya pengertian dan kesadaran melindungi dan memelihara lingkungan hidup tersebut, tumbuh pula perhatian hukum kepadanya.[3] Pemikiran untuk mengkaji dan mengembangkan masalah lingkungan hidup di Indonesia untuk pertama kali dimulai pada tahun 1972, ketika Mochtar Kusuma-Atmadja  menyampaikan beberapa pikiran dan sarannya tentang bagaimana pengaturan hukum mengenai masalah lingkungan hidup manusia dengan menunjukkan betapa pentingnya peranan hukum untuk keperluan tersebut.
Adapun pengaturan hukum mengenai masalah lingkungan hidup manusia yang perlu dipikirkan,  menurut Mochtar KusumaAtmadja adalah sebagai berikut :[4]
1.      Peranan hukum adalah untuk menstrukturkan keseluruhan proses sehingga kepastian dan ketertiban terjamin. Adapun isi materi yang harus diatur ditentukan oleh ahli-ahli dari masing-masing sector, di samping perencanaan ekonomi dan pembangunan yang akan memperhatikan dampak secara keseluruhan.
2.    Cara pengaturan menurut hukum perundang-undangan dapat bersifat preventif dan represif; sedangkan mekanismenya ada beberapa macam, yang antara lain dapat berupa perizinan, insentif, denda, dan hukuman.
3.      Cara pendekatan atau penanggulangannya dapat bersifat sektoral, misalnya perencanaan kota, pertambangan, pertanian, industri, pekerjaan umum, kesehatan dan lain-lain. Dpat juga dilakukan secara menyeluruh dengan mengadakan undang-undang pokok mengenai Lingkungan Hidup Manusia (Law on the Human Environment atau Environmental Act) yang merupakan dasar bagi pengaturan sektoral .
4.      Pengaturan masalah ini dengan jalan hukum harus disertai oleh suatu usaha penerangan dan pendidikan masyarakat dalam soal-soal lingkungan hidup manusia. Hal ini karena pengaturan hukum hanya akan berhasil apabila ketentuan-ketentuan atau peraturan perundang-undangan itu di pahami oleh masyarakat dan dirasakan kegunaannya.
5.      Efektifitas pengaturan hukum masalah lingkungan hidup manusia tidak dapat dilepaskan dari keadaan aparat administrasi dan aparat penegak hukum sebagai prasarana efektivitas pelaksanaan hukum dalam kenyataan hidup sehari-hari.

     Pada tahun 1982, Indonesia menyusun undang-undang tersendiri mengenai kebijakan lingkungan hidup. Undang-undang yang mengatur hal ini ialah undang-undang no.4 tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN 1982 Nomor 12, TLN 3215). Inilah produk hukum pertama yang di buat di Indonesia, setelah sebelumnya di bentuk satu kantor kementrian tersendiri dalam susunana anggota Kabinet Pembangunan III priode 1978-1983. Menteri Negara Urusan Lingkungan Hidup yang pertama adalah Emil Salim yang berhasil meletakkan dasar-dasar kebijakan lingkungan hidup yang akhirnya di tuangkan dalam bentuk undang-undang pada 1982.
     Sejak diundangkannya UU No. 4 Tahun 1982, berbagai produk peraturan perundang-undangan resmi telah berhasil ditetapkan sebagai kebijakan yang diharapkan dapat dijadikan pegangan dalam setiap setiap gerak dan langkah pembangunan yang di lakukan, baik oleh pemerintah, masyarakat, maupun badan-badan usaha. Berbagai peraturan yang di maksud secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:
1)      Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 No. 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699).
2)      Peraturan pemerintah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif  Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Negara Lingkungan Hidup (Lembaran Negara RI Tahun 2008 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4882)
3)      Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 2003 sebagai pelaksana UU tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementrian negara lingkungan hidup di bidang pengendalian dampak lingkungan (lembaran negara tahun 2003 nomor 81, tambahan lembaran negara nomor 4304).
4)      Peraturan pemerintah nomor 4 tahun 2001 tentang pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan(lembaran negara tahun 2001 nomor 10,tambahan lembaran negara nomor 4076).
5)      Peraturan pemerintah nomor 54 tahun 2000 tentang lembaran penyedia jasa layanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan(lembaran negara tahun 2000 nomor 113,tambahan lembaran negara nomor 3982).[5]
     Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup perlu diikuti tindakan berupa pelestarian sumber daya alam dalam rangka memajukan kesejahtraan umum seperti tercantum dalam UUD 1945. UU No. 4 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah dan diperbarui oleh UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) adalah payung di bidang pengelolaan limgkungan hidup di Indonesia dewasa ini. Dengan demikian, UUPLH merupakan dasar ketentuan pelaksanaan  dalam pengelolaan lingkungan hidup serta sebagai dasar penyesuaian terhadap perubahan atas peraturan yang telah ada sebelumnya, serta menjadikannya sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh di dalam suatu sistem.[6] Menurut para akdemisi, hukum lingkungan merupakan bidang hukum yang disebut dengan bidang hukum fungsional, yaitu sebuah bidang hukum yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum administrasi negara, pidana dan perdata. Jika kita cermati ketiga baik UULH 1982, UULH 1997 maupun UUPPLH 2009 menandung norma-norma undang-undang yang masuk ke dalam bidang hukum administrasi negara, pidana dan perdata.[7]
     Sebagai subsistem atau bagian (komponen) “sistem hukum nasional” Indonesia, hukum linkungan Indonesia didalam dirinya membentuk suatu sistem, dan sebagai suatu sistem, hukum lingkungan Indonesia mempunyai subsistem yang terdiri atas[8] :
1.      Hukum penataan lingkungan;
2.      Hukum acara lingkungan;
3.      Hukum perdata lingkungan;
4.      Hukum pidana lingkungan;
5.      Hukum lingkungan internasional.
     Hukum lingkungan dibuat dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dan memberi manfaat kepada masyarakat. Dengan kata lain bahwa harus ada kepastian hukum didalamnya. Dalam pembangunan hukun lingkungan,  di perlukan adanya kepastian hukum karena kepastian hukum menghendaki bagaimana hukumnya dilaksanakan, tanpa peduli bagaimana pahitnya (fiat justitia et pereat mundus : meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hal ini dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam masyarakat. Misalnya: “Barang siapa mencemarkan lingkungan maka ia harus dihukum”, ketentuan ini menghendaki agar siapapun (tidak peduli jabatannya) apabila melakukan pencemaran lingkungan maka ia harus dihukum. Ingat: bahwa dihukumnya pencemar di sini bukan karena ia mencemarkan (jadi bukan berdasar sebab-akibat), tetapi karena adanya suatu peraturan yang ada terlebih dahulu yang melarang perbuatan pencemaran tersebut. Itulah yang dikhendaki dalam kepastian hukum, apa bunyi dari hukum itulah yang dilaksanakan.
     Sebaliknya masyarakat menghendaki adanya manfaat dalam pelaksanaan peraturan atau penegakan hukum lingkungan tersebut. Hukum lingkungan dibuat dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dan member manfaat kepada masyarakat. Artinya peraturan tersebut dibuat adalah untuk kepentingan masyarakat, sehingga jangan sampai terjadi bahwa, karena dilaksanakannya peraturan tersebut, masyrakat justru menjadi resah. Contoh: sebuah pabrik konveksi yang memperkerjakan ribuan orang ditutup karena ia telah mencemarkan lingkungan, hal ini tentu akan menimbulkan keresahan baik terhadap masyarakat dunia usaha maupun para pekerjanya. Mengapa tidak dicari jalan keluar lainnya, misalnya menyeret pengelola peruahaan tersebut ke pengadilan, mewajibkan perusahaan membayar pemulihan lingkungan, tetapi kegiatan pabrik tetap berjalan dengan pengawasan ketat disertai pengurangan produksi. Inilah yang disebut dengan kemanfaatan dalam penegakan hukum ingkungan.
     Unsur ke tiga adalah  keadilan. Dalam penegakan hukum lingkungan, keadilan harus diperhatikan. Namun demikian hukum tidak identik dengan keadilan, karena hukum itu sifatnya umum, mengikat setiap orang, dan menyamaratakan ; bunyi hukum : “barang siapa mencemarkan lingkungan hidup harus dihukum,” artinya setiap orang yang mencemarkan lingkungan harus dihukum, tanpa membeda-bedakan kedudukan atau jabatan siapa yang mencemarkan. Tetapi sebaliknya, keadilan bersifat subjektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan, artinya adil bagi si A belum tentu adil bagi si B, pencemar yang di menangkan akan mengatakan bahwa keputusan tersebut adil, tetapi hal itu tentu dirasakan tidak adil bagi si korban.
     Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi, apabila kita terlalu mengejar kepastian hukum, terlalu ketat dalam mentaati peraturan hukum akibatnya akan menjadi kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Undang-undang terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat : lex dura, sed tamen skripta (Undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya).
     Menurut Merto Kusumo, kalau dalam penegakan hukum yang diperhatikan hanya kepastian hukum, maka unsure-unsur lainnya dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan hanyalah kemanfatan, maka kepastian dan keadilan dikorbankan, demikian seterusnya.
     Oleh karena itu dalam penegakan hukum lingkungan ketiga hukum tersebut, yaitu kepastian, kemanfaatan, dan keadilan harus dikompromikan. Artinya ketiganya harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang dalam penanganannya, meskipun di alam praktek tidak selalu mudah dalam melakukannya.[9]
     Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang bagi rakyat Indonesia serta makluk hidup lainnya.[10]
      
B.     HUKUM LINGKUNGAN DAN KEBIJAKSANAAN LINGKUNGAN DI INDONESIA.
Istilah hukum lingkungan ini merupakan terjemahan dari beberapa bahasa asing , yaitu  environmental Law” dalam bahasa Inggris, ”Millieeurecht” dalam bahasa Belanda, ”lenvironnement” dalam bahasa Prancis, ”unweltrecht” dalam bahasa Jerman, ”hukum Alam Seputar” dalam bahasa Malaysia, ”batas nan kapaligiran” dalam bahasa Tagalog, ”sin-ved-lom kwham” dalam bahasa Thailand, ”Qomum al-biah” dalam bahasa Arab.
Banyaknya aliran dalam bidang hukum telah mengakibatkan banyak pengertian tentang hukum yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk menyamakan persepsi dalam membahas tentang pengertian hukum lingkungan, perlu di sampaikan terlebih dahulu bahwa pada umumnya hukum itu adalah keseluruhan kumpulan peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama.[11] Gatot P.Soemartono yang menyebutkan bahwa hukum itu adalah keseluruhan peraturan tentang tingkah laku manusia yang isinya tentang apa yang seharusny dilakukan atau tidak dilakukan dalam kehidupan bermasyakat, yang pelaksanaan peraturan tersebut dapat di paksakan dengan suatu sanksi oleh pihat yang berwenang. Dari uraian mengenai pngertian hukum maka hukum lingkungan adalah keseluruhan peraturan yang mengatur tingkah laku orang tentang apa yang seharusnya dilakukan terhadap lingkungan, yang pelaksanaan peratuan tersebut dapat dipaksakan dengan suatu sanksi oleh pihak yang berwenang.[12]
Sedang menurut Danusaputro hukum yang mendasari penyelenggaran perlindungan dan tata pengelolaan serta peningkatan ketahanan lingkungan.[13] Beliaulah yang membedakan antara hukum lingkungan modern yang berorientasi kepada lingkungan atau Environment oriented law dan hukum lingkunagn klasik yang berorientasi kepada penggunaan lingkungan atau use-orientedlaw.
Kebijaksanaan merupakan suatu bentuk pengenyampingan terhadap aturan, diumpamakan dalam suatu hal telah ada ketentuan tentang larangan untuk melakukan atau dilakukan sesuatu, tetapi kemudian terdapat pengenyampingan aturan tersebut bahwa sesuatu atau dapat dilakukan atau boleh melakukan sesuatu yang telah dilarang, diperkenankannya melakukan atau dilakukan sesuatu yang dilarang tersebut disertai dengan syarat.
Kebijaksanaan berkaitan erat dengan syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang mendapatkan kebijaksanaan, calon penerima kebijaksanaan harus melakukan/memberikan/membuat sesuau agar kebijaksanaan dapat dikeluarkan, apabila syarat untuk dikeluarkannya kebijaksanaan tidak dipenuhi, maka kebijaksanaan tersebut tidak dapat dikeluarkan oleh pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijaksanaan.
Contoh dari kebijaksanaan adalah, adanya larangan membuang limbah industri cair ke sungai, namun dapat diberikan kebijaksanaan untuk diperbolehkan (dapat ijin) membuang limbah ke sungai dengan syarat kondisi limbah yang akan dibuang harus diolah terlebih dahulu sehingga tidak mengganggu baku mutu air.[14]
Berbicara kebijaksanaan nasional mengenai lingkungan nasional, berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah mengenai komitmennya terhadap lingkungan hidup yang merupakan kesepakatan pada konferensi PBB mengenai Lingkungan dan Pembangunan  di Stockholm Swedia tahun 1972. Saat itu, Indonesia adalah salah satu peserta dalam konferensi tersebut sehingga terikat dengan substansi dari hasil yang disepakati.[15] Kebijaksanaan lingkungan Indonesia saat ini tidak pernah terlepas dari UU No. 32 Tahun 2009. Berbeda dari dua undang-undang pendahulunya yang menggunakan istilah pengelolaan lingkungan hidup pada penamaannya, UU NO.32 tahun 2009 diberi nama perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Penambahan istilah “perlindungan” ini di dasarkan pada pandangan anggota panjah DPR RI dengan rasionalisasi agar memberikan makna tentang pentingnya lingkungan hidup untuk memperoleh perlindungan. Pihak eksekutif dan tim penyusun dan tim ahli sebenarnya sudah menjelaskan kepada para anggota panjah DPR bahwa pengelolaan lingkungan hidup merupakan konsep yang didalamnya telah memgandung unsur perlindungan lingkungan hidup di samping pemanfaatan lingkungan hidup. Tetapi para anggota panjah DPR bersihkeras bahwa istilah perlindungan harus dicantumkan dalam judul undang-undang, sehingga hal itu sepakat diterima.
Dibandingkan dengan UULH 1982 dan UULH 1997, UUPPLH memuat bab dan pasal yang lebih banyak. UUPPLH terdiri atas 17 BAB dab 127 pasal. Penamaan bab-babnya adalah sebagai berikut : BAB I tentang ketentuan umum, BAB II tentang asas, tujuan dan ruang lingkup, BAB III tentang perencanaan, BAB IV tentang Pemenfaatan, BAB V tentang Pengendalian, BAB VI Tentang Pemeliharaan, BAB VII Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, BAB VIII Tentang Sistem Informasi, BAB IX Tentang Tugas dan Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah, BAB X Tentang Hak, Kewajiban dan Larangan, BAB XI Tentang Peran Masyarakat, BAB XII Tentang Pengawasan dan Sanksi Administratif, BAB XIII Tentang Penyelesaian Sengketa Lingkungan, BAB XIV Tentang Penyidikan dan Pembuktian, BAB XV Tentang Ketentuan Pidana, BAB XVI Tentang Ketentuan Peralihan dan terakhir BAB XVII Tentang Ketentuan Penutup. UUPPLH memerlukan peraturan pelaksanaan dalam bentuk peraturan pemerintah dalam bidang-bidang berikut :
1.      Inpentarisasi lingkungan hidup (pasal 11)
2.      Penetapan ekoregion (pasal 11)
3.      Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (pasal 11)
4.      Penetapan daya dukung dan daya tampung (pasal 12 ayat (4))
5.      Kajian lingkungan hidup strategis (pasal 18 ayat (2))
6.      Baku mutu lingkungan hidup (pasal 20 ayat (4))
7.      Kriteria baku kerusakan (pasal 21 ayat (5))
8.      Analisis mengenai dampak lingkungan (pasal 33)
9.      Izin limgkungan (pasal 41)
10.  Instrument ekonomi lingkungan (pasal 43 ayat (4))
11.  Analisis resiko lingkungan (pasal 47 ayat (3))
12.  Tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan (pasal 53 ayat (3))
13.  Pengendalian pencenaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup (pasal 56)
14.  Tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup (pasal 54 ayat (3))
15.  Dana penjaminan (pasal 55 ayat (4))
16.  Konservasi dan pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi atmosfer (pasal 57 ayat (5))
17.  Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (pasal 58 ayat (2))
18.  Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (pasal 59 ayat (7))
19.  Tata cara dan persyaratan dumping (pasal 61 ayat (3))
20.  Tata cara pengawasan (pasal 75)
21.  Sanksi administrative (pasal 83)
22.  Penyelesaian sengketa lingkungan hidup (pasal 86 ayat (3))
Namun, menurut pasal 124 UUPPLH yang memuat ketentuan peralihan menyatakan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksnaan dari UULH 1997 dinyatakan masi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUPPLH hingga dikeluarkannya peraturan perundang-undangan UUPPLH. Pasal 126 UUPPLH menyatakan bahwa dalam waktu 1 tahun sejak UUPPLH diundangkan peraturan yang diamanatkan ditetapkan. Namun dalam kenyataannya, target 1 tahun untuk menguundangkan sejumlah aturan pemerintah pelaksanaan UUPPLH tidak dapat dicapai. UUPPLH diundangkan pada tanggal 3 oktober 2009, tetapi hingga setahun setelah pengundangan  UUPPLH, yaitu 3 oktober 2010, belum ada satupun peraturan pemerintah baru yang telah diundangkan.
Menurut Pasal 4 UUPPLH perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi unsure-unsur berikut : (a) perncanaan, (b) pemamfaatan, (c) pengendalian, (d) pemeliharaan, (e) pengawasan, (f) penegakan hukum. Menurut Pasal 5 UUPPLH, Perencanann perlindungan dsn pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan : (a) inventarisasi lingkungan hidup, (b) penetapan wilayah ekoregion, (c) penyusunan RPPLH.
UUPPLH memuat rumusan pengertian tentang konsep-konsep yang digunakan dalam batang tubuh undang-undang tersebut sebanyak 39 sebagaimana di rumuskan dalam pasal 1. Bandingkan dengan UULH 1997 yang hanya memuat 25 pengertian. UUPPLH tetap memuat rumusan pengertian dari beberapa konsep dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berasal  dari undang-undang sebelumnya.UUPPLH memuat pengertian dari 35 konsep yang relevan dengan pengelolaan lingkungan hidup dalam UUPPLH yaitu : (1) lingkungan hidup, (2) perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, (3) pembangunan berkelanjutan, (4) rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, (5) ekosistem, (6) pelestarian fungsi lingkungan hidup, (7) daya dukung, (8) lingkungan hidup, (9) daya tampung lingkungan hidup, (10) sumber daya alam, (11) kajian lingkungan hidup strategis, (12) analisis mengenai dampak lingkungan lingkungan, (13) upaya pengelolaan lingkungan hidup, (14) upaya pemantauan lingkungan hidup, (15) baku mutu lingkungan hidup, (16) pencemaran lingkungan hidup, (17) kriteria baku lingkungan hidup, (18) perusakan lingkungan hidup, (19) kerusakan lingkungan hidup, (20) konservasi sumber daya alam, (21) perubahan iklim, (22) limbah, bahan berbahaya dan beracun, (25) dampak lingkungan hidup, (26) organisasi lingkungan hidup, (27) audit lingkungan hidup, (28) ekoregion, (29) kearifan lokal, (30) masyarakat hukum, (31) orang, (32) instrument ekonomi lingkungan hidup, (33) ancaman serius, (34) izin lingkungan, (35) izin usaha.[16]

C.    HUBUNGAN ANTARA HUKUM LINGKUNGAN DENGAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA, HUKUM TATA NEGARA, HUKUM PERDATA, DAN HUKUM PIDANA.

a.      Pengertian Dasar
Sebelum membahas lebih jauh tentang hubungan antara hukum lingkungan dengan hukum administrasi negara, hukum tata negara, hukum perdata, dan hukum pidana, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu masing-masing dari hukum diatas.

*      Hukum Administrasi Negara
Ada tiga arti administrasi negara, yaitu sebagai berikut :
1.      Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintah, atau ssebagai institusi politik (kenegaraan), artinya meliputi organ yang berada pemerimtah. Mulai dari presiden, menteri (termasuk Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal, Inspektur Jenderal), Gubernur, Bupati dan sebagainya, singkatnya semua organ-organ yang menjalankan adminitrasi negara.
2.      Sebagai fungsi atau aktivitas, yaitu kegiatan “pemerintahan”, artinya kegiatan “mengurus kepentingan negara”.
3.      Sebagai proses teknis melaksanakan Undang-Undang, artinya meliputi segala tindakan aparatur negara dalam menyelenggarakan Undang-Undang.
Pembagaian HAN menurut Van Vollenhoven. Van Vollenhoven membagi Hukum Administrasi Negara ke dalam:
a)      Regelaarsrecht = the law of the legislative process =Hukum Perundang-undangan
b)      Bestuursrecht = the law of government = Hukum Tata Pemerintahan
c)      Justitierecht = the law of administration of justice = Hukum Acara Peradilan
d)     Politierecht = the law of administration of security = Hukum Kepolisian
Selain itu Justitierecht dibagi lagi ke dalam:
a)      Staatsrechtelijke Rechtpleging (Peradilan Ketatanegaraan)
b)      Privaatrechtelijke Rechtpleging (Peradilan Perdata)
c)      Strafrechtelijke Rechtpleging (Peradilan Pidana)
d)     Administratiefrechtelijke Rechtpleging (Peradilan Administrasi)
          Menurut Prof. Dr. Prajudi Atmosudirdjo pengertian admnistrasi ada 2 (dua), yaitu:
a)      Administrasi dalam pengertian sempit
Administrasi berarti tata usaha (office work). Di negeri Belanda pengertian bestuur dimaksudkan dalam pengertian administrasi. Sedang bagi Indonesia pengertian bestuur mengandung arti khusus dalam gerak aktivitas dalam negeri yang kini kita kenal dengan “pamong praja”, seperti dahulu department van binenlands bestuur.
b)      Administrasi dalam pengertian luas
Administrasi dalam pengertian luas, dapat ditinjau dari tiga sudut, yaitu :
1.      Administrasi sebagai proses dalam masyarakat,
2.      Administrasi sebagai suatu jenis kegiatan manusia, dan
3.      Administrasi sebagai kelompok orang yang secara bersama-sama sedang menggerakkan kegiatan-kegiatan di atas.
Dengan perkataan lain administrasi dapat ditinjau dari:
1.           Sudut proses (administrasi sebagai proses)
2.           Sudut fungsi (administrasi dalam arti fungsional), dan
3.           Sudut kepranataan (institution), administrasi dalam arti kepranataan.

*      Hukum Tata Negara
Beberapa sarjana mengemukakan pendapatnya tentang pengertian Hukum tata negara sebagai berikut:
1.      Van Der Pot
Hukum Tata Negara ialah peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan yang diperlukan, wewenang masing-masing badan, hubungan antara badan yang satu dengan lainnya, serta hubungan antara badan-badan dengan individu-individu di dalam suatu negara.
2.      Van Vollenhoven
Hukum tata negara ialah hukum yang mengatur semua masyarakat hukum atasan dan masyarakat hukum bawahan menurut tingkatannya dan masing-masing masyarakat hukum itu menentukan wilayah lingkungan rakyatnya dan menentukan badan-badan serta fungsinya masing-masing yang berkuasa dalam masyarakat hukum itu, serta menentukan susunan dan wewnang dari badan-badan tersebut.
3.      L. J. Van Apeldoorn
Hukum Tata  Negara ialah hukum negara dalam arti sempit. Menurut Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldoorn dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum menyebutkan bahwa perkataan “negara” dalam belbagai arti:
a.       Perkataan Negara dipakai dalam arti penguasa. Jadi, untuk menyatakan orang atau orang-orang yang melakukan kekuasaan yang tertinggi atas persekutuan rakyat yang bertempat tinggal dalam suatu daerah.
b.      Perkataan Negara kita dapati dalam kita dapati juga dalam arti persekutun rakyat, yaitu untuk menyatakan sesuatu bangsa yang hidup dalam satu daerah, di bawah kekuasaan yang tertinggi, menurut kaidah-kaidah hukum yang sama.
c.       Negara diartikan sesuatu wilayah tertentu. Dalam hal ini, perkataan negara di pakai untuk menyatakan sesuatu daerah, tempat berdiam sesuatu bangsa di bawah kekuasaan yang tertinggi.
d.      Negara terdapat dalam arti kas negara atau fiskus; harta yang dipegang oleh penguasa guna kepentingan umum.
4.      Prof. Kusumadi Pudjosewojo, S.H.
Dalam bukunya Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia menyebutkan bahwa: “ Hukum Tata Negara ialah hukum yang mengatur bentuk negara ( kesatuan atau federal ), dan bentuk pemerintahan ( kerajaan atau republik ), yang menunjukkan masyarakat-masyarakat hukum yang atasan maupun yang bawahan, beserta tingkatan-tingkatan ( hieraschie ), yang selanjutnya menegaskan wilayah dan lingkungan rakyat dari masyarakat hukum itu dan akhirnya menunjukkan alat-alat perlengkapan ( yang memegang kekuasaan penguasa ) dari masyarakat hukum itu, beserta susunan ( terdiri dari seorang atau sejumlah orang ), wewenang, tingkatan penimbanagan dari dan antara alat-alat perlengkapan itu.
5.      Logemann
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi negara. Negara menurut Prof. Logemann adalah suatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan dengan kekuasaanya mengatur serta menyelenggarakan sesuatu masyarakat. Organisasi itu dapat berupa pertambahan jabatan atan lapangan kerja tetap.
6.      Mac Iver
Menurut Mac Iver, bahwa negara itu sebagai suatu political organization, harus dibedakan dari “ masyarakat”. Negara itu suatu organisasi politik yang ada didalam masyarakat, tetapi negara itu bukan bentuk dari masyarakat. Negara itu organisasi dalam masyarakat, yaitu organisatie-kapstok.
7.      Miriam Budiardjo
Menutut Miriam Budiardjo negara, merupakan integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala kekuasaan dalam masyarakat. Manusia hidup dalam suasana kerja sama, sekaligus suasana antagonistis, dan penuh pertentangan.
Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan kekuasaanya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan dapat menetapkan tujuan dari kehidupan bersama itu .
Negara menetapkan cara dan batas-batas sampai dimana kekusaan digunakan dalam khidupan bersama baik oleh individu, golongan, asosiasi, maupun oleh negara sendiri. Dengan demikian, ia dapat mengintregasikan dan membimbing kegiatan social dari penduduknya kearah tujuan bersama.
Jadi, pengertiam hukum tata negara adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi dari negara, hubungan antara alat perlengkapan negara dalam garis vertical dan horizontal, serta kedudukan warga negara dan hak-hak asasinya.[17]

*      Hukum Perdata
Perkataan “Hukum Perdata” dalam arti yang luas meliputi semua hukum “privat materil”, yaitu segala hukum yang mengatur kepentingan perseorangan.  Perkataan “Hukum Perdata” juga dipakai dalam pengertian sempit sebagai lawan dari hukum dagang.[18]
Hukum perdata menurut ilmu hukum sekarang ini, lazim dibagi dalam empat bagian, yaitu :
1.      Hukum tentang diri seseorang
2.      Hukum kekeluargaan
3.      Hukum kekayaan dan
4.      Hukum warisan
Hukum tentang orang memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya tersebut, serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapam itu. Hukum keluarga mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan. Hukum kekayaan mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Hukum waris mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan sesorang jikalau ia meninggal.
Sistematika yang dipakai oleh kitab undang-undang hukum perdata  antara lain :
1.      Buku I, yang berkepala “Perihal Orang”, memuat hukum tentang diri seseorang dan Hukum Kekeluargaan.
2.      Buku II, yang berkepala “Perihal Benda”, memuat hukum perbendaan serta Hukum Waris.
3.      Buku III, yang berkepala “Perihal Perikatan” memuat hukum Hukum kekayaan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang tertentu.
4.      Buku IV yang berkepala “Perihal Pembuktian dan Lewat waktu (Daluwarsa), memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.[19]

*      Hukum Pidana
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk [20] :
o   Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut
o   Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimanayang telah diancamkan
o   Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

b.      Hubungan antara hukum lingkungan dengan hukum administrasi negara, hukum tata negara, hukum perdata, dan hukum pidana.

v  Hubungan hukum lingkungan dengan hukum administrasi negara
Penegakan hukum melalui instrument administratif bertujuan agar perbuatan atau pengabaian yang melanggar hukum atau tidak memenuhi persyaratan, berhenti tau mengembalikan kepada keadaan semula (sebelum adanya pelanggaran). Jadi, focus sanksi administratif adalah perbuatan.
Selain dari wewenang untuk menerapkan paksaan administratif (bestuurdwang), hukum lingkungan mengenal pula sanksi administratif yang lain yaitu penutupan perusahaan, larangan memakai peralatan tertentu, uang paksa (dwangsom) dan penarikan izin.
Dalam UUPPLH, kewenwangan penjatuhan sanksi paksaan pemerintah ada pada tiga pejabat , yaitu menteri lingkungan hidup, gubernur, bupati/walikota sebagaiman dinyatakan pasal 76 ayat 1 dan 2 UUPPLH. Saksi paksaan pemerintahan dalam bentuk pencegahan dan penghentian pelanggaran dapat dilakukan misalkan jika seorang pengusaha sedang membangun tempat usaha atau membuang limbah tanpa izin, maka pejabat yang berwenang setelah melalui pemeriksaan megetahui bahwa temapat usaha tersebut tidak memliki izin di maksud dapat melakukan tindakan paksa guna menghentikan kegiatan terlarang tersebut atau menghentikan mesin dan peralatan yang digunakan oleh kegiatan usaha tersebut sampai kegiatan usaha itu mematuhi ketentuan-ketentuan hukum administrasi, yaitu memiliki izin. Tindakan penaggulangan dan pemulihan dapat dilakukan jika misalkan akibat pelanggran ketentuan hukum lingkungan administrasi oleh sebuah kegitan usaha telah menimbulakan dampak negatif seperti sungai atau tanah atau satwa langka telah tercemar. Oleh sebab itu, pemerintah melakukan upaya penggulangan dan pemulihan, antara lain evakuasi penduduk atau karyawan ketempat yang aman dan selanjutnya menyusun dan melaksanakan program pembersiahan kembali sungai dan tanah tercemar. Pasal 80 ayat 1 UUPPLH menyebutkan beberapa bentuk tindakan paksaan pemerintah yaitu :
a.       Pengentian sementara kegiatan produksi;
b.      Pemindaha sarana produksi;
c.       Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
d.      Pembongkaran;
e.       Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran;
f.       Penghentian sementara seluruh kegiatan’
g.      Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan funsi lingkungan hidup.
Pada asanya penerapan sanksi paksaan pemerintah dikenakan setelah di dahului dengan teguran. Sanksi paksaan pemerintah dapat dikenakan tanpa di dahului oleh teguran jika pelanggaran yang dilakukan menimbulkan :
a.       Ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup.
b.      Dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera di hentikan pencemaran dan atau perusakan .
c.       Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera di hentikan pencemaran dan/atau perusakannya.
UULH 1997 tidak mengenal sanksi administrasi berupa pembekuan izin, sedangkan UUPPLH mengatur keberadaan sanksi pembekuan izin lingkungan sebagaimana diatur dalam pasal 76 ayat 2 c. UULH 1997 maupun UUPPLH mengenal sanksi hukum administrasi berupa pencabutan izin. Sanksi hukum administrasi berupa pencabutan izin lingkungan di sebut dalam pasal 76 ayat 2 d. sanksi pembekuan izin lingkungan dan pencabutan izin lingkungan merupakan upaya-upaya terakhir dalam penegakan hukum administrasi setelah penanggung jawab usaha tidak melaksanakan paksaan pemerintah. UUPPLH tidak memperjelas perbedaan antar pemebekuan izin dan pencabutan izin. Perbedaan itu dapat dipahami melaui draf RPP tentang pengawasan dan sanksi administrasi, dokumen tanggal 23 Desember 2010, pemebkuan lebih dahulu di tempuh dari pada pencabutan izin. Pembekuan lebih dahulu ditempuh dari pada pencabutan izin.  Pasal 35 darf RPP tentang pengawasan dan sanksi administrasi, dokumen tanggal 23 desember 2010 menyebutkan bahwa sanksi pembekuan izin dikenakan apabila :
a.       Kegiatan usaha tidak melaksankan apa yang seharusnya dilaksanakan, atau tidak melaksanakan perintah dalam pelaksanaan pemerintahan;
b.      Melanggar peraturan perundang-undangan di bidang B3 atau limbah B3;
c.       Belum menyelesaikan secara teknis apa yang telah menjadi kewajibannya;
d.      Melakukan hal tertentu di luarapa yang terdapat dalam persyaratan izin lingkungan, sehingga menimbulkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan.
Dalam pasal 36 draf RPP di sebutkan bahwa pencabutan izin lingkungan dapat dikenakan terhadap kegiatan usaha apabila :
a.       Tidak melaksanakan perintah dalam keputusan sanksi pembekuan izin lingkungan;
b.      Tidak melaksanakan paksaan pemerintah;
c.       Melakukan perbuatan yang mengakibatkan di lampauinya baku mutu lingkungan hidup atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang mengakibtakan luka berat atau mati;
d.      Melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan yang di izinkan;
e.       Memindahtangankan izin usahanya kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis pemberi izin usaha.
Dengan demikian, tidak dilaksanakannya perintah dalam keputusan pembekuan izin lingkungan merupakan salah satu dari lima alasan yang dapat menjadi dasar pencabuta izin lingkungan.[21]


v  Hubungan hukum lingkungan dengan hukum tata negara
Hubungan hukum lingkungan dengan hukum tata negara bisa dilihat dari kelembagaan  dari instansi pemerintah dan perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan, serta program-program yang dijalankan pemerintah dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan hidup dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan.
1.      Perangkat Hukum
Perangkat hukum yang berhubungan dengan lingkungan hidup mengacu pada UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Keppres No.2/2002 tentang pengalihan tugas, fungsi dan kewenangan Bapedal ke Menteri Negara Lingkungan Hidup, serta Keppres No.4/2002 tentang unit organisasi dan tugas eselon I Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dalam melaksanakan tugasnya Menteri Negara Lingkungan Hidup dibantu oleh:
a.       Sekretariat Menteri Negara
b.      Deputi Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup
c.       Deputi Bidang Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Lingkungan Hidup Kewilayahan
d.      Deputi Bidang Pengembangan Peran Masyarakat
e.       Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi
f.       Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Non Institusi
g.      Deputi Bidang Pelestarian Lingkungan
h.      Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis Pengelolaan Lingkungan Hidup
i.        Staf Ahli Bidang Lingkungan Global
j.        Staf Ahli Bidang Hukum Lingkungan
k.      Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Lingkungan
l.        Staf Ahli Bidang Sosial Budaya.
Disamping itu masih banyak UU, PP, Keppres, maupun Kepmen yang berhubungan erat dengan lingkungan hidup. Disamping memuat wewenang Pemerintah dalam mengatur kebijakan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup, UU No.23/1997 juga berisi persyaratan penaatan, penyelesaian sengketa, penyidikan, dan ketentuan pidana. Persyaratan penaatan lingkungan hidup dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:
F Perijinan
Setiap kegiatan yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan untuk memperoleh ijin melakukan kegitan tersebut. Ijin diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
F Pengawasan
Menteri mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam perundang-undangan lingkungan hidup. Untuk melakukan pengawasan tersebut Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang.
F Sanksi Administrasi
Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintah terhadap penanggung jawab kegiatan yang langgar erundang-undangan lingkungan hidup. Wewenang ini dapat diserahkan kepada Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.
F Audit
Pemerintah mendorong penanggung jawab kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup. Isi dari UU Lingkungan Hidup yang penting lainnya adalah:
ü  Bila terjadi sengketa lingkungan hidup maka dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
ü  Untuk lebih meningkatkan penegakan hukum, selain penyidik Pejabat Polisi, Pejabat Pegawai Sipil tertentu dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan UU Hukum Acara Pidana yang berlaku.
ü  Bila terjadi tindak pidana yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup maka diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah.
2.      Lembaga
Berdasarkan UU No.23/1997 tidak secara eksplisit menyatakan struktur organisasi yang menangani lingkungan hidup. Kementerian Negara Lingkungan Hidup bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengelolaan lingkungan hidup, juga mengkoordinasikan kegiatan seluruh instansi pemerintah yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan Keppres No.2/2002 maka tugas dan wewenang Bapedal dialihkan ke Kementerian Negara Lingkungan Hidup sehingga struktur organisasinya mengalami perubahan sesuai Keppress No.4/2002. Sedangkan Bapedalda masih tetap dipertahankan bentuknya seperti semula. Disamping instansi pemerintah masih ada LSM dan Pusat Studi Lingkungan (PSL) yang ikut berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang ada saat ini semula bernama Kementerian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) yang dibentuk tahun 1978. Fungsi kementerian seperti saat ini yaitu menyusun kebijaksanaan pelestarian lingkungan hidup dan mengkoordinasikan pelaksanaannya. Pada awal kegiatannya digunakan pendekatan advocacy yaitu usaha difokuskan kepada peningkatan kesadaran berlingkungan hidup dan pengembangan sarana-sarana dasar pelestarian lingkungan hidup. Pada tahun 1988 mulai tahapan berikutnya yaitu accountability atau pertanggungjawaban. Dalam kerangka accountability ini maka dibentuk Bapedal dan mengembangkan kelembagaan serta meningkatkan penaatan, baik melalui pendekatan hukum maupun melalui instrumen kebijakan altenatif. Kelanjutan dari tahap ini adalah mengembangkan berbagai produk hukum yang operasional, membentuk Bapedal Wilayah dan kemudian mendorong dibentuknya Bapedal Daerah. Dimensi baru dalam pelestarian lingkungan muncul pada tahun 1999 yaitu dimensi environmental ethics yaitu antara lain keterbukaan dan peningkatan peran serta masyarakat dengan intensitas yang lebih tinggi dalam mekanisme usaha pelestarian lingkungan hidup. Seperti telah disebutkan sebelumnya, Pemerintah Daerah tetap mempertahankan Bapedalda agar memiliki kemampuan koordinasi antar unit dalam Pemerintah Daerah. Saat ini Bapedalda yang ada berjumlah 168 buah yang tersebar di seluruh Indonesia.

v  Hubungan hukum lingkungan dengan hukum perdata
Karena hukum perdata Indonesia lebih dekat dengan hukum perdata belanda, maka dalam pembahasan tentang fungsi hukum perdata dalam penegakan hukum lingkungan dalam subbab ini, perlu dan relavan untuk lebih dahulu menempatkan pembahasan fungsi hukum perdata dalam penegakan hukum lingkungan berdasarkan perspektif penulis-penulis Belanda. Kemudian baru di ikuti oleh uaraian dan pemabahasan terhadap kasus-kasus gugatan hukum lingkungan perdata di Belanda, Indonesia, dan Amerika Serikat. Menurut Koeman hukim perdata memiliki empat fungsi yang relevan yaitu :
1.      Handhaving door middel van het privaat recht;
2.      Aanvullende normstelling;
3.      Schadeacties;
4.      Aanvullende rechtsbescherming;
(Hukum perdata, khususnya gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum-dan hakim perdata sesungguhnya memiliki arti penting bagi hukum lingkungan. Pada pokoknya hal itu berkaitan dengan empat fungsi :
1.      Penegakan hukum melalui hukum perdata;
2.      Penetapan norma tambahan;
3.      Gugatan untuk memperoleh ganti kerugian;
4.      Perlindungan hukum tambahan).
Dari pernyataan Koeman tersebut dapat dipahami bahwa salah satu fungsi dari gugatan perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum adalah untuk penegakan hukum. Tiga fungsi lainnya adalah penetapan norma tambahan, perolehan ganti kerugian dan perlindungan hukum tambahan. Di Belanda, konsep perbuatan melawan hukum berdasarkan ketentuan pasal 1401 BW lama yang mirip dengan ketentuan pasal 1365 KUHPerdata, sedangkan dalam BW baru dirumuskan dalam pasal 6:162. Gugata perdata sebagai sarana penegakan hukum dapat dilakukan baik oleh warga masyarakat maupun oleh pemerintah sebagaimana di kemukakan oleh Drupsteen. Namun, pengajuan guagatan perdata sebagai sarana penegakan hukum oleh penguasa atau pemerintah terbatas pada situasi bilaman penegak hukum administrasi tidak memadai, sehingga pada kenyataanya pendayagunaan gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum lingkungan oleh badan pemerintah sangat jarang terjadi.
Di Belanda, gugatan perbuatan melawan hukum dapat digunakan sebagai sarana penegakan hukum atas norma-norma hukum publik, seperti pelanggaran terhadap ketentuan perizinan maupun ketentuan hukum perdata. Norma-norma hukum lingkungan termasuk bagian dari norma-norma hukum publik. Penegakan atas norma-norma hukum lingkungan di bedakan atas tiga bidang yaitu : penegakan ketentuan bersifat larangan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan, penegakan ketentuan-ketentuan atau persyaratan-persyaratan dalam izin, penegakan terhadap ketetapan sanksi-sanksi.
Di Indonesia, gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum lingkungan juga dilakukan berdasarkan konsep perbuatan melawan hukum sebagai mana di rumuskan dalam pasal 1365 BW. Gugatan perdata sebagai upaya penegakan hukum lingkungan pertama kali dilakukan oleh WALHI melawan PT IIU, menteri perindustrian, menteri kehutanan, menteri dalam negeri, menteri lingkungan hidup dan gubernur provinsi sumatera utara di pengadilan negeri Jakarta pusat. Gugatan WALHI diujakan pada masa berlakunya UULH 1982 yang pada dasarnya tidak secara tegas mengakui hak lembaga swadaya masyarakat untuk mengajukan gugatan penegakan hukum lingkungan, teapi majelis hakim dalam perkara tersebut menginterpretasikan hak gugat itu dari konsep pran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup yang memang di akui dalam UULH 1982 (putusan perkara WALHI lawan PT IIU No. 820/Pdt/G/1938).
Putusan hakim dalam perkara WALHI melawan PT IIU memberikan inspirasi pembentukan norma UU yang secara tegas mengakui keberadaan hak lemabag swadaya masyarakat (LSM) untuk mengajukan gugatan UULH 1997. Dalam UULH 1997, hak LSM atau organisasi lingkungan hidup untuk menggugat dirumuskan dalam pasal 38 ayat 1. UUPPLH juga mengakui adanya hak lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan dengan rumusan yang mirip dengan rumusan dalam UULH 1997. Gugatan oleh lembaga swadaya masyarakat tidak dimaksudkan untuk memperoleh ganti kerugian, tetapi lebih dimaksudkan sebagai bentuk penegakan hukum lingkungan. Oleh sebab itu, jenis tuntutan yang diajukan oleh penggugat terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu, tanpa adanya tuntutan ganti kerugian, terkecuali penggugat telah mengelurkan biaya rill. LSM atau organisasi lingkungan hidup yang memiliki hak gugat adalah harus memenuhi persyratan sebagai berikut : berbentuk badan hukum atau yayasan, dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan bahwa tujuan pendirian LSM itu adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup, telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat dua tahun. Dalam UULH 1997 tidak ditemukan adanya persyaratan telah melaksanakan kegiatan sesuai anggaran dasar paling singkat dua tahun.
Selain gugatan perdata sebagai sarana penagakan hukum dilakukan oleh warga atau LSM juga dapat dilakukan oleh pemerintah. Dalam UULH 1997, kewenangan pemerintah melakukan gugatan perdata diatur dalam pasal 37 ayat 2, sedangkan dalam UUPPLH kewenangan itu di rumuskan dalam pasal 90 ayat 1.[22]
     
v  Hubungan hukum lingkungan dengan hukum pidana
Penegakan hukum pidana lingkungan bertujuan untuk memperbaiki atau memberi sanksi kepada pembuat (pelanggar hukum) agar ia berubah menjadi orang yang baik dan memerhatikan lingkungan serat hak orang lain untuk hidup di dalam lingkungan yang sehat dan tentram .Penegakan hukum pidana lingkungan bertujuan untuk memperbaiki atau memberi sanksi kepada pembuat (pelanggar hukum) agar ia berubah menjadi orang yang baik dan memerhatikan lingkungan serat hak orang lain untuk hidup di dalam lingkungan yang sehat dan tentram .
Sanksi pidana dalam hukum lingkungan mencakup dua macam kegiatan, yakni perbuatan mencemari lingkungan dan perbuatan merusak lingkungan. Termasuk dalam perbuatan merusak lingkungan, antara lain adalah penebangan kayu di hutan lindung, memburu, menangkap dan membunuh satwa yang dilindungi serta mengambil, merusak dan memperjual belikan jenis tumbuhan yang di lindungi. Dalam sitem hukum Indonesia, sanksi-sanksi pidana yang dapat di kenakan pada pelaku perbuatan mencemari lingkungan dan perbuatan merusak lingkungan terdapat dalam sejumlah undang-undang yaitu : UU No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), UU No.5 Tahun 1984 tentang perindustrian, dan UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
UUPPLH memuat dua jenis delik yaitu delik materil dan delik formil. Bahkan di bandingkan dengan UULH 1997, UUPPLH memuat jenis delik formil lebih banyak, tidak saja yang di tujukan kepada para pelaku usaha, tetapi juga kepada pejabat pemerintah dan orang-orang yang menjadi tenaga penyusun Amdal. UUPPLH juga memuat ancaman sanksi minimal dan maksimal dengan tujuan untuk membatasi diskresi hakim dalam menjatuhkan hukuman. Pembuat undang-undang memberlakukan sistem hukuman minimal dan maksimal tampak dilator belakangi oleh pertimbangan bahwa masalah-masalah lingkungan hidup di pandang sebagai masalah yang serius yang dapat mengancam dan merugikan keberadaan dan kepentinagan bangsa Indonesia secara kolektif. Oleh karena itu, pembuat UU merasa perlu untuk membatasi diskresi hakim dalam menjatuhkan putusan.
a.       Delik Materil
Ada perbedaan rumusan delik materil terakait dengan pencemaran lingkungan hidup berdasarkan UULH 1997 dengan rumusan berdasrkan UUPPLH. UULH 1997 masi mengadopsi rumusan dalam rumusan UULH 1992, yaitu tetap menggunakan kata “pencemaran lingkungan hidup” sehingga lebih abstrak di bandingkan dengan rumusan dalam UUPPLH. UULH 1997 memuat pengertian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dan kedua pengertian itu dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah unsur perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sudah terpenuhi atau belum dalam suatu kasus. Jika sebuah kegiatan atau sumber pencemar di dakwa telah mencemari air atau udara, maka jaksa penuntut harus mampu membuktikan, bahwa baku mutu air atau baku mutu udara Ambien telah menurun akibat buangan dari kegiatan terdakwa. Baku mutu air dapat dilihat dalam lampiran PP No. 20 Tahun 1990, sedangkan baku mutu udara Ambien dapat dilihat dalam lampiran PP No. 41 Tahun 1999.
Dalam UUPPLH rumusan delik materil terkait dengan pencemaran lingkungan hidup tidak lagi menggunakan kata atau istilah “pencemaran lingkungan hidup” tetapi sedara konseptual tidak mengubah makna dan tujuan yang diinginkan. Rumusan UUPPLH tidak lagi abstrak, tetapi lebih konkret karena menggunaka istilah “dilampauinya baku mutu Ambien atau baku mutu air”. Dengan kata lain, pencemaran lingkungan hidup terjadi apabila baku mutu udara Ambien dalam hal pencemaran udara atau baku mutu air dalam hal pencemaran air permukaan dan baku air laut dalam hal pencemaran laut telah dilampaui. Rumusan delik materil ini dapat di temukan dalam pasal 98 ayat 1 dan pasal 99 ayat 1. Pasal 98 ayat 1 menyatakan :
            Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan di lampauinya baku mutu udara Ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 99 ayat 1 menggunakan rumusan delik materil yang mirip dengan pasal 98 ayat 1 tersebut. Bedanya terletak pada unsur mental atau “mensrea” dari pelaku. Jika rumusan pasal 98 ayat 1 untuk perbuatan  yang dilakukan secara sengaja, pasal 99 ayat (1) perbuatan terjadi akibat kelalaina sipelaku. Dengan unsur kesalahan (mensra, schuld) pelaku, yaitu kesengajaan sebagaimana di rumuskan dalam pasal 91 ayat (1) dan kelalaian di rumuskan dalam pasal 99 ayat (1).
Selain itu, UUPPLH juga mengenal delik materil dengan dua kategori pemberatan. Pertama, pemberatan terkait dengan “mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia”. Kedua, pemberatan berupa “mengakibatkan orang luka berat atau mati”. UUPPLH juga memuat delik materil yang di berlakukan kepada pejabat pemerintah yang berwenang di bidang pengawasan lingkungan pemberlakuan delik materil ini dapat dipandang sebagai sebuah kebijakan pemidanaan yang maju dalam rangka mendorong para pejabat pemeritah untuk sungguh-sungguh melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup. Delik meteriil tersebut di rumuskan dalam pasal 112 UUPPLH.
b.      Delik Formil
Jika di bandingkan antara UULH 1997 dengan UUPPLH dalam hal muatan delik formil, UUPPLH memuat delik formil yang lebih banyak. Dalam UULH 1997, hanya terdapat dua jenis delik formil sebagaimana di rumuskan dalam Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2). Dalam UUPPLH terdapat 16 (enam belas) jenis delik formil sebagaimana di rumuskan dalam pasal 100 hingga pasal 111, kemudian pasal 113 hingga 115. Pertama, pasal 100 UUPPLH memuat rumusan delik formil tentang pelanggaran baku mutu air limbah, baku mutu emisi, baku mutu gangguan yang di ancam dengan pidana penjara maksimal 3 (tiga) tahun dan denda maksimal Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupuah). Kedua, adalah sebagaimana di rumuskan dalam pasal 101 yaitu perbuatan “melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undnagan atau izin lingkunagan” ancaman pidanaa penjara minimal 1 (satu) tahun dan maksimal 3 (tiga) tahun, serta denda minimal Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan denda maksimal Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Delik formil ketiga adalah sebagaimana dirumuskan dalam pasal 102 yaitu “melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin dengan ancaman pidana minimal 1 (satu) tahun dan maksimal 3 (tiga) tahun, serta denda minimal Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan maksimal Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Delik formil keemapt, sebagaimana dirumuskan dala pasal 103, adalah tentang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan yang diancam pidana minimal 1 (satu) tahun dan maksimal 3 (tiga) tahun serta denda minimal Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan maksimal Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Kelima, delik formil sebagaiman yang di rumuskan dalam pasal 104 yaitu tentang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan tanpa izin yang diancam dengan pidana maksimal 3 (tiga) tahun dan denda minimal Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Keenam, delik formil, sebagaimana yang di rumuskan dalam pasal 105 yaitu memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di ancam pidana minimal 4 (empat) tahun dan maksimal 12 (dua belas) tahun, serta denda minimal Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan maksimal Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Delik formil ketujuh, sebagaimana yang di rumuskan dalam pasal 106, adalah tentang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di ancam pidana minimal 5 (lima) tahun dan maksimal 15 (lima belas) tahun, serta denda minimal Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan maksimal Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Delik formil kedelapan, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 107adalah tentang memasukkan limbah B3 kedalam Wilayah kesatuan  Republik Indonesia yang di ancam pidana minimal 5 (lima) tahun dan maksimal 15 (lima belas) tahun, serta denda minimal Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan maksimal Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Delik formil kesembilan,  sebagaimana yang di rumuskan dal pasal 108, adalah tentang melakukan pembakaran lahan dengan yang ancaman pidana minimal  (tiga) tahun dan maksimal 10 (sepuluh) tahun, serta denda minimal Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan maksimal Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Delik formil kesepuluh, sebagaimana di rumuskan dalam pasal 109, adalah tentang kegiatan usaha tanpa memiliki izin lingkungan yang di ancam pidana penjara minimal 1 (satu) tahun dan maksimal 3 (tiga) tahun, serta denda minimal Rp 1.000.000.000,00 (satu nmiliar rupiah) dan maksimal Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).  Delik formil kesebelas, sebagaimana di rumuskan dalam pasal 110, adalah tentang penyusunan Amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun Amdal di ancam pidana penjara minimal 1  (satu) tahun dan maksimal 3 (tiga) tahun, serta denda minimal Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan maksimal Rp 3.000.000.000,00 ( tiga miliar rupiah). Delik formil kedua belas, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 11, tentang pejabat pemberi izin lingkungan tanpa dilengkapi Amdal atau UKL-UPL di ancam pidana penjara maksimal 3 (tiga) tahun, dan maksimal Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Delik formil keempat belas sebagaimana di rumuskan dalam pasal 113, adalah tentang memberikan informasi palsu merusak informasi atau memberikan keterangan yang  tidak benar di perlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diancam pidana penjara maksimal 1 (satu) tahun dan denda maksimal Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Delik formil kelima belas, sebagai mana di rumuskan dalam pasal 114, adalah tetntang penanggung jawab kegiatan usaha yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah pidana dengan pidana penjara maksimal 1 (satu) tahun dan denda maksimal Rp 1.000.000.000,00. Delik formil keenam belas, sebagai mana di rumuskan dalam pasal 115, adalah tentang perbuatan sengaja mencega, menghalang-halangi atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil di pidana dengan pidana penjara maksimal 1 (satu) tahun dan denda maksimal Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
Dari uraian ke enam belas delik formil tersebut, dapat di ketahui bahwa pembuat UU menciptakan delik-delik formil dalam UUPPLH terkait dengan pelanggaran-pelanggaran hukum administrasi. Selain itu, dalam rumusan delik formil tersebut, kecuali delik formil ke enam belas sebagaimana dirumuskan dalam pasal 115 tidak mencamtumkan unsur kesalahan. Apakah dengan demikian, UUPPLH telah menganut vicarious liability, yaitu sebuah bentuk pertanggung jawaban dalam bentuk hukum pidana dalam sistem hukum Anglo Saxon yang tidak mensyaratkan adanya unsure mensrea atau keslahan dalam sebuah tindak pidana. Kalau interpretasi ini yang di anut, maka berarti terjadi penyimpangan dari asas tiada hukuman tanpa kesalahan yang di anut hukum pidana Indonesia. Intrepretasi lainnya adalah meski rumusan-rumusan delik formil dalam UUPPLH tidak mencamtumkan secara tegas unsur mensrea atau kesalahan, secara tersirat di anggap ada karena delik-delik itu umumnya terkait dengan perbuatan aktif manusia yang pasti di dorong oleh kesadaran alam pikiran si pelaku, misalkan “memasukkan limbah B3 kedalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”, “menyusun Amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi”, “menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi Amdal, RKL-RPL”.[23]


















BAB III
PEMBAHASAN

A.    PEMBANGUNAN HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL.
Hukum lingkungan dalam bidang ilmu hukum, merupakan salah satu bidang ilmu hukum yang paling strategis karena hukum lingkungan mempunyai banyak segi yaitu segi hukum administrasi, segi hukum pidana, dan segi hukum perdata. Dalam pengertian sederhana, hukum lingkungan diartikan sebagai hukum yang mengatur tatanan lingkungan (lingkungan hidup), di mana lingkungan mencakup semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ruang di mana manusia berada dan memengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya. Dalam pengertian secara modern, hukum lingkungan lebih berorientasi pada lingkungan atau Environment-Oriented Law, sedang hukum lingkungan yang secara klasik lebih menekankan pada orientasi penggunaan lingkungan atau Use-Oriented Law.
Perkembangan hukum lingkungan modern di Indonesia lahir sejak diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, tanggal 11 Maret 1982 yang biasa disingkat dengan sebutan UULH 1982. UULH 1982 pada tanggal 19 September 1997 digantikan oleh Undang-undang No. 23 Tahun 1997 dan kemudian UU No. 23 Tahun 1997 (UULH 1997) juga dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN tahun 209 No. 140, disingkat dengan UUPPLH).
Menurut para akdemisi, hukum lingkungan merupakan bidang hukum yang disebut dengan bidang hukum fungsional, yaitu sebuah bidang hukum yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum administrasi negara, pidana dan perdata. Jika kita cermat ketiga baik UULH 1982, UULH 1997 maupun UUPPLH 2009 mengandung norma-norma undang-undang yang masuk ke dalam bidang hukum administrasi negara, pidana dan perdata.
UUPPLH 2009 sebagai sumber formal utama hukum lingkungan di Indonesia selain memuat ketentuan-ketentuan hukum dan instrumen-instrumen hukum seperti yang terkandung dalam undang-undang sebelumnya yaitu UULH 1982 dan UULH 1997 telah juga memuat norma-norma dan instrumen-instrumen hukum hukum baru. Beberapa norma hukum baru yang penting adalah tentang perlindungan hukum atas tiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup, kewenangan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penciptaan delik-delik materil baru. Dalam tulisan ini beberapa norma hukum baru yang akan diuraikan.
Pertama, UUPPLH telah secara tegas mengadopsi asas-asas yang terkandung dalam Deklarasi Rio 1992, yaitu asas-asas tanggungjawab negara, keterpaduan, kehati-hatian, keadilan, pencemar membayar, partisipatif dan kearifan lokal. Pengadopsian ini merupakan politik hukum yang penting karena dapat memperkuat kepentingan pengelolaan lingkungan hidup mmanakala berhadapan dengan kepentingan ekonomi jangka pendek. Hakim dalam mengadili sebuah perkara dapat menggunakan asas-asas itu untuk memberikan perhatian atas kepentingan pengelolaan lingkungan hidup yang mungkin tidak diperhatikan oleh pelaku usaha ataupun pejabat pemerintah yang berwenang.
Kedua, UUPPLH, khususnya dengan Pasal 66 UUPPLH sangat maju dalam memberikan perlindungan hukum kepada orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dari kemungkinan tuntutan pidana dan perdata. Perlindungan hukum ini sangat penting karena pada masa lalu telah ada kasus-kasus di mana para aktivis lingkungan hidup yang melaporkan dugaan terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup telah digugat secara perdata atau dituntut secara pidana atas dasar pencemaran nama baik perusahaan-perusahaan yang diduga telah menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Di dalam sistem hukum Amerika Serikat dan Phillipina, jaminan perlindungan hukum seperti ini disebut dengan Anti SLAPP (strategic legal action against public participation), yaitu gugatan yang dilakukan oleh perusahaan yang diduga telah mencemari atau merusak lingkungan hidup kemudian menggugat si pelapor atau pemberi informasi atau whistle blower dugaan terjadinya masalah-masalah lingkungan dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut dan kerugian materil terhadap pelapor atau pemberi informasi maupun terhadap pihak-pihak lain di masa datang.
Gugatan SLAPP dapat mematikan keberanian anggota-anggota masyarakat untuk bersikap kritis dan menyampaikan laporan atau informasi tentang dugaan atau telah terjadinya masalah-masalah lingkungan hidup oleh sektor-sektor usaha sehingga pada akhirnya dapat menggagalkan pengelolaan lingkungan hidup yang melibatkan peran aktif masyarakat madani (civil socitey). Para hakim di Indonesia penting sekali untuk memahami kehadiran dan kegunaan Pasal 66 UUPPLH
Ketiga, UUPPLH telah menimbulkan perubahan dalam bidang kewenangan penyidikan dalam perkara-perkara lingkungan. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (seterusnya disingkat dengan Polri) dan pejabat Pegawai Negeri Sipil (seterusnya disingkat dengan PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. UUPPLH merupakan salah satu undang-undang sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) yang menjadi dasar bagi keberadaan PPNS sebagaimana dirumuskan dalam Pasal Kewenangan Polri selain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP, antara lain, melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, pemeriksaan dan penyitaan surat dan wewenang koordinasi atas pelaksanaan tugas PPNS (Pasal 7 ayat (2), Polri sebagai institusi yang berwenang menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum (Pasal 8 ayat (2).
Dengan demikian, berdasarkan sistem KUHAP, PPNS tidak berwenang menyerahkan berkas hasil penyidikan secara langsung kepada penuntut umum, tetapi harus melewati Polri. UUPPLH telah mengubah ketentuan yang selama ini memberikan kewenangan kepada Polri sebagai institusi satu-satunya yang dapat menyerahkan berkas hasil penyidikan kepada penuntut umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 8 ayat (2) KUHAP. Dengan diundangkannya UUPPLH telah menimbulkan perubahan.
Perubahan ini terjadi melalui Pasal 94 ayat (6) UUPPLH yang menyatakan: ”hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil disampaikan kepada penuntut umum.” Dengan demikian, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) lingkungan hidup dapat dan berwenang untuk menyerahkan berkas hasil penyidikan secara langsung kepada penuntut umum tanpa melalui Polri lagi. Pemberian kewenangan ini memang masih harus dibuktikan secara empiris pada masa depan apakah akan membawa perkembangan positif bagi upaya penegakan hukum lingkungan pidana atau tidak membawa perubahan apapun.
UUPPLH memberikan kewenangan PPNS dalam penyidikan untuk:
1.      melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
2.      melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
3.      meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
4.      melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
5.      melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan dan dokumen lain;
6.      melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkaratindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
7.      meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
8.      menghentikan penyidikan;
9.      memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visua;
10.   melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana
11.  menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.
Keempat, dalam UUPPLH pendekatan hukum pidana tidak sebagai upaya terakhir yang lazim disebut dengan istilah ”ultimum remedium” untuk menghukum perilaku usaha yang menimbulkan masalah lingkungan hidup. Dalam UULH 1997 sanksi pidana menjadi upaya terakhir setelah penegakan hukum administrasi negara tidak efektif. Dalam UUPPLH, ”ultimum remedium” hanya berlaku untuk satu Pasal saja, yaitu Pasal 100 UUPPLH yang menyatakan:
(1)   Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 000.000.000, 00.
(2)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.”
Dari rumusan Pasal 100 ayat (2) jelas dapat dipahami bahwa sanksi pidana yang tercantum dalam Pasal 100 ayat (1) baru dapat dikenakan jika saknis administratif tidak efektif atau pelanggaran dilakukan berulang. Hal ini berarti sanksi pidana berfungsi sebagai upaya terakhir.
Kelima, UUPPLH telah secara tegas meletakkan pertanggungjawaban pidana kepada pimpinan badan usaha yang telah menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Dalam UULH 1997 tidak disebut secara tegas pimpinan atau pengurus badan usaha dapat dikenai pertanggungjawab pidana. UULH 1997 hanya menggunakan istilah “yang memberi perintah” atau “yang bertindak sebagai pemimpin” dalam tindak pidana. Dalam UUPPLH 2009 pertanggungjawaban pidana pimpinan badan usaha dirumuskan dalam Pasal 116 hingga Pasal 119. Namun, UUPPLH tetap mengadopsi pertanggungjawab badan usaha (corporate liability). Pasal 116 UUPPLH memuat kriteria bagi lahirnya pertanggungjawaban badan usaha dan siapa-siapa yang harus bertanggungjawab.
Jika ditilik rumusan Pasal 116 UUPPLH, pertanggung jawaban badan usaha timbul dalam salah satu kondisi berikut yaitu (1) tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh badan usaha, atau atas nama badan usaha atau (2) oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha. Karena badan usaha tidak dapat bekerja tanpa digerakkan oleh manusia, maka pelaku fisik tetaplah manusia, yaitu orang atas nama badan usaha atau orang yang berdasarkan perjanjian kerja, misalkan seorang karyawan atau hubungan lain, misalkan perjanjian pemborongan kerja.
Hal penting berikutnya adalah menentukan siapakah yang harus bertanggungjawab jika sebuah tindak pidana lingkungan hidup dinyatakan telah dilakukan oleh badan usaha atau korporasi. Pasal 116 ayat (1) menyebutkan ”tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: (a) badan usaha dan/ atau (b) orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana tersebut.” Selain itu, konsep pertanggungjawaban juga harus dipedomani ketentuan Pasal 118 UUPPLH yang menyatakan:
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
Dengan demikian, dari rumusan Pasal 116 dan Pasal 118 UUPPLH dapat diketahui bahwa ada tiga pihak yang dapat dikenai tuntutan dan hukuman ada tiga pihak yaitu:
1.      badan usaha itu sendiri;
2.      orang yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana;
3.      pengurus.
Pada dasarnya tanpa rumusan Pasal 118 UUPPLH yang menyebutkan ”sanksi dikenakan terhadap badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional”, pengurus tetap juga dapat dikenai pertanggungjawaban atas dasar kriteria ”orang yang memberi perintah atau orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana” sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b. Perbedaannya adalah rumusan Pasal 116 ayat (1) huruf b memang mengharuskan penyidik dan penutut umum untuk membuktikan bahwa penguruslah yang telah bertindak sebagai orang yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana, sehingga memerlukan kerja keras penyidik dan penuntut umum untuk membuktikan peran para pengurus dalam tindak pidana lingkungan.
Sebaliknya, menurut ketentuan Pasal 116 ayat (1) huruf b dikaitkan dengan Pasal 118, pengurus karena jabatannya secara serta merta atau otomatis memikul pertanggungjawaban pidana, sehingga lebih memudahkan dalam upaya penuntutan karena tidak membutuhkan pembuktian peran para pengurus secara spesifik dalam sebuah peristiwa pidana lingkungan. Penjelasan Pasal 118 UUPPLH memperkuat interpretasi bahwa jika badan usaha melakukan pelanggaran pidana lingkungan, tuntutan dan hukuman ”dikenakan terhadap pimpinan badan usaha atas dasar pimpinan perusahaan yang memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan tersebut”. Pengertian “menerima tindakan tersebut” adalah “menyetujui, membiarkan atau tidak cukup melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku fisik, atau memiliki kebijakan yang memungkinkan terjadinya tindak pidana tersebut.” Dengan demikian, pengurus perusahaan yang mengetahui dan membiarkan karyawan perusahaan melepas pembuangan limbah tanpa melalui pengeolahan dianggap melakukan tindak pidana atas nama badan usaha, sehingga dirinya harus bertanggungjawab.
Rumusan ketentuan dan penjelasan Pasal 118 UUPPLH merupakan sebuah terobosan atau kemajuan jika ditilik dari segi upaya mendorong para pengurus perusahaan agar secara sungguh-sungguh melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian dan pemulihan pencemaran atau perusakan lingkungan manakala memimpin sebuah badan usaha. Rumusan Ketentuan Pasal 118 UUPPLH mirip dengan vicarious liability dalam system hukum Anglo Saxon.
Keenam, UUPPLH juga memuat delik materil yang diberlakukan kepada pejabat pemerintah yang berwenang di bidang pengawasan lingkungan. pemberlakukan delik materil ini dapat dipandang sebagai sebuah kebijakan pemidanaan yang maju dalam rangka mendorong para pejabat pemerintah untuk sungguh-sungguh melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup. Delik materil tersebut dirumuskan dalam Pasal 112 UUPPLH yaitu:
”Setiap pejabat yang berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan , sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72 yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pindan penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
Hukum lingkungan Indonesia berkembang selain karena perkembangan legislasi seperti melalui pengundangan UULH 1982, UULH 1997 dan UUPPLH 2009, juga berkembang melalui putusan-putusan pengadilan. Dua putusan Pengadilan yang dapat dipandang sebagai putusan-putusan penting (landmark decisions) adalah putusan Pengadilan Negara Jakarta Pusat dalam perkara WALHI melawan PT IIU, Menteri Perindustrian, Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur Provinsi Sumatera Utara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan WALHI diajukan pada masa berlakunya UULH 1982 yang pada dasarnya tidak secara tegas mengakui hak Lembaga Swadaya Masyarakat untuk mengajukan gugatan penegakan hukum lingkungan, tetapi majelis hakim dalam perkara tersebut menginterpretasikan hak gugat itu dari konsep peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup yang memang diakui dalam UULH 1982 (Putusan perkara Walhi lawan PT IIU No. 820/Pdt/G/1988).
Putusan ini kemudian memberikan inspirasi bagi pembuat undang-undang untuk merumuskan hak gugat organisasi lingkungan hidup ke dalam undang-undang, yaitu Pasal 38 UULH 1997. Putusan penting lainnya adalah gugatan oleh Dedi dan kawan-kawan (sebanyak delapan orang termasuk Dedi) terhadap Presiden RI, Menteri Kehutanan, Perum Perhutani, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut di Pengadilan negeri Bandung. Para Penggugat dan orang-orang yang diwakili mereka adalah korban tanah longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut dan telah menderita kerugian berupa hilangnya harta benda, rusaknya lahan pertanian dan ladang, meninggalnya sanak saudara dan rusaknya fasilitas umum serta kerusakan ekosistem setempat. Majelis hakim Pengadilan Negeri dalam pertimbangnnya (No. 49/Pdt.G/2003/PN.BDG, Tanggal 28 Agustus 2003), antara lain, mengatakan bahwa negara memiliki tanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup. Tanggungjawab negara itu dilaksanakan oleh pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia, tetapi karena Presiden telah membentuk Menteri Kehutanan, maka pengelolaan kehutanan sepenuhnya telah menjadi tanggungjawab Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan telah memberikan kewenangan kepada Perum Perhutani Jawa Barat untuk mengelola kawasan hutan Gunung Mandalawangi.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut sesuai dengan lingkup tugas masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah – yang berlaku pada waktu terjadinya banjir dan longsor di Gunung Mandalawangi – juga memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan pengelolaan kawasan hutan Mandalawangi karena kawasan hutan itu berada dalam wilayah hukum Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut. Majelis Hakim juga dalam pertimbanggnya mengatakan bahwa telah terjadi perubahan kebijakan pengelolaan kawasan hutan di Gunung Mandalawangi yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan, yaitu dengan mengubah status fungsi kawasan hutan yang sebelumnya kawasan hutan lindung kemudian menjadi kawasan hutan produksi terbatas berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 419/KPTS/II/1999 dengan segala akibat-akibatnya seperti berkurangnya jumlah tegakan pohon dan kegagalan reboisasi sehingga kawasan hutan Mandalawangi tidak lagi memiliki kemampuan resapan air. Selanjutnya Majelsi hakim mengatakan bahwa kerugian lingkungan dan kerugian materiil para Penggugat yang disebabkan oleh banjir dan longsor di Gunung Mandalawangi telah faktual sehingga tidak perlu dibuktikan lagi. Masalah hukum yang masih perlu dibuktikan adalah hubungan kausalitas, yaitu perubahan fungsi kawasan hutan Gunung Mandalawangi dari kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi yang didasarkan pada perubahan kebijakan kehutanan sebagaimana tercermin dalam SK Menteri Kehutanan No. 419/KPTS/II/1999 telah menyebabkan banjir dan longsor. Hal yang menarik adalah Majelis Hakim juga dalam pertimbangannya merujuk pada prinsip keberhati-hatian (precautionary principle) yaitu prinsip ke 15 dalam Deklarasi Rio sebagai dasar untuk pemecahan masalah tentang ”kurangnya ilmu pengetahuan” yang diperlihatkan dengan keterangan-keterangan para saksi ahli dari kedua belah pihak yang saling bertentangan sehingga keterangan mereka tidak dapat dijadikan alat bukti untuk menyimpulkan penyebab fakta telah terjadinya banjir dan longsor di Gunung Mandalawangi. Meskipun prinsip keberhati-hatian belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia pada waktu perkara ini diadili, hakim ternyata telah menggunakan prinsip tersebut sebagai dasar pertimbangan putusan. Pemikiran dan pertimbangan hakim dalam kasus ini tidak terlepas dari fakta bahwa salah seorang majelis hakim di tingkat pertama yang mengadili pernah mengikuti pelatihan hukum lingkungan yang antara lain membahas fungsi prinsip-prinsip yang tercantum dalam Deklarasi Rio sebagai sumber hukum.
Pengetahuannya yang diperoleh selama pelatihan telah memperluas wawasan dan digunakan dalam praktik hukum. Fakta ini membuktikan pula pentingnya hakim terus menerus meningkatkan pengetahuan melalui pendidikan gelar maupun non gelar, misalkan pelatihan-pelatihan. Oleh sebab itu, kebijakan Ketua MA untuk menyelenggarakan program sertifikasi hakim lingkungan sebagaimana didasarkan pada Keputusan Ketua MA RI No. 134/KMA/SKIX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup merupakan sebuah kebijakan yang tepat karena melalui program ini kapasitas hakim dalam menangani perkara lingkungan dapat terus ditingkatkan.

B.     HUKUM LINGKUNGAN DAN KEBIJAKSANAAN LINGKUNGAN DI INDONESIA.
Hukum lingkungan merupakan bidang ilmu yang masih muda yang perkembangannya baru terjadi pada dua dasawarsa terakhir ini. Apabila dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek lingkungan, maka panjang atau pendeknya sejarah tentang peraturan tersebut tergantung daripada apa yang dipandang sebagai “environmental concern” (perhatian terhadap lingkungan). [24] Hukum lingkungan sebagai hukum yang fungsional yang merupakan potongan melintang bidang-bidang hukum klasik sepanjang berkaitan dan/atau relevan dengan masalah lingkungan hidup.[25]
Berbicara kebijaksanaan nasional mengenai lingkungan nasional, berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah mengenai komitmennya terhadap lingkungan hidup yang merupakan kesepakatan pada konferensi PBB mengenai Lingkungan dan Pembangunan  di Stockholm Swedia tahun 1972. Saat itu, Indonesia adalah salah satu peserta dalam konferensi tersebut sehingga terikat dengan substansi dari hasil yang disepakati.Di dalam GBHN 1973-1978 dan repelita II (1974-1979), untuk pertama kali telah tercantum arah dan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup.
1.      GBHN 1973-1978
Dalam bab III pola umum pembangunan jangka panjang, butir 10 dari pendahuluan tertera: “dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumber alam di Indonesia harus digunakan secara rasionil. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus di usahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan dengan memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang”.
2.      Repelita II (1974-1979)
Bab 4 meripakan bab yang secara khusus memuat tentang ” pengelolaan sumber-sumber alam dan lingkungan hidup” yang merupakan penjabaran dari ketentuan sebagaimana tercantum dalam GBHN tersebut di atas.
3.      GBHN (1999-2004)
Dalam GBHN terakhir ini tercantum ketentuan tentang sumber daya alam dan lingkungan hidup sebagai berikut.
a.       Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahtraan rakyat dari generasi ke generasi.
b.      Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konserfasi, rehabilitasi, dan penghematan penggunaan, dengan memerapkan tehnologi rama lingkungan.
c.       Mendelegasikan secara pertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerinrah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara kolektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosostem tetap terjaga, yang di atur dengan undang-undang.
d.      Mendayagunakan sunber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya makyarakat lokal, serta penataan ruang, yang pengusahaannya dengan undang-undang.
e.       Menerapkan indicator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam pengelolan sumber daya alam yang dapat di perbaharui untuk mencegah kerusamak yang tidak dapat balik.
Law enforcement atau penegakan hukum lingkungan terhadap pencemar dan perusak lingkungan diperlukan sebagai salah satu jaminan untuk mewujudkan dan mempertahankan kelestarian fungsi lingkungan. Oleh karena itu, meningkatnya kepatuhan pelaku pembangunan untuk menjaga kualitas fungsi lingkungan menjadi sasaran prioritas di bidang penaatan lingkungan. Program-program di bidang penaatan lingkungan ini mencakup: pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan dan pengembangan kapasitas pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi. Sehingga perlu dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain.
Fungsi preventif yaitu fungsi pencegahan, yang dituangkan dalam bentuk pengaturan pencegahan yang pada dasarnya merupakan desain dari setiap tindakan yang hendak dilakukan masyarakat, yang meliputi seluruh aspek tindakan manusia, termasuk risiko dan pengaturan prediktif terhadap bentuk penanggulangan risiko itu.
Sedangkan represif adalah fungsi penanggulangan, yang dituangkan dalam bentuk penyelesaian sengketa atau pemulihan terhadap kerusakan keadaan yang disebabkan oleh risiko tindakan yang terlebih dahulu telah ditetapkan dalam perencanaan tindakan itu.
Di bidang pengendalian pencemaran, penegakan hukum pidana dan administrasi lingkungan menjadi salah satu kegiatannya. Indikatornya adalah meningkatnya efektifitas penegakan hukum pidana dan administrasi lingkungan, terlaksananya advokasi litigasi kasus pidana lingkungan, pembinaan dan optimalisasi, peningkatan jumlah dan kapasitas Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, serta terselenggaranya sistem penegakan hukum satu atap di daerah.
Masih dalam lingkup pengendalian pencemaran, penegakan hukum perdata dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan kegiatan utamanya. Indikator kegiatan ini adalah meningkatnya efektifitas penegakan hukum perdata dan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan, terbentuknya jaringan antara ahli, organisasi non politik (LSM), pengacara dalam penanganan gugatan lingkungan, tersedianya tata cara gugatan perdata tentang strict liability (tanggung jawab mutlak) dan polluters pay principle (prinsip pencemar membayar) dan meningkatnya litigator perdata lingkungan.
Penaatan hukum di bidang lingkungan hidup oleh para pelaku kegiatan di bidang lingkungan hidup mutlak diperlukan untuk mencegah dampak negatif dari kegiatan yang dilakukan. Menurut struktur ketatanegaraan di era otonomi daerah, koordinasi pengelolaan lingkungan termasuk penaatan hukum berada di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten dan Kota. Karena itu diperlukan kerja sama yang baik antara institusi di tingkat pusat, dalam hal ini Kementerian Negara Lingkungan Hidup dengan Badan Lingkungan Hidup Provinsi, utamanya dalam hal penguatan kapasitas kelembagaan di bidang penegakan hukum.
Dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 tahun 2009, disebutkan bahwa untuk mewujudkan kualitas lingkungan hidup yang lebih baik, diperlukan adanya fungsi pengawasan, pemantauan dan penyidikan. Pengawasan dan penyidikan merupakan salah satu komponen penting dalam penegakan hukum baik hukum administrasi, perdata maupun pidana. Dalam melaksanakan pengawasan dan pemantauan kualitas lingkungan hidup di daerah, Pemerintah Indonesia memiliki Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah yang disingkat dengan (PPLHD) seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 bahwa dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.
Peranan, fungsi dan kedudukan serta kewenangan PPLHD dimaksud lebih dipertegas lagi dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI Nomor 58 Tahun 2002 tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di Provinsi/Kabupaten/Kota.
Dalam hal pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia menjadi masalah serius yang harus segera dilaksanakan mengingat besarnya tingkat kerusakan lingkungan yang telah terjadi. Upaya–upaya tersebut berkaitan erat dengan kegiatan-kegiatan manusia yang selama ini dianggap dapat mengancam  kelestarian dan kestabilan lingkungan. Dengan dilakukannya upaya tersebut diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan kerusakan lingkungan.
Salah satu hal yang harus menjadi perhatian adalah tingginya tingkat pencemaran lingkungan, seperti pencemaran tanah yang diakibatkan oleh pembuangan sampah yang sembarangan. Pencemaran tersebut mempunyai dampak yang sangat luas dan sangat merugikan manusia. Oleh karena itu, harus diupayakan pengurangan pencemaran lingkungan bila perlu meniadakan sama sekali.
Untuk mengatasi tingkat kerusakan lingkungan berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah terkhusus Kementerian Lingkungan Hidup guna meminimalisir dampak kerusakan tersebut yang dituangkan ke dalam beberapa programnya yaitu[26] :
1.      AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)
AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan.
Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL: aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
“…kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup; dibuat pada tahap perencanaan…”
Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan. AMDAL digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberian ijin usaha dan/atau kegiatan.
2.      Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER)
Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) merupakan salah satu upaya Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk mendorong penaatan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui instrumen informasi. Dilakukan melalui berbagai kegiatan yang diarahkan untuk: (i) mendorong perusahaan untuk menaati peraturan perundang-undangan melalui insentifdan disinsentifreputasi, dan (ii) mendorong perusahaan yang sudah baik kinerja lingkungannya untuk menerapkan produksi bersih (cleaner production).
3.      perlindungan lapisan ozon
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wina, Protokol Montreal dan Amandemen London melalui Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1993. Selanjutnya pelaksanaan program perlindungan lapisan ozon di Indonesia difasilitasi oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup sebagai instansi yang bertanggung jawab pada upaya pelestarian lingkungan.
4.      Pengelolaan Bahan Berbahaya & Beracun
Bahwa lingkungan hidup perlu dijaga kelestariannya sehingga tetap mampu menunjang pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan dan bahwa dengan meningkatnya pembangunan di segala bidang, khususnya pembangunan di bidang industri, semakin meningkat pula jumlah limbah yang dihasilkan termasuk yang berbahaya dan beracun yang dapat membahayakan lingkungan hidup dan kesehatan manusia.
Di daerah sendiri, pemerintah daerah juga mengeluarkan beberapa kebijakan mengenai lingkungan hidup, seperti halnya kebijakan yang di keluarkan pemerintah kota Makassar. Kebijakan pelaksanaan pembangunan di Bidang Lingkungan Hidup Daerah Kota Makassar Mengacu pada Kebijakan Pembangunan Kawasan Tata Ruang dan Lingkungan seperti yang telah diamanatkan dalam Rencana Pembangunan jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Makassar tahun 2009-2014. Kebijakan ini merupakan menivestasi dari perwujudan Pasal 3 UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyiratkan bahwa pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, keberlanjutan, dan manfaat mempunyai tujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2009, pasal 1 ayat 3 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dijelaskan bahwa pengertian pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan , sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 4 Undang-Undang tersebut, adalah : Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi:
  1. perencanaan;
  2. pemanfaatan;
  3. pengendalian;
  4. pemeliharaan;
  5. pengawasan;
  6. penegakan hukum;
Pembangunan lingkungan hidup yang merupakan bagian penting dari ekosistem yang berfungsi sebagai penyangga seluruh makhluk hidup dimuka bumi diarahkan pada terwujudnya kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam keseimbangan dan keserasian yang dinamis dengan perkembangan penduduk agar dapat menjamin terwujudnya pembangunan yang berkesinambungan.
Dalam pembangunan berkesinambungan yang berwawasan lingkungan dikembangkan pola tata ruang yang menyelaraskan tata guna lahan, air serta sumberdaya alam lainnya dalam satu kesatuan tata lingkungan yang harmonis dan dinamis serta ditunjang oleh pengelolaan perkembangan kependudukan yang serasi. Setiap keadaan perubahan dan fungsi lingkungan berikut serta segenap unsurnya perlu terus dinilai dan dikendalikan secara seksama agar penanganan dan perlindungan dapat dilaksanakan secepat mungkin.
Sesuai dengan strategi diatas dan dengan mengacu pada Visi 5 (lima) Tahunan Pemerintah Kota Makassar, dengan memperhatikan kewenangan Pemerintah Daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 serta memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dengan posisi Kota Makassar, maka Kebijakan Dinas pengelolaan Lingkungan Hidup Dan Keindahan Kota Makassar yang menjadi acuan dalam menetapkan program pembangunan 5 (lima) tahun ke depan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui Kebijakan Pengembangan Kawasan, Tata Ruang dan Lingkungan.
Bahwa strategi Pemerintah Kota Makassar dalam rangka pencapaian Visi dan Misinya yakni pemerataan, pertumbuhan, keserasian, dan keseimbangan, interkoneksitas dan dinamika yang terkendali, sehingga seperti halnya kota besar lainnya, Kota Makassar juga menghadapi tantangan permasalahan lingkungan, kebersihan dan tata keindahan. Untuk menjadikan Kota Makassar sebagai Kota Dunia yang berlandaskan kearifan lokal, maka diperlukan adanya tata ruang kota yang memadukan ruang darat, laut dan udara secara harmonis, menjadikan Kota Makassar sebagai yang sejuk, indah, bersih dan nyaman untuk beraktivitas. Sehingga untuk itu Kebijakan Program badan Lingkungan Hidup daerah (BLHD) Kota makassar sebagai salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah Pemerintah Kota Makassar dilaksanakan melalui Kebijakan Pengembangan Kawasan, Tata Ruang dan Lingkungan yang telah diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Makassar.
Pengembangan kebijakan tersebut sebagaimana tugas pokok dan fungsi Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD), maka kebijakan pembangunan Lingkungan Hidup sebagai berikut :
  1. Kebijakan Teknis Operasional Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup, Kebijakan dasar untuk mengendalikan pencemaran udara, air, tanah, serta pesisir dan laut dikelompokkan dalam dua bagian besar, yaitu perlindungan mutu ambien dan pengendalian kegiatan penyebab pencemaran. Dalam laporan SLHD 2009 dijelaskan bahwa perlindungan mutu ambien dilakukan dengan menetapkan standar ambang batas baku mutu yang dijadikan patokan pemerintah untuk melakukan penegakan hukum, perubahan kebijakan, penyesuaian kegiatan pembangunan, bahkan sampai dengan sosialisasi dan edukasi masyarakat agar tidak dilampaui. Sementara itu, pengendalian kegiatan yang menyebabkan pencemaran lingkungan hidup dilakukan dengan cara penaatan dan penegakan hukum serta penyediaan teknologi alternatif. Untuk mengurangi distorsi pasar, dikendalikan melalui kebijakan insentif dan disinsentif ekonomi serta pemberdayaan masyarakat agar dapat menjadi kekuatan penekan yang strategis.
  2. Kebijakan Teknis Operasional Pengendalian Kerusakan Lingkungan Hidup, Kebijakan dasar untuk mengendalikan kerusakan lingkungan hidup di Indonesia adalah dengan melakukan perlindungan dan pemulihan mutu ekosistemnya serta melakukan pencegahan dan pengendalian terhadap kegiatan perusaknya. Kebijakan pemulihan mutu bervariasi, tergantung pada strategi dan pendekatan setiap instansi teknisnya. Sebagai contoh, pemulihan mutu ekosistem hutan sangat ditekankan pada usaha mobilisasi penanaman hutan kembali yang diprakarsai pemerintah dalam Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL), pemulihan mutu DAS lebih ditekankan pada introduksi kebijakan tata ruang dan disinsetif pembangunan di wilayah tersebut, dan pemulihan mutu wilayah penambangan dibebankan sepenuhnya kepada pihak pemrakarsa.
  3. Seperti halnya kebijakan pengendalian pencemaran, pengendalian kegiatan yang menimbulkan kerusakan lingkungan hidup juga dilakukan dengan cara penaatan dan penegakan hukum serta penyediaan teknologi alternatif. Untuk mengurangi distorsi pasar, dikendalikan melalui kebijakan insentif dan disinsentif ekonomi serta pemberdayaan masyarakat agar dapat menjadi kekuatan penekan yang strategis.
  4. Kebijakan Teknis Operasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Alam, Kebijakan dasar pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam (SDA) adalah dengan menyeimbangkan antara volume eksploitasi dan perlindungan melalui pembaruan cadangan, yang kini secara lebih luas dikembangkan dalam konsep pendekatan keberlanjutan (sustainability). Proses keseimbangan tersebut didasarkan pada perhitungan kebutuhan dan laju rehabilitasi maupun pemulihan. Implikasi dari kebijakan tersebut menuntut pengawasan yang efektif serta penaatan dan penegakan hukum yang konsisten untuk mencegah eksploitasi berlebihan (overexploitation). Di samping itu, perlu ditingkatkan semangat dan kemampuan yang tinggi untuk melakukan kegiatan rehabilitasi, pemulihan, dan proses pembaruan kembali. Dengan demikian, diharapkan terjadi pengelolaan SDA yang berprinsip pada semangat penghematan bagi SDA yang tak dapat diperbaharui (unrenewable resources) serta semangat pembaruan dan perlindungan kelestarian bagi SDA yang dapat diperbaharui (renewable resources).[27]

C.    HUBUNGAN ANTARA HUKUM LINGKUNGAN DENGAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA, HUKUM TATA NEGARA, HUKUM PERDATA, DAN HUKUM PIDANA.

v  Hubungan Antara Hukum Lingkungan Dengan Hukum Administrasi Negara
Hukum lingkungan administratif berorientasi untuk menuntaskan persoalan pencemaran lingkungannya (perbuatan pencemarannya). Penyelesaian kasus pencemaran lingkungan dari aspek hukum lingkungan administratif dilakukan oleh aparatur pemerintahan atau secara lebih konkrit dilakukan oleh pejabat yang berwenang mengeluarkan izin. Sarana yang digunakan adalah pengawasan dan sanksi administrasi. Pengawasan adalah saran preventif untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan sedangkan sanksi administratif adalaha sarana represif untuk menanggulangi pencemaran lingkungan yang telah terjadi.
Pengawasan bertujuan untuk mencegah terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Dengan mekanisme pengawasan yang baik dapat dicegah terjadinya pencemaran lingkungan. Hal demikian tentunya lebih baik dari pada melakukan upaya penanggulangan setelah terjadinya pencemaran lingkungan sesuai perinsip “lebih baik mencegah dari pada mengobati”.
Pengawasan dilakukan oleh aparatur pemerintah atau secara lebih konkrit oleh badan atau pejabat yang memberikan izin lingkungan agar persyratan izin dipatuhi. Persyaratan dalam izin lingkungan berfungsi sebagai instrument pencegahan pencemaran lingkungan. Dengan demikian, kewenangan badan atau pejabat yang berwenang memberikan izin lingkungan tidak berakhir dengan diterbitkannya izin lingkungan , wewenangnya masih berlanjut untuk melakulan pengawasan terhadap ketaatan pelaksanaan izin dalam rangka pencemaran lingkungan.
Setelah aspek pengawasan, berikutnya adalah aspek sanksi administrasi. Penerapan sanksi administrasi adalah tindak lanjut dari pengawasan. Apabila berdasarkan pengawasan oleh badan atau pejabat pemeberi izin di temukan adanya pelanggaran terhadapa syarat izin maka badan atau pejabat pemberi izin dapat menjatuhkan sanksi administrasi untuk mengakhiri pelanggaran tersebut.
Sanksi admnistrasi adalah sarana kekuasaan yang bersifat hukum publik yang dapat diterapkan oleh penguasa sebagai reaksi terhadap mereka yang tidak mentaati norma-norma hukum administrasi. Sifat dari sanksi administrasi adalah repartoir artinya memulihkan pada keradaan semula. Sanksi administrasi mempunyai fungsi instrumental, yaitu pencegahan dan penanggulangan perbuatan terlarabg dan terutama ditujukan terhadap perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan hukum yang dilanggar tersebut. Sanksi admimistratisi berfungsi sebagai instrumentarium untuk menanggulangi perbuatan-perbuatan terlarang dan ditujukan untuk melindungi kepentingan lingkungan maupun masyarakat.
Dasar hukum penerapan sanksi administrasi sebagai sarana penanggulangan pencemaran lingkungan diatur dalam ketentuan pasal 76 sampai dengan pasal 83 UUPPLH.
Sanksi administrasi dijatuhkan oleh KNLH, Gubernur, Bupati/Walikota, sebagai pejabat yang berwenang menerbitkan izin lingkungan apabila berdasrkan pengawasam yang dilakukan terdapat pelanggaran persyaratan izin lingkungan, yang wujudnya dapat berupa: teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan atau pencabutan izin lingkungan.
Sanksi pencabutan izin adalah sanksi administrasi yang paling berat. Dengan dijatuhi sanksi pencabutan izin beratri akan menghentikan atau menutup suatu usaha dan/atau kegiatan. Menurut pasal 79 UUPPLH sanksi pencabutan izin dapat dijatuhkan apabila penaggungjawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan sanksi paksaan pemerintah.[28]

v  Hubungan Hukum Lingkungan Dengan Hukum Tata Negara
Hubungan hukum lingkungan dengan hukum tata negara bisa dilihat dari kelembagaan  dari instansi pemerintah dan perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan, serta program-program yang dijalankan pemerintah dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan hidup dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa ada tiga lembaga dalam negara kita yaitu eksekutif, legeslatif dan yudikatif. Berbicara tenang hukum tata negara kaitannya dengan hukum lingkungan maka kita akan berbicara tentang kewenangan dari ketiga lemabaga tersebut. Berikut pemaparannya :
1.      Lembaga eksekutif
Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang:
a.       menetapkan kebijakan;
b.      menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
c.       menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH;
d.      menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS;
e.       menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
f.       menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas rumah kaca;
g.      mengembangkan standar kerja sama;
h.      mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
i.        menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati dan nonhayati, keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa genetik;
j.         menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon;
k.       menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah, serta limbah B3;
l.        menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan lingkungan laut;
m.     menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara;
n.      melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah;
o.      melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundangundangan;
p.      mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
q.       mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antardaerah serta penyelesaian sengketa;
r.        mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat;
s.       menetapkan standar pelayanan minimal;
t.        menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
u.      mengelola informasi lingkungan hidup nasional;
v.      mengoordinasikan, mengembangkan, dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup;
w.    memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
x.      mengembangkan sarana dan standar laboratorium lingkungan hidup;
y.      menerbitkan izin lingkungan;
z.       menetapkan wilayah ekoregion; dan melakukan penegakan hukum lingkungan hidup.
2.      Lambaga legislatif
Kita ketahui bersamaa bahwa lembaga legislatif itu mempinyai kewenangan untuk membuat undang-undang. Dalam kaitannya dengan hukum lingkungan, lembaga legislatif di sini mempunyai wewenangan untuk membuat UU tentang lingkungan hidup seperti halnya UU No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3.      Lembaga yudikatif
Sedangkan ketika menyangkut pautkan lembaga yudikatif dalam hubungan hukum lingkungan dengan hukum tata negara maka lembaga yudikatif di sini berwenang dalam menyelesaikan permasalahan tentang lingkungan hidup melalui jalur pengadilan.

v  Hubungan Hukum Lingkungan Dengan Hukum Perdata
Hukum lingkunagan keperdataan betujuan untuk memberikan perlindungan  hukum bagi korban pencemran lingkungan dengn cara mengajukan gugatan sengket lingkungan diperdilan umum untuk memperoleh ganti kerugian. Penyelesaian sengkerta lingkunagan diartikan sebagai gugatan ganti kerugian atasa perbuatan melewan hukum di bidang hukum lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran lingkungan.[29]
Hukum perdata Indonesia lebih dekat dengan hukum perdata belanda, maka dalam pembahasan tentang fungsi hukum perdata dalam penegakan hukum lingkungan dalam subbab ini, perlu dan relavan untuk lebih dahulu menempatkan pembahasan fungsi hukum perdata dalam penegakan hukum lingkungan berdasarkan perspektif penulis-penulis Belanda. Kemudian baru di ikuti oleh uaraian dan pemabahasan terhadap kasus-kasus gugatan hukum lingkungan perdata di Belanda, Indonesia, dan Amerika Serikat. Menurut Koeman hukim perdata memiliki empat fungsi yang relevan yaitu :
1.      Handhaving door middel van het privaat recht;
2.      Aanvullende normstelling;
3.      Schadeacties;
4.      Aanvullende rechtsbescherming;
(Hukum perdata, khususnya gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum-dan hakim perdata sesungguhnya memiliki arti penting bagi hukum lingkungan. Pada pokoknya hal itu berkaitan dengan empat fungsi :
1.      Penegakan hukum melalui hukum perdata;
2.      Penetapan norma tambahan;
3.      Gugatan untuk memperoleh ganti kerugian;
4.      Perlindungan hukum tambahan).
Dari pernyataan Koeman tersebut dapat dipahami bahwa salah satu fungsi dari gugatan perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum adalah untuk penegakan hukum. Tiga fungsi lainnya adalah penetapan norma tambahan, perolehan ganti kerugian dan perlindungan hukum tambahan. Di Belanda, konsep perbuatan melawan hukum berdasarkan ketentuan pasal 1401 BW lama yang mirip dengan ketentuan pasal 1365 KUHPerdata, sedangkan dalam BW baru dirumuskan dalam pasal 6:162. Gugata perdata sebagai sarana penegakan hukum dapat dilakukan baik oleh warga masyarakat maupun oleh pemerintah sebagaimana di kemukakan oleh Drupsteen. Namun, pengajuan guagatan perdata sebagai sarana penegakan hukum oleh penguasa atau pemerintah terbatas pada situasi bilaman penegak hukum administrasi tidak memadai, sehingga pada kenyataanya pendayagunaan gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum lingkungan oleh badan pemerintah sangat jarang terjadi.
Di Belanda, gugatan perbuatan melawan hukum dapat digunakan sebagai sarana penegakan hukum atas norma-norma hukum publik, seperti pelanggaran terhadap ketentuan perizinan maupun ketentuan hukum perdata. Norma-norma hukum lingkungan termasuk bagian dari norma-norma hukum publik. Penegakan atas norma-norma hukum lingkungan di bedakan atas tiga bidang yaitu : penegakan ketentuan bersifat larangan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan, penegakan ketentuan-ketentuan atau persyaratan-persyaratan dalam izin, penegakan terhadap ketetapan sanksi-sanksi.
Di Indonesia, gugatan perdata sebagai saraa penegakan hukum lingkungan juga dilakukan berdasarkan konsep perbuatan melawan hukum sebagai mana di rumuskan dalam pasal 1365 BW. Gugatan perdata sebagai upaya penegakan hukum lingkungan pertama kali dilakukan oleh WALHI melawan PT IIU, menteri perindustrian, menteri kehutanan, menteri dalam negeri, menteri lingkungan hidup dan gubernur provinsi sumatera utara di pengadilan negeri Jakarta pusat. Gugatan WALHI diujakan pada masa berlakunya UULH 1982 yang pada dasarnya tidak secara tegas mengakui hak lembaga swadaya masyarakat untuk mengajukan gugatan penegakan hukum lingkungan, teapi majelis hakim dalam perkara tersebut menginterpretasikan hak gugat itu dari konsep pran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup yang memang di akui dalam UULH 1982 (putusan perkara WALHI lawan PT IIU No. 820/Pdt/G/1938).
Putusan hakim dalam perkara WALHI melawan PT IIU memberikan inspirasi pembentukan norma UU yang secara tegas mengakui keberadaan hak lemabag swadaya masyarakat (LSM) untuk mengajukan gugatan UULH 1997. Dalam UULH 1997, hak LSM atau organisasi lingkungan hidup untuk menggugat dirumuskan dalam pasal 38 ayat 1. UUPPLH juga mengakui adanya hak lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan dengan rumusan yang mirip dengan rumusan dalam UULH 1997. Gugatan oleh lembaga swadaya masyarakat tidak dimaksudkan untuk memperoleh ganti kerugian, tetapi lebih dimaksudkan sebagai bentuk penegakan hukum lingkungan. Oleh sebab itu, jenis tuntutan yang diajukan oleh penggugat terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu, tanpa adanya tuntutan ganti kerugian, terkecuali penggugat telah mengelurkan biaya rill. LSM atau organisasi lingkungan hidup yang memiliki hak gugat adalah harus memenuhi persyratan sebagai berikut : berbentuk badan hukum atau yayasan, dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan bahwa tujuan pendirian LSM itu adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup, telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat dua tahun. Dalam UULH 1997 tidak ditemukan adanya persyaratan telah melaksanakan kegiatan sesuai anggaran dasar paling singkat dua tahun.
Selain gugatan perdata sebagai sarana penagakan hukum dilakukan oleh warga atau LSM juga dapat dilakukan oleh pemerintah. Dalam UULH 1997, kewenangan pemerintah melakukan gugatan perdata diatur dalam pasal 37 ayat 2, sedangkan dalam UUPPLH kewenangan itu di rumuskan dalam pasal 90 ayat 1.

v  Hubungan Hukum Lingkungan Dengan Hukum Pidana
Hukum lingkungan kepidanaan berfungsi untuk menuntaskan persoalan pencemaran lingkungan (pelaku pencemaran lingkungan) dengan mengenakan sanksi pidana. Diperlukannya sanksi pidana dalam pentelesaian kasus pencemaran lingkungan dilandasi oleh dua alasan: pertama, sanksi pidana selain dimaksudkan untuk melindungi kepentingan manusia, juga untuk melindungi kepentingan lingkungan karena manusia tidak dapat menikmati harta benda dan kesehatannya dengan baik, apabila persyaratan dasar tentang lingkungan yang baik tidak terpenuhi, kedua, sanksi pidana berfungsi memberi rasa takut kepada pelaku pencemaran potensial.
Penggunaan sanksi pidana dalam hukum lingkungan selan berfungsi untuk memberikan nestapa kepada pelaku pencemaran dan/atau perusakan lingkungan agar tidak mengulangi perbuatannya lagi juga di maksudkan sabagai ancaman untuk mencegah kemungkinan terjadinya perbuatan mencemarkan lingkungan atau pencemaran lingkungan oleh pelaku pencemaran potensial.
Ketetuan pidana diatur dalam ketentuan Bab XV dari pasal 97 sampai dengan pasal 120 UUPPLH. Sanksi pidana dalam UUPPLH meliputi pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokoknya dalah pidana penjara yang maksimal ancmannya adalah 15 Tahun penjaradan pidana denda paling banyak Rp 15.000.000.000,00. Pidana tambahan meliputi: perampasan keuntungan yang di peroleh dari tindakan pidana, pentupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan, perbaikan akibat tindakan pidana, pewajiban mengerjakan apa yang telah dilalaikan tanpa hak dan/atau penentapan perusahaan di bawa pengampuan paling lama tiga tahun.
Tingginya ancaman pidana ini tidak akan efektif untuk menanggulangi kasus pencemaran lingkungan, mengingat sanksi pidana hanya di tujukan terhadap pelaku pencemaran yang tentunya tidak menyentuh persoalan pencemarannya. Supaya penerapan sanksi pidana ini berjalan efektif harus diiringi penerapan sanksi administrasi. Sanksi pidana dijatuhkan bersama-sama dengan sanksi administrasi dan ini tidak merupakan nebis in idem.[30]








BAB IV
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Istilah “hukum lingkungan” merupakan konsepsi yang relative masih baru dalam dunia keilmuan pada umumya dan dalam lingkungan ilmu hukum pada khususnya, yang tumbuh sejalan bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran akan lingkungan. Dengan tumbuhnya pengertian dan kesadaran melindungi dan memelihara lingkungan hidup tersebut, tumbuh pula perhatian hukum kepadanya. Pemikiran untuk mengkaji dan mengembangkan masalah lingkungan hidup di Indonesia untuk pertama kali dimulai pada tahun 1972, ketika Mochtar Kusuma-Atmadja,  menyampaikan beberapa pikiran dan sarannya tentang bagaimana pengaturan hukum mengenai masalah lingkungan hidup manusia dengan menunjukkan betapa pentingnya peranan hukum untuk keperluan tersebut.
     Sebagai subsistem atau bagian (komponen) “sistem hukum nasional” Indonesia, hukum linkungan Indonesia didalam dirinya membentuk suatu sistem, dan sebagai suatu sistem, hukum lingkungan Indonesia mempunyai subsistem yang terdiri atas :
6.      Hukum penataan lingkungan;
7.      Hukum acara lingkungan;
8.      Hukum perdata lingkungan;
9.      Hukum pidana lingkungan;
Hukum lingkungan internasional
Hukum lingkungan dibuat dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dan memberi manfaat kepada masyarakat. Dengan kata lain bahwa harus ada kepastian hukum didalamnya. Dalam pembangunan hukun lingkungan,  di perlukan adanya kepastian hukum karena kepastian hukum menghendaki bagaimana hukumnya dilaksanakan, tanpa peduli bagaimana pahitnya (fiat justitia et pereat mundus : meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hal ini dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam masyarakat. Misalnya: “Barang siapa mencemarkan lingkungan maka ia harus dihukum”, ketentuan ini menghendaki agar siapapun (tidak peduli jabatannya) apabila melakukan pencemaran lingkungan maka ia harus dihukum. Ingat: bahwa dihukumnya pencemar di sini bukan karena ia mencemarkan (jadi bukan berdasar sebab-akibat), tetapi karena adanya suatu peraturan yang ada terlebih dahulu yang melarang perbuatan pencemaran tersebut. Itulah yang dikhendaki dalam kepastian hukum, apa bunyi dari hukum itulah yang dilaksanakan.
Istilah hukum lingkungan ini merupakan terjemahan dari beberapa bahasa asing , yaitu  environmental Law” dalam bahasa Inggris, ”Millieeurecht” dalam bahasa Belanda, ”lenvironnement” dalam bahasa Prancis, ”unweltrecht” dalam bahasa Jerman, ”hukum Alam Seputar” dalam bahasa Malaysia, ”batas nan kapaligiran” dalam bahasa Tagalog, ”sin-ved-lom kwham” dalam bahasa Thailand, ”Qomum al-biah” dalam bahasa Arab.
Kebijaksanaan merupakan suatu bentuk pengenyampingan terhadap aturan, diumpamakan dalam suatu hal telah ada ketentuan tentang larangan untuk melakukan atau dilakukan sesuatu, tetapi kemudian terdapat pengenyampingan aturan tersebut bahwa sesuatu atau dapat dilakukan atau boleh melakukan sesuatu yang telah dilarang, diperkenankannya melakukan atau dilakukan sesuatu yang dilarang tersebut disertai dengan syarat.
Kebijaksanaan berkaitan erat dengan syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang mendapatkan kebijaksanaan, calon penerima kebijaksanaan harus melakukan/memberikan/membuat sesuau agar kebijaksanaan dapat dikeluarkan, apabila syarat untuk dikeluarkannya kebijaksanaan tidak dipenuhi, maka kebijaksanaan tersebut tidak dapat dikeluarkan oleh pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijaksanaan.
UUPPLH memerlukan peraturan pelaksanaan dalam bentuk peraturan pemerintah dalam bidang-bidang berikut :
1.      Inpentarisasi lingkungan hidup (pasal 11)
2.      Penetapan ekoregion (pasal 11)
3.      Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (pasal 11)
4.      Penetapan daya dukung dan daya tampung (pasal 12 ayat (4))
5.      Kajian lingkungan hidup strategis (pasal 18 ayat (2))
6.      Baku mutu lingkungan hidup (pasal 20 ayat (4))
7.      Kriteria baku kerusakan (pasal 21 ayat (5))
8.      Analisis mengenai dampak lingkungan (pasal 33)
9.      Izin limgkungan (pasal 41)
10.  Instrument ekonomi lingkungan (pasal 43 ayat (4))
11.  Analisis resiko lingkungan (pasal 47 ayat (3))
12.  Tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan (pasal 53 ayat (3))
13.  Pengendalian pencenaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup (pasal 56)
14.  Tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup (pasal 54 ayat (3))
15.  Dana penjaminan (pasal 55 ayat (4))
16.  Konservasi dan pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi atmosfer (pasal 57 ayat (5))
17.  Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (pasal 58 ayat (2))
18.  Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (pasal 59 ayat (7))
19.  Tata cara dan persyaratan dumping (pasal 61 ayat (3))
20.  Tata cara pengawasan (pasal 75)
21.  Sanksi administrative (pasal 83)
22.  Penyelesaian sengketa lingkungan hidup (pasal 86 ayat (3))
Menurut Pasal 4 UUPPLH perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi unsure-unsur berikut : (a) perncanaan, (b) pemamfaatan, (c) pengendalian, (d) pemeliharaan, (e) pengawasan, (f) penegakan hukum. Menurut Pasal 5 UUPPLH, Perencanann perlindungan dsn pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan : (a) inventarisasi lingkungan hidup, (b) penetapan wilayah ekoregion, (c) penyusunan RPPLH
Ada tiga arti administrasi negara, yaitu sebagai berikut :
1.      Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintah, atau ssebagai institusi politik (kenegaraan), artinya meliputi organ yang berada pemerimtah. Mulai dari presiden, menteri (termasuk Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal, Inspektur Jenderal), Gubernur, Bupati dan sebagainya, singkatnya semua organ-organ yang menjalankan adminitrasi negara.
2.      Sebagai fungsi atau aktivitas, yaitu kegiatan “pemerintahan”, artinya kegiatan “mengurus kepentingan negara”.
3.      Sebagai proses teknis melaksanakan Undang-Undang, artinya meliputi segala tindakan aparatur negara dalam menyelenggarakan Undang-Undang.
Hukum Tata Negara ialah peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan yang diperlukan, wewenang masing-masing badan, hubungan antara badan yang satu dengan lainnya, serta hubungan antara badan-badan dengan individu-individu di dalam suatu negara.
Perkataan “Hukum Perdata” dalam arti yang luas meliputi semua hukum “privat materil”, yaitu segala hukum yang mengatur kepentingan perseorangan.  Perkataan “Hukum Perdata” juga dipakai dalam pengertian sempit sebagai lawan dari hukum dagang
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk
o   Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut
o   Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimanayang telah diancamkan
o   Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut

B.     SARAN
1.      Untuk pemerintah :
a.       Memperbaiki upaya preventiv dan represiv terhadap pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.
b.      Jangan pandang bulu dalam penegakan hukum khususnya hukum lingkungan
c.       Dalam membuat sebuah kebijakan harus selalu memperhatikan tentang kepentingan manusia dan lingkungan
2.      Untuk masyarakat :
a.       Agar menghilangkan kebiasaan yang berpotensi mengakibatkan kerusakan ataupun pencemaran terhadap lingkungan
b.      Agar bijak dalam menggunakan sumber daya alam dan sadar bahwa sumber daya ala mini titpan dari anak cucu kita.
c.       Agar selau berperan aktif dalam pengawasan terhadap pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.
3.      Untuk penulis :
a.       Agar makalah tentang hukum lingkungan hidup ini bukan menjadi akhir dari pengkajian tentang hukum lingkungan hidup tetapi awal yang dapat membuat penulis semakin paham tentang hukum lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA


Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta, 2004
Jimly Asshiddiqie, Green Constitution Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Rajawali Pers: Jakarta 2010.
Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama: Bandung, 2009.
Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta, 2006.
St. Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan, Buku I: Umum, Binacipta: Bandung, 1981.
Takdir rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali pers: Jakarta, 2012.
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta, 2009.  
Subekti, pokok-pokok hukum perdata, PT. Intermasa : Jakarta, 1984.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
Koesnadi Hardjasoemantri. Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada Press: Yogyakarta, 1999.
Alvi Syahrin. Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Fakultas Hukum USU: Medan, 1997.
Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, PT. Mandar Maju: Bandung 2007
Sitti Sundari Rangkuti, Reformasi di Bidang Hukum Lingkungan, suara pembahauruan, 1999.
A’an Efendi, Risalah Hukum Fakultas Hukum UNMUL, Juni 2011
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 2005.
Tim Penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional, hal. 115.
http://blhdmakassar.info/index.php?mod=statis&option=2





[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal 103.
[2] http://carapedia.com/pengertian_definisi_pembangunan_info2042.html terakhir diakses jum’at tanggal 28 September 2012 pukul 14.13 WITA
[3] Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 24
[4] Ibid., hal.58-59
[5] Jimly Asshiddiqie, Green Constitution Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Rajawali Pers, 2010, hal.160-161 
[6] Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal.13
[7] http://www.mahkamahagung.go.id/rbnews.asp?bid=2949 terakhir diakses selasa 25 September 2012 pukul 15.50 WITA
[8] Muhammad Erwin, Loc.cit.
[9] Gatot P. Soemartono, Op.cit., hal.65-66
[10] http://blognyayuwwdi.blogspot.com/2011/12/perkembangan-hukum-lingkungan-di.html. terakhir diakses selasa 25 September 2012 pukul 15.54 WITA
[11] Muhammad Erwin, Op.cit., hal. 8-9
[12] Gatot P. Soemartono, Op.cit.,hal. 45
[13] St. Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan, Buku I: Umum, Binacipta, Bandung, 1981, hal. 35-36
[15] Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 172
[16] Takdir rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali pers, Jakarta, 2012, hal.53-56
[17] Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 27-28  
[18] Subekti, pokok-pokok hukum perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1984, hal.9
[19] Ibid., hal. 16-17
[20] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal.1
[21] Takdir Rahmadi, Op.cit., hal 208-212
[22]Ibid., hal. 259-260
[23] Ibid., hal 224-226
[24] Koesnadi Hardjasoemantri. Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada Press, Yogyakarta,1999, hal.36
[25] Alvi Syahrin. Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Fakultas Hukum USU, Medan, 1997, hal. 1
[26] http://www.menlh.go.id/ terakhir diakses tanggal 20 November 2012
[27] http://blhdmakassar.info/index.php?mod=statis&option=2 terakhir diakses tanggal 20 November 2012
[28] A’an Efendi, Risalah Hukum Fakultas Hukum UNMUL, Juni 2011, Hal. 64-68.
[29] Sitti Sundari Rangkuti, Reformasi di Bidang Hukum Lingkungan, suara pembahauruan, 1999.
[30] A’an Efendi, Op.cit., Hal. 73-74

0 komentar:

Posting Komentar