AJARAN KAUSALITAS DALAM HUKUM PIDANA


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ajaran Causalitas
Tiap- tiap peristiwa pasti ada sebabnya tidak mungkin terjadi begitu saja, dapat juga suatu peristiwa menimbulkan peristiwa yang lain. Disamping hal tersebut diatas dapat juga terjadi satu peristiwa sebagai akibat satu peristiwa atau beberapa peristiwa yang lain. Masalah sebab dan akibat tersebut dengan nama causalitas, yang berasal dari kata “causa”  yang artinya adalah sebab.
            Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana ajaran causalitas ini bertujuan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan bilamanakah suatu perbuatan dipandang sebagai suatu sebab dan akibat yang timbul atau dengan perkataan lain ajaran causalitas bertujuan untuk mencari hubungan sebab dan akibat seberapah jauh akibat tersebut ditentukan oleh sebab.
            Seperti yang kita ketahui, bahwa ilmu pengetahuan hukum pidana mengenal beberapa jenis delik yang penting dalam ajaran causalitas adalah perbedaan antara delik formal dan delik materiil. Delik formal adalah delik yang telah dianggap penuh dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan suatu hukuman. Sedangkan delik materiil adalah  delik yang telah dianggap selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman dan undang-undang.
            Contoh-contoh delik formal dan materiil sebagai berikut:
·         Delik formal
1)      Pasal 362 KUHP : Yang dilarang dalam perbuatan pencurian ini adalah  perbuatannya mengambil barang milik orang lain.
2)      Pasal 242 KUHP : Yang dilarang memberikan keterangan palsu dalam sumpah.
·         Delik materiil
1)      Pasal 338 KUHP : yang dilarang dalam delik ini adalah menyebabkan matinya orang lain.
2)      Pasal 351 KUHP : yang dilarang dalam delik ini adalah menimbulkan sakit atau luka pada orang lain.
3)      Pasal 187 KUHP : yang dilarang dalam delik ini adalah timbulnya kebakaran , peledakan banjir, sedangkan perbuatannya menimbulkan akibat tersebut tidak menjadi soal.
Dalam Delik formal perbuatan itulah yang dilarang dan pada delik materiil yang ditekankan adalah akibat dari perbuatan itu. Apabila ajaran kausalitas dihubungkan dengan delik formal sebagaimana telah diketahui akibat suatu peristiwa tidak dinyatakan dengan tekad sebagai unsur dari suatu delik. Oleh karena itu, ajaran kausalitas  dalam hubungannya dengan delik formal tidak memberikan pengaruh yang tegas. Akan tetapi jika ajaran kausalitas ini dihubungkan dengan delik materiil, akan lain halnya karena yang ditekankan dalam delik ini adalah akibat dari perbuatanya, jadi ajaran kausalitas ini penting bagi delik materiil.
            Tiap-tiap akibat pada kenyataannya dapat ditimbulkan oleh beberapa masalah, dan masalah satu dengan yang lainmerupakan suatu rangkaian sehingga akibat tersebut tidak ditimbulkan dalam suatu perbuatan saja, bahkan oleh beberapa perbuatan yang merupakan rangkaian yang dapat dipandang sebagai sebab dari timbulnya suatu akibat.
1.      Teori condition sine quanon (teori syarat mutlak) dari Van Buri
Menurut teori ini tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab kalau satu syarat tidak ada, maka akibat akan lain pula. Tiap syarat baik positif maupun negative untuk timbulnya sutu akibat adalah sebab, dan mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan tidak akan mungkin terjadi suatu akibat konkret, seperti yang senyata-nyatanya menurut waktu tempat dan keadaan. Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan tampa menyebabkan berubahnya akibat.
2.      Teori dari Traeger
Traeger memberi ajaran yang berlainan sekali dengan ajaran Van Buri. Ia mengatakan perbedaan antara rangkaian-rangkaian perbuatan itu harus dicari yang manakah yang menimbulkan akibat yang dilarang dan ancam dengan hukuman oleh undang-undang.

Menurut ajaran ini, maka ia tidak menganggap rangkaian perbuatan itu sebagai syarat daripada timbulnya akibat, akan tetapi ia membedakan syarat dan alas an, dimana untuk mencari satu masalah tersebut traeger mengemukakan dua teori :

1.      Teori yang mengindividualisir;
2.      Teori yang menggeneralisir
Keterangan :
1.      Teori yang mengindividualisir adalah dalam mencari, satu masalah dari rangkaian perbuatan tersebut, maka didasarkan pada keadaan yang nyata yang menyebabkan akibat yang timbul. Jadi ajaran ini mendasarkan pada in concreto.
2.      Teori yang menggeneralisir adalah ajaran ini menentukan sebab daripada  akibat yang timbul, dengan mencari ukuran dengan perhitungan pada umumnya yang berarti ukuran itu ditentukan  in abstrakto.

jadi setelah sesuatu akibat timbul, dicarilah sebabya dari rangkaian-rangkaian perbuatan itu, yang menimbulkan akibat dalam pada mana dipergunakan perhitungan yang layak sebagai penyebab tibulnya akibat.

Akan tetapi, dari perumusan teori Traeger tersebut kita belum mempunyai pegangan yang kuat untuk menentukan sebab daripada akibat yang timbul.
Oleh karena itu, beberpa sarjana hukum mengemukakan teori yang lain adalah sebagai berikut :
1.      Pendukung teori yang mengindividualisir
a.       Brikmayer : ia dengan teorinya de meest werzame factor, menurut sarjana ini untuk mencari satu masalah yang didasarkan pada faktor yang terbesar sebagai sebab timbulnya akibat.
b.      Binding dan Kohler : menurutnya untuk mencari suatu masalah dari rangkaian perbuatan sebagai penyebab timbulnya akibat maka didasarkan kepada perbuatan yang terpenting dan seimbang sebagai penyebab timbulnya akibat.
Guna lebih menjelaskan ajaran ketiga sarjan tersebut di atas, di bawah ini akan dikemukakan keterangan Vos mengenai ajaran-ajaran ketiga sarjana  tersebut, yaitu sebagai golongan pengikut teori yang mengindividualisir termasuk :
a.       Teori dari meist wirk same bedingungdari Brikmayer:
sebab adalah yang dalam concreto yang paling memberikan akibat. Contohnya dua ekor kuda yang menarik kereta, yang palingkuat adalah yang terlebih dahulu menyebabkan bergeraknya kereta itu.
b.      Teori dari Binding :
Syarat adalah sebab, yang merupakan pokok dari syarat di atas negative. Yang dimaksud oleh Binding disini bukanlah terakhir adalah sebab akan tetapi bila tiap peluru ikut diperhitungkan juga, maka kita akan kembali lagi pda ajran Van Buri.
c.       Teori dari Kohler : syarat adalah sebab yang menentukan bagi die arts des werdens. Kesulitan teori ini adalah bila berbagai syarat setingkt pentingnya, umpama seseorang yang peka terhadap racun, yang bila dimakan orang dalam jumlah tertentu pada umumnya tidak menyebabkan kematian. Maka kepekaan yang berlebihan ini adalah lebih menentukan daripda racunnya.
Demikian pendapat Vos mengenai teori yang mengindividualisir.

2.      Pendukung teori yang menggeneralisir
a.       Von Kries : teori yang terkenal adalah Adequate Theorie dengan teorinya tersebut ia mengajarkan perbuatan yang harus dianggap sebagai sebab daripada akibat yang timbul, adalah perbuatan yang seimbang dengan akibat. Jika ditinjau Adequate Theorie seperti yang diajarkan Von Kries ini, maka yang harus dianggap sebagai timbulnya akibat adalah perbuatan yang seimbang dengan akibat dan menurut perhitungan yang layak ia mengetahui bahwa perbuatannya dilarang dengan UU. Jika ajaran ini kita tinjau lebih dalam guna menentukan perbuatan atau masalah sebagai sebab akibat yang timbul, dipergunakan perhitungan yang abstrak.
Contoh : A melakukan penganiayaan ringan terhadap B yaitu dengan tangan terbuka. Menurut perhitungan yang layak, yaitu pada umumnya penganiayaan yang dilakukan A itu tidak menimbulkan akibat kematiaanya. Karena B merasa sakit ia membutuhkan pertolongan dokter. Untuk itu ia berjalan kaki kerumah dokter. Akan tetapi, ditengah jalan B ditabrak C dengan mobil, karena luka parah B akhirnya meninggal. Seperti telah diterangkan di atas, maka apabila yang dianut adalah ajaran Van Buri, maka perbuatan yang dilakukan A tersebut harus dianggap sebagai sebab dari matinya B. Justru karena perbuatan tidak dapat diadakan guna menghindarkan akibat yang dialami oleh B. akan tetapi, jika peristiwa ini dipandang dari ajaran Van Kries, maka matinya B disebabkan rangkaian perbuatan yang masing-masing harus diperhitungkan guna menentukan sebab matinya B. dalam contoh rangakaian perbuatan terdiri atas :
1.      Pebuatan A: ia menganiaya B dengan tangan terbuka
2.      Perbuatan B: ia berjalan kaki ke rumah dokter untuk meminta perolongan
3.      Perbuatan C: dengan mobilnya telah menabrak B di tengah jalan
Jadi menurut Adequate Theorie masing-masing perbuatan itu nharus dilihat dan diperhitungkan yang layak yang dapat menyeebabkan kematian B. maka menurut ajaran Von Kries, dalam contoh tersebut hanya perbuatan C lah dapat dianggap sebab dari matinya si B. seperti telah kita ketahui bahwa perhitungan yang layak menurut Von Kries dirumuskan sebagai masalah yang diketahui oleh si pembuat, guna menetukn sebab itu, maka suatu yang ditimbulkannya dipandangnya dari sudut subyektif daripada si pembuat sendiri.
Pendapat VOS mengenai ajaran Von Kries : yang penting menurut Adequate Theorie adalah sejajar dengan atau sesuai dengan akibat. Dan dengan demikian sebagai sebab dapatlah mengajarkan menurut kebiasaan yang normal, dapat menimbulkan suatu akibat.

b.      Rumelin : ia menganut teori yang menggeneralisir, menurut ia untuk mencari sebab  timbulnya akibat dari rangkaian perbuatan yang didasarkan pada perhitungan yng layak, akan tetapi menurut Rumelin perhitungn Yang layak si pelakunya tidak hanya harus mengetahui, akan tetapi juga kemudian baru mengetahui bahwa perbutannya akan menimbulkan akibat yang terlarang. Dalam ajarannya ini Rumelin berpendapat, bahwa yang harus diperhitungkan itu bukan saja masalah-masalah yang kemudian akan diketahui dari sudut-sudut subyektif tapi juga masalah-masalah yang akan diketahui dari sudut obyektif.
c.       Smons : pendapat Simons adalah di tengah-tengah pendapat Von Kries dan Rumelindimana yang dimaksud perhitungan yang layak menurut Simons haruslah memerhatikan :
1.      Masalah yang diketahui si pembuat sendiri.
2.      Dan disamping itu juga memperhitungkan masalah yang diketahui umum, walaupun tidak dikenal oleh si pembuat sendiri cukup umum mengetahui.
Maka jika contoh tersebut ditinjau dari ajaran Simons haruslah :
1.      Diperhitungkan apakah A mengetahui, bahwa B sedang menderita sakit malaria yang berat.
2.      Diperhitungkan juga apakah umum mengetahui bahwa B sedang sakit dalam penderitaan itu, misalnya muka B selalu pucat, tidak bergairah atau sebagainya.
Seperti telah kita ketahui teori generalisasi, teori ini secara ante factum apakah dari rangkaian perbuatan manusia kan menimbulkan akibat semacam itu artinya menurut pengalaman hidup biasa, menurut penghitungan yang layak memiliki kadar untuk itu.
Kira-kira pada tahun 1970 Von Bar, memperkenalkan ajaran dalam hukum perdata. Contoh : ada atau tidaknya hubungan sebab akibat yang Adekwet :
1.      Suatu jotosan yang mengenai hidung, biasanya dapat menyebabkan hidung keluar darah, akan tetapi orang yang dipukul tersebut menjadi buta itu bukan merupakan akibat yang Adekwet. Ini merupakan akibat yang abnormal yang tidak biasa.
2.      Seorang petani membakar tumpukan rumput kering, dimana secara kebetulan bersembunyi atau tidur seorang penjahat, akibatnya penjahat itu mati terbakar. Adakah penyebabnya yang Adekwet? Jawabnuya adalah tergantung dari keadaan : jika biasanya menurut pengalaman sehari-hari, tidak timbul semacam itu, maka perbuatan petani tersebut bukanlah sebab. Akan tetapi, apabila daerah itu merupakan kebiasaan orang untuk bersembunyi atau menginap dalam tumpuka rumput, maka perbuatan petani itu benar-benar memiliki kadr untuk matinya seseorang.
Hal yang merupakan persoalan dalam teori ini adalah bagaimanakah penetuannya, bahwa suatu sebab itu pada umumnya cocok untuk menimbulkan akibat tertentu itu ? mengenai hal ini ada beberapa pendirian yang antara lain adalah :
1.      Penentuan subyektif:  disini yang dianggap sebab adalah apa yang oleh si pembuat dapat diketahui bahwa pada umumnya dapat menimbulkan akibat (Von Kries). Jadi pandangan atau pengetahuan si pembuatlah yang menetukan.
2.      Penetuan objektif : dasar penentuan apakah suatu perbuatan itu dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau hal-hal yang secara obyektif kemuddian diketahui. Jadi bukan yang diketahui oleh si pembuat melainkan pengetahuan dari hakim.

B.     Ajaran causalitas dalam  KUHP
Yang sering menjadi pertanyaan kita adalah causalitas yang mana yang dianut KUHP? Dan ajaran mana yang dianut oleh kita ? pada umumnya KUHP kita tidak dapat mengatur menganut teori yang mana, hal yang demikian itu dapat disimpulkan dari riwayat pembentukan KUHP sendiri maupun dari pasal-pasal KUHP. Berhubungan dengan itu perlu juga ajaran causalitas ini ditinjau dari sudut yurisprudensi, yaitu putusan hakim yang tertinggi, yaitu Hoge Raad.
Arrest Hoge Raad 17 Juni 1911 Hoge Raad tidak menganut aliran causalitas. Juga Hoge Raat semula tidak menganut salah satu ajaran causalitas, hal mana terutama dari Arrest nya 17 Juni 1911 dimana tampak bahwa Hoge Raat menyerahkan kepada hakim untuk menetukan sendiri bilamana suatu perbuatan dianggap sebagaisebab dari suatu akibat yang timbul, tidak perlu harus harus berupa perbuatan yang menurut perhitungan yng layak akan menimbulkan akibat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan member Arrest nya itu Hoge Raat menganut ajaran Van Buri.
Arrest H. R. 18 oktober 1933 menganut adequate theorie. Kemudian tampak lagi  Arrest member ketentuan yang lain pula, dalam Arrestnya tertanggal 18 oktober 1933, H.R. member ketentuan bahwa yang harus dianggap sebagai sebab daripada akibat yang timbul, adalah suatu perbuatan, dengan melakukannya haruslah sudah dapat akibat yang akan timbul. Dari keputusan ini dapat diambil kesimpulan bahwa H. R. menganut Adequate theorie. Dengan kita mengetahie suatu putusan Arrest tersebut tampaknya bahwa pendiriannya selalu berubah, sehingga tidak dapat diktakan bahwa yang dianut satu ajaran saja.

C.    Hubungan causalitas dengan omissi dan oneigenlijke delicte

Sebelumnya antara ajaran causalitas dengan delik formal dan delik materil yang semuanya merupakan comissi delict, yaitu suatu delik yang merupakan pelanggaran terhadap suatu larangan. Timbul suatu pernyataan bagaimanakah hal hubungan antara ajaran perihal causalitas ini dengan delik omissi, yaitu delik yang merupakan pelanggaran terhadap suatu keharusan dan juga bagaimanakah hubungan antara causalitas dengan oneigenlijke delic,yaitu delik dimana si pelakunya tidak berbuat akibatnya tidak berbuatnya si pelaku telah melakukan tindak pidana.

D.    Hubungan ajaran causalitas dengan omissi delic

Tidaklah mengalami suatu kesukaran oleh barang siapa melanggar suatu keharusan yang telah dirumuskan dalam hukum pidana. Mosalnya dalam pasal 522 KUHP , menurut pasal ini barang siapa yang diharuskan untuk memberikan kesaksian dimuka pengadilan ia tidak dating dengan alas an yang sah, maka ia telah memenuhi rumusan dalam pasal 522 KUHP Tersebut, yaitu melanggar suatu keharusan dan iya telah diancam dengan pidana. Berlainan halnya ajaran causalitas dengan delik formal dan delik materiil. Dengan delik formal dan delik materiil yang ditelaah adalah kelakuan positif ( berbuat sesuatu ) yang menimbulkan akibat terlarang. Akan tetapi didalam oneigenlijke delict yang dipersoalkan adalah berkenaan dengan kelakuan positif atau tidak berbuat sesuatu.
            Menurut prof.Moeljatno, hubungan kausalitas dalam hukum pidana adalah bersifat logika, oleh karena itu yang dipersoalkan bukanlah suatu suatu keadaan akan menimbulkanakibat, akan tetapi apakah sesuatu itu akan timbul apabila tidak ada yang merintangi.
            Oleh karena itu, dalam mempersoalkan ajaran perihal kausalitas oneigenlijke delict para sarjana mengemukakan teori sebagai berikut:
1.      Teori perbuatan positif pada saat akibat timbul atau theorie van het anders foen.
2.      Teori perbuatan yang mendahului akibat atau  theorie van het anders afgaande.
3.      Teori tidak berbuat sedangkan berdasarkan kewajiban ia harus berbuat.
Kesimpulan mengenai causalitas dalam hal tidak berbuat: sekarang tidak ada persoalan lain, bahwa tidak perbuatan itu dapat menjadi sebab daripada suatu akibat. Tindak berbuat sebenarnya juga merupakan perbuatan, dalam delik commisionis per ommissionem commisa (delik ommisi yang tidak sesungguhnya) “ tidak berbuat sama sekali” akan tetapi” tidak berbuat sesuatu”, yang diharapkan untuk diperbuat atau dilakukan, maka dengan pengertian ini hal “tidak berbuat” dalam arti dapat menjadi syarat untuk terjadinya suatu akibat.

0 komentar:

Posting Komentar