KOMPETENSI PENGADILAN SECARA ABSOLUT DAN RELATIF
Kompetensi menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu)[2]. Kompetensi dari suatu pengadilan
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara berkaitan dengan jenis
dan tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan jenis dan lingkungan
pengadilan dibedakan atas Pengadilan Umum, Pengadilan Militer, Pengadilan
Agama, dan Pengadilan Tata Usaha Negara
(Pengadilan Administrasi). Sedangkan berdasarkan tingkatannya pengadilan
terdiri atas Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tinggi (Banding), dan Mahkamah Agung (Pengadilan
Tingkat Kasasi).
Dengan demikian jumlah pengadilan
tingkat pertama ditentukan oleh jumlah pemerintah daerah tingkat II
(Kabupaten/Kotamadya) yang ada, jumlah pengadian tingkat tinggi (banding)
sebanyak jumlah pemerintahan tingkat I (provinsi),
Sedangkan Mahkamah Agung
(kasasi) hanya ada di ibukota Negara sebagai puncak dari semua lingkungan
peradilan yang ada.
Ada beberapa cara untuk mengetahui
kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara : pertama, dapat dilihat dari pokok sengketanya[3]. kedua dengan melakukan pembedaan atas atribusi dan delegasi[4]. ketiga dengan melakukan pembedaan atas kompetensi absolut dan kompetensi relatif.
Dapat dilihat dari pokok
sengketanya, apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum privat,
maka sudah tentu yang berkompetensi adalah hakim biasa (hakim pengadilan umum).
Apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum publik, maka sudah
tentu yang berkompetensi adalah administrasi negara yang berkuasa (hakim PTUN).
Menurut Sjarah Basah pembagian
kompetensi atas atribusi dan delegasi dapat dijelaskan melalui bagan nerikut:
a.
Atribusi berkaitan dengan pemberian wewenang
yang bersifat bulat (absolut) mengenai materinya, yang dapat
dibedakan:
1)
Secara
horizontal, yaitu
wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan lainnya,
yang mempunyai kedudukan sederajat/setingkat. Contoh; Pengadilan Administrasi
terhadap Pengadilan Negeri (Umum), Pengadilan Agama atau Pengadilan Militer.
2)
Secara
vertikal,
yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan
terhadap jenis pengadilan lainnya, yang secara berjenjang atau hirarkis
mempunyai kedudukan lebih tinggi. Contoh; Pengadilan Negeri (Umum) terhadap
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
b. Distribusi berkaitan dengan pemberian wewenang,
yang bersifat terinci (relatif) di antara badan-badan yang sejenis mengenai
wilayah hukum. Contoh; Pengadilan Negeri Bandung dengan Pengadilan Negeri
Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.
Pembagian yang lain adalah pembagian atas kompetensi
Absolut dan Kompetensi Relatif.
a.
Kompetensi
Absolut
Menyangkut kewenangan badan peradilan apa untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara; sebagaimana diketahui berdasarkan pasal
10 UU 35/1999 kita mengenal 4 (empat) lingkungan
peradilan, yakni; peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan
peradilan tata usaha negara.
1)
Kompetensi Absolut Dari Peradilan Umum adalah
memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara pidana yang dilakukan oleh
orang-orang sipil dan perkara perdata, kecuali suatu peraturan
perundang-undangan menentukan lain (Pasal 50 UU 2/1999).
2)
Kompetensi Absolut Dari Peradilan Agama adalah
memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara-perkara orang yang beragama Islam
dalam bidang perkawinan, warisan, wasiat, hibah, waqaf, dan shadaqah (Pasal 49
UU 50/2009).
3)
Kompetensi Absolut Dari Peradilan Militer adalah memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara-perkara pidana yang dilakuka oleh anggota militer (baik dari
angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara , dan kepolisian).
4)
Kompetensi absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa, mengadili,
dan memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara
seseorang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara
akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa
kepegawaian (Pasal 1 ayat 4 UU 09/2004 PTUN) dan tidak dikeluarkannya suatu keputusan yang
dimohonkan yang dimohonkan seseorang sampai batas waktu yang ditentukan dalam
suatu peraturan perundang-undangan, sedangkan hal itu telah merupakan kewajiban
badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan (Pasal 3 UU 09/2004 PTUN).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah
atribusi dari Sjarah Basah itu sama dengan kompetensi absolut dan untuk istilah
delegasi adalah sama dengan kompetensi relatf.
. Contoh
: Suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
seorang anggota ABRI maka pengadilan yang berwenang untuk mengadili adalah
Pengadilan Militer
Kewenangan
Relatif Pengadilan
Kewenangan
relatif pengadilan merupakan kewenangan lingkungan peradilan tertentu
berdasarkan yurisdiksi wilayahnya, yaitu untuk menjawab pertanyaan “Pengadilan
Negeri wilayah mana yang berwenang untuk mengadili suatu perkara?”. Dalam hukum
acara perdata, menurut pasal 118 ayat (1) HIR, yang berwenang mengadili suatu
perkara perdata adalah Pengadilan Negeri (PN) yang wilayah hukumnya meliputi
tempat tinggal tergugat (actor sequitur forum rei).
Mengajukan gugatan pada pengadilan diluar wilayah hukum tempat tinggal
tergugat, tidak dibenarkan.
Persoalannya
adalah, bagaimana jika seorang tergugat memiliki beberapa tempat tinggal yang
jelas dan resmi. Dalam hal ini, penggugat dapat mengajukan gugatan ke salah
satu PN tempat tinggal tergugat tersebut. Misalnya, seorang tergugat dalam
KTP-nya tercatat tinggal di Tangerang dan memiliki ruko di sana, sementara
faktanya ia juga tinggal di Bandung. Dalam hal demikian, gugatan dapat diajukan
baik pada PN di wilayah hukum Tangerang maupun Bandung. Dengan demikian, titik
pangkal menentukan PN mana yang berwenang mengadili perkara adalah tempat
tinggal tergugat dan bukannya tempat kejadian perkara (locus delicti)
seperti dalam hukum acara pidana.
Dalam hal suatu
perkara memiliki beberapa orang tergugat, dan setiap tergugat tidak tinggal
dalam suatu wilayah hukum, maka penggugat dapat mengajukan gugatan ke PN yang
wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal salah seorang tergugat. Kepada
penggugat diberikan hak opsi, asalkan tergugat terdiri dari beberapa orang dan
masing-masing tinggal di daerah hukum PN yang berbeda.
Jika tergugat terdiri
lebih dari satu orang, dimana tergugat yang satu berkedudukan sebagai debitur
pokok (debitur principal) sedangkan tergugat lain sebagai penjamin (guarantor),
maka kewenang relatif PN yang mengadili perkara tersebut jatuh pada PN yang
daerah hukumnya meliputi tempat tinggal debitur pokok tersebut.
Opsi lainnya
adalah gugatan diajukan kepada PN yang wilayah hukumnya meliputi tempat
kediaman penggugat, yaitu dengan patokan apabila tempat tinggal tergugat tidak
diketahui. Agar tidak dapat dimanipulasi oleh penggugat, tidak diketahuinya
tempat tinggal tergugat itu perlu mendapat surat keterangan dari pejabat yang
bersangkutan yang menyatakan bahwa tempat tinggal tergugat tidak diketahui.
Misalnya, surat keterangan dari kepala desa.
Jika obyek
gugatan mengenai benda tidak bergerak (benda tetap), misalnya tanah, maka
gugatan diajukan kepada PN yang daerah hukumnya meliputi benda tidak bergerak
itu berada. Jika keberadaan benda tidak bergerak itu meliputi beberapa wilayah
hukum, maka gugatan diajukan ke salah satu PN atas pilihan penggugat. Namun
jika perkara itu merupakan perkara tuntutan ganti rugi berdasarkan Perbuatan
Melawan Hukum (PMH) pasal 1365 KUHPerdata yang sumbernya berasal dari obyek
benda tidak bergerak, maka tetap berlaku asas actor sequtur forum rei
(benda tidak bergerak itu merupakan “sumber perkara” dan bukan “obyek
perkara”). Misalnya, tuntutan ganti rugi atas pembaran lahan perkebunan.
Dalam
perjanjian, terkadang para pihak menentukan suatu PN tertentu yang
berkompetensi memeriksa dan mengadili perkara mereka. Hal ini, berdasarkan asas
kebebasan berkontrak, bisa saja dimasukan sebagai klausul perjanjian, namun
jika terjadi sengketa, penggugat memiliki kebebasan untuk memilih, apakah PN
berdasarkan klausul yang ditunjuk dalam perjanjian itu atau berdasarkan asas actor
sequtur forum rei. Jadi, domisili pilihan dalam suatu perjanjian tidak
secara mutlak menyingkirkan asas actor sequitur forum rei, dan
tergugat tidak dapat melakukan eksepsti terhadap tindakan tersebut.
CONTOH :
Suatu tindak
pidana yang terjadi di Cimahi maka yang berwenang untuk mengadili adalah
Pengadilan Negeri Bale Bandung.
0 komentar:
Posting Komentar