Rechtsbescherming dalam Hukum Lingkungan, Hubungan antara hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dengan hak dan kewajiban peran serta masyarakat terhadap lingkungan, Gugatan terhadap lingkungan hidup serta tindak pidana lingkungan
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Rechtsbescherming dalam Hukum
Lingkungan
Rechtsbescherming atau perlindungan hukum adalah
perlindungan terhadap
lingkungan dalam bentuk perangkat hukum baik yang
bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari
fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan,
ketertiban, kepastian, kemanfaatan, dan kedamaian.
Ketentuan
hasil perubahan membawa makna penting sekaligus secercah harapan bagi
tersedianya jaminan konstitusi atas keberlangsungan lingkungan di alam
khatulistiwa ini. Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 merupakan
ketentuan kunci tentang diaturnya norma mengenai lingkungan di dalam
konstitusi. Secara berturut-turut kedua Pasal tersebut berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”.(huruf tebal dicetak oleh Penulis).
Pasal 33 ayat (4): “Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional”. (huruf tebal dicetak oleh Penulis)
Berdasarkan kedua Pasal tersebut di
atas maka sudah jelas bahwa UUD 1945 juga telah mengakomodasi perlindungan
konstitusi (constitutional protection) baik terhadap warga negaranya
untuk memperoleh lingkungan hidup yang memadai maupun jaminan terjaganya
tatanan lingkungan hidup yang lestari atas dampak negatif dari aktivitas
perekonomian nasional. Untuk lebih memperjelas penafsiran konstitusi terhadap
ketiga frasa di atas, maka akan diuraikan penjelasannya secara satu-persatu.
Selain Indonesia, hak-hak serta
kewajiban konstitusional terkait dengan lingkungan hidup juga terdapat di dalam
berbagai konstitusi negara-negara dunia, misalnya Afrika Selatan (1996), Angola
(1992), Armenia (1995), Belanda (1983), Bhutan (2008), Brasil (1988), Chili
(1980), Ekuador (2008), Filipina (1987), Ghana (1992), India (1976), Korea
Selatan (1987), Nepal (2007), Perancis (2006), Portugal (1976), Spanyol (1978),
dan lain sebagainya.
Dari sejumlah konstitusi negara
dunia tersebut, menurut Jimly Asshiddiqie terdapat dua negara yang dapat
dikatakan memiliki perlindungan kuat terhadap lingkungan hidup, yaitu Perancis
dan Ekuador. Negara Perancis memasukan Piagam Lingkungan Hidup 2004 (Charter
for the Environment of 2004) secara utuh ke dalam Pembukaan Konstitusinya,
sehingga konsekuensinya adalah seluruh batang tubuh Konstitusi Perancis
haruslah bernafaskan nilai-nilai dan norma ketentuan yang pro-lingkungan.
Menurut Andi Hamzah, penegakan hukum
yang cocok dengan kondisi Indonesia meliputi segi preventif dan represif,
terutama yang memiliki keterlibatan pemerintah untuk turut aktif meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa penegakan hukum
lingkungan sangatlah rumit, karena hukum lingkungan berdiri di atas titik
pertemuan pelbagai bidang hukum, seperti administratif, perdata, dan pidana,
bahkan kadangkala sampai menyentuh juga hukum pajak, pertanahan, tata negara,
dan hukum internasional baik publik maupun privat.[1]
Dalam kaitannya dengan penegakan
hukum yang disampaikan oleh Andi Hamzah di atas, maka peranan konstitusi
sebagai “langit” dari segala bidang hukum nasional menjadi teramat penting,
sebab konstitusi merupakan titik puncak tertinggi piramida aturan bernegara
dari segala hukum yang berlaku di dalam negeri. Dalam teori stufenufbau der
rechtsordnung, Hans Nawiasky menyebutnya dengan istilah “staatsgrundgesetz”.[2]
Dalam konteks tersebut,
konstitusionalisasi norma lingkungan hidup di dalam UUD 1945 dapat menjadi
salah satu cara untuk menegakkan hukum baik secara preventif maupun represif.
Adanya norma perlindungan terhadap lingkungan di dalam konstitusi secara
otomatis akan menjadi pedoman tidak hanya dalam penyusunan undang-undang
organiknya namun juga segala tindakan dan macam laku dari para pemangku
kebijakan, baik itu pemerintah, pihak swasta, ataupun masyarakat madani (civil
society).
Apabila hal tersebut ternyata tetap
disimpangi, maka rumusan penegakan hukum yang kemudian berlaku adalah tindakan
represif terhadap produk perundang-undangan atau tindakan yang dianggap melanggar
atau bertentangan dengan konstitusi (constitutional violation).
B. HUBUNGAN
ANTARA HAK ATAS LINGKUNGAN HIDUP YANG BAIK DAN SEHAT DENGAN HAK DAN KEWAJIBAN
PERAN SERTA MASYARAKAT TERHADP LINGKUNGAN
B.1 Hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat
Ketentuan
hasil amandemen ke-4 UUD NRI 1945 membawa makna penting sekaligus secercah
harapan bagi tersedianya jaminan konstitusi atas keberlangsungan lingkungan di alam khatulistiwa ini.
Ketentuan kunci tentang adanya jaminan atas hak lingkungan hidup yang baik dan
sehat tertuang dalam Pasal 28H Ayat (1) UUD NRI 1945, yang berbunyi sebagai
berikut :
Pasal
28H Ayat (1) : “Setiap orang berhak idup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. (
huruf tebal dicetak oleh Penulis )
Berdasarkan
Pasal tersebut di atas maka sudah jelas bahwa UUD NRI 1945 telah mengakomodasi
perlindungan konstitusi (constitutional
protection) terhadap warga negaranya untuk hidup dan memperoleh lingkungan
hidup yang baik dan sehat untuk tumbuh dan berkembang.[3]
Ketentuan ini juga dapat disandingkan dengan Pasal 25 Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (DUHAM) yang menyebutkan,”every
has the right to standart of living adequate for the health and well-being of
himself and of his family” sedangkan di dalam Pasal 12 Ayat (1) ICESCR
ditegaskan, “The states Parties to the
present Covenant recognize the right of everyone to the enjoyment of the
highest attaintable standart of physical and mental health”
Artinya
bahwa kebutuhan hidup warga Negara Indonesia juga harus terpenuhi sesuai dengan
ukuran yang memadai baik terhadap kesehatannya maupun hal-hal lain yang terkait
dengan penyokong kehidupan seseorang. Secara lebih luas norma ini diperkuat
pemaknaanya dengan temaktubnya salah satu tujuan Negara sebagai cita Negara (staatsidee) pada Alinea ke-4 Pembukaan
UUD NRI 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia.[4]
B.1.1. Hak dan kewajiban peran serta masyarakat
1) .
Peran masyarkat dalam perlindungan lingkungan
Masyarakat
merupakan sumber daya yang penting bagi tujuan pengolahan lingkungan. Bukan
saja diharapkan sebagai sumber daya yang bisa didayagunakan untuk pembinaan
lingkungan, tetapi lebih daripada itu komponen masyarakat juga bisa memberikan
alternative penting bagi lingkungan hidup seutuhnya. Lothar Gundling, dalam
tulisannya yang berjudul Public
Participation In Environmental Decision Making[5]
mengemukakan beberapa dasar bagi partisipasi masyarakat untuk melakukan
tindakan perlindungan lingkungan, yakni dalam hal seperti berikut:
·
Member informasi kepada
pemerintah;
·
Meningkatkan kesediaan
masyarakat untuk menerima keputusan;
·
Membantu perlindungan
hukum;
·
Mendemokratisasikan
pengambilan keputusan.
selanjutnya
mengenai partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, Gundling
menggolongkannya dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
1. Secara
proedur administrative, misalnya dalam hal Amdal; proedur dan perancanaan
perizinan; dan pembuatan peraturan. Dalam pembuatan peraturan, misalnya,
masyarakat memiliki hak partisipasi dalam penyusunan perturan
perundang-undangan adminstratif;
2. Pemberian
informasi kepada masyarakat. Masyarakat memiliki hak untuk mendapat informasi
yang memadai atas suatu proses pengambilan keputusan, terutama pihak-pihak yang
berkaitan dengan dampak pengambilan
keputusan, misalnya dalam pemberian perizinan (lisence), Amdal (EIA).
Sadar
akan peranan masyrakat dalam pembinaan tata lingkungan sebagaimana yang
dikemukakan Gundling di atas, maka dalam UUPLH, partisipasi masyarakat mendapat
tempat pengaturan yang cukup layak dalam proporsi pengelolaan lingkungan.
Dalam
Bab III Tentang Hak, Kewajiban dan Peran
masyarakat ditentukan beberapa Hak dan Kewajiban masyarakat atas lingkungan
hidup. Hak dan kewajiban yang berkenaan dengan peran serta masyarakat tersebut
terdapat pada Pasal 5 hingga Pasal 7 UUPLH. Secara garis besar dapat
dikemukakan sebagai berikut :
a. Hak
setiap orang secara sama untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat
(Pasal 5 ayat 1);
b. Hak
setiap orang memiliki informasi lingkungan yang berkaitan dengan pengelolaan
lingkungan (Pasal 5 ayat 2);
c. Hak
setiap orang untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan (Pasal 5 ayat
3);
d. Hak
masyarakat untuk mendapatkan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk
berperan dalam pengelolaan lingkungan;
e. Kewajiban
setiap orang untuk memelihara pembinaan lingkungan, mencegah, dan menanggulani
pencemaran atau perusakan lingkungan (Pasal 6 ayat 1);
f. Kewajiban
setiap pelaku usaha memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai
pengelolaan lingkungan (Pasal 6 ayat 2).
C.
Gugatan
terhadap Lingkungan Hidup serta Tindak Pidana Lingkungan
1. Gugatan Perwakilan (Class Actions)
Class action dikenal
juga dengan istilah gugatan perwakilan kelompok. Pada prinsipnya gugatan class
actions merupakan suatu cara untuk memudahkan pencari keadilan untuk
mendapatkan pemulihan hak hukum yang dilanggar melalui jalur keperdataan. Bahwa
sangatlah tidak praktis apabila kasus yang menimbulkan kerugian terhadap banyak
orang, memiliki fakta-fakta atau dasar hukum, serta tergugat yang sama,
diajukan secara sendiri-sendiri sehingga menimbulkan ketidak efisiennan bagi
para pihak yang mengalami kerugian, maupun pihak tergugat bahkan kepada pihak
pengadilan sendiri.Tujuan gugatan class actions, agar supaya proses berpekara
lebih ekonomis dan biaya lebih efisien (judicial
economy). Tidaklah
ekonomis bagi pengadilan jika harus melayani gugatan yang sejenis secara satu
per satu. Manfaat ekonomis gugatan class actions ini tidak saja dirasakan oleh
penggugat, akan tetapi juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan gugatan
secara class actions, tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk
melayani gugatan pihak-pihak yang merasa dirugikan.
2. Gugatan Organisasi (Legal Standing)
Pada prinsipnya istilah standing
dapat diartikan secara luas yaitu akses orang perorangan atau kelompok/
organisasi di pengadilan sebagai pihak penggugat.Legal standing, Standing tu
Sue, Ius Standi, Locus Standi dapat diartikan sebagai hak seseorang, sekelompok
orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses
gugatan perdata (Civil Proceding)
disederhanakan sebagai “hak gugat”. Secara konvensional hak gugat hanya
bersumber pada prinsip “tiada gugatan tanpa kepentingan hukum” (poit d’interest point d’action).
Kepentingan hukum (legal interest)
yang dimaksud di sini adalah merupakan kepentingan yang berkaitan dengan
kepemilikan (propietary interest)
atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara langsung (injury in fact). Perkembangan hukum
konsep hak gugat konvensional berkembang secara pesat seiring pula dengan
perkembangan hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak (public interest law) di mana seorang
atau sekelompok orang atau organisasi dapat bertindak sebagai penggugat
walaupun tidak memiliki kepentingan hukum secara langsung, tetapi dengan
didasari oleh suatu kebutuhan untuk memperjuangkan kepentingan,
masyarakat luas atas pelanggaran hak-hak publik seperti lingkungan hidup,
perlindungan konsumen, hak-hak Civil dan Politik. Selain itu bidang lingkungan hidup dapat
terjadi suatu keadaan dimana suatu organisasi atau kelompok orang mengajukan
gugatan dengan mendasarkan kepada kepentingan yang tidak bersifat diri pribadi
mereka atau kelompok mereka, tetapi mengatas namakan kepentingan umum atau
kepentingan orang banyak (masyarakat) atau yang disebut sebagai “algemeen belang”.
Substansi utama
yang mewadahi gugatan perwakilan baik itu berupa class action maupun secara
legal standing adalah keduanya berada pada ranah hukum perdata dan merupakan
bentuk pengajuan gugatan dalam bentuk perwakilan.Hal ini sesuai dengan
Undang-undang no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup dimana pada bagian ke tiga mengatur tentang Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup Melalui Peradilan dan kemudian dijabarkan lewat pasal 87
sampai dengan pasal 92.Sedangkan dasar pembeda antara gugatan perwakilan secara
class action dengan legal standing terdapat pada siapa yang mengajukan dan
kepada siapa gugatan ditujukan.
C.3. TINDAK PIDANA LINGKUNGAN
Tindak pidana yang diperkenalkan
dalam UUPPLH juga dibagi dalam delik formil dan delik materil. Menurut Sukanda
Husin (2009: 122) delik materil dan delik formil dapat didefensikan
sebagai berikut:
- Dellik materil (generic crime) adalah perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang tidak perlu memerlukan pembuktian pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi seperti izin.
- Delik formil (specific crime) adalah perbuatan yang melanggar hukum terhadap aturan-aturan hukum administrasi, jadi untuk pembuktian terjadinya delik formil tidak diperlukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup seperti delik materil, tetapi cukup dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi.
Berikut ini dikutip beberapa delik
materil yang ditegaskan dalam UUPPLH yang disesuaikan dengan beberapa kejahatan
yenga berkaitan dengan standar baku kebiasaan terjadinya pencemaran lingkungan
yaitu:
Pasal 105
Setiap orang yang memasukkan limbah
ke dalam wilayah Negara kesatua republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat 1 huruf c dipidana dengan penjara paling singkat empat tahun dan
paling lama dua belas tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000 dan
paling banyak Rp. 12.000.000.000.
Pasal 106
Setiap orang yang memasukkan limbah
B3 kedalam wilayah Negara kesatuan republik Indonesia sebagaimana dimaksud
Pasal 69 ayat 1 huruf d dipidana dengan penjara paling singkat lima tahun dan
paling lama lima belas tahun dan denda paling sedikit Rp
5.000.000.000 dan paling banyak Rp. 15.000.000.000.
Pasal 107
Setiap orag yang memasukkan B3 yang
dilarang menurut peraturan perundang-undangan kedalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pasal 69 ayat 1 huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun
dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000 dan paling banyak Rp.
15.000.000.000.
Pasal 108
Setiap orang yang melakukan
pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat 1 huruf h, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga belas
tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000 dan paling banyak Rp.
10.000.000.000.
Sementara, yang termasuk dalam delik
formil, sebagai tindak pidana yang harus didasarkan pada persyaratan
administratif dari perusahaan atau individu itu bertindak dan patut diduga
melakukan tindak pidana terhadap lingkungan juga dapat dilihat dalam
beberapa pasal seperti:
Pasal 98
Setiap orang dengan sengaja
melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambient,
baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama
sepuluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000 dan paling
banyak Rp.10.000.000.000.
Pasal 102
Setiap orang yang melakukan
pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud Pasal 59 ayat 4, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan
denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000 dan paling banyak Rp. 3.000.000.000
Hal yang membedakan dengan UUPLH dan
UUPPLH adalah pada sanksi pidana dendanya yang bukan lagi dalam hitungan jutaan
rupiah tetapi dinaikkan menjadi standar miliaran rupiah. Dalam undang-undang
yang baru tersebut, juga diatur masalah pertanggujawaban pidana bagi korporasi,
yang selanjutnya dapat dikenakan kepada yang memerintah sehingga terwujud
tindak pidana pencemaran lingkungan, tanpa memerhatikan terjadinya tindak
pidana itu secara bersama-sama (vide: Pasal 116 ayat 2). Pengaturan yang
berbeda juga dapat diamati pada peran kejaksaan yang dapat berkoordinasi
dengan instansi yang bertanggung jawab dibidang perlindungan hidup untuk
melaksanakan eksekusi dalam melaksanakan pidana tambahan atau tindakan tata
tertib (vide: Pasal 119 dan Pasal 120).
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Rechtsbescherming
dalam Hukum Lingkungan
Rechtsbescherming
atau perlindungan hukum adalah perlindungan terhadap lingkungan dalam bentuk
perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif,
baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum
sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat
memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan, dan kedamaian.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
ini terdiri dari 17 BAB dan 127 Pasal yang mengatur secara lebih menyeluruh
tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (selanjutnya disingkat
UUPPLH) tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap
proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/ atau
kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan
pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan.
Beberapa point penting dalam UU No. 32 Tahun 2009 antara lain:
- Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
- kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
- Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
- Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup, Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
- Pendayagunaan pendekatan ekosistem;
- Kepastian dalam merespon dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;
- Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
- Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
- Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif;
- Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil lingkungan hidup.
- Aspek pengawasan dan penegakan hukum, meliputi:
- Pengaturan sanksi yang tegas (pidana dan perdata) bagi pelanggaran terhadap baku mutu, pelanggar AMDAL (termasuk pejabat yang menebitkan izin tanpa AMDAL atau UKL-UPL), pelanggaran dan penyebaran produk rekayasa genetikan tanpa hak, pengelola limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) tanpa izin, melakukan dumping tanpa izin, memasukkan limbah ke NKRI tanpa izin, melakukan pembakaran hutan,
- Pengaturan tentang pajabat pengawas lingkungan hidup (PPLH) dan penyidik pengawai negeri sipil (PPNS), dan menjadikannya sebagai jabatan fungsional.
Selanjutnya, pengaturan tentang
sanksi pidana tidak jauh berbeda bagaimana bentuk-bentuk tindak pidana yang ada
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan hidup dibandingkan dengan undang-undang Nomor 23 tahun 1999
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tetap tindak pidana dibagi dalam
dalam delik materil maupun delik materil.
B.
HUBUNGAN
ANTARA HAK ATAS LINGKUNGAN HIDUP YANG BAIK DAN SEHAT DENGAN HAK DAN KEWAJIBAN
PERAN SERTA MASYARAKAT
B.1. Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik Dan Sehat
Hak atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat perlu adanya bingkai yuridis dalam rangka perlindungan hukum bagi
masyarakat di bidang lingkungan hidup. Ketentuan hasil
amandemen ke-4 UUD NRI 1945 membawa makna penting sekaligus secercah harapan
bagi tersedianya jaminan konstitusi atas keberlangsungan lingkungan di alam khatulistiwa ini.
Ketentuan kunci tentang adanya jaminan atas hak lingkungan hidup yang baik dan
sehat tertuang dalam Pasal 28H Ayat (1) UUD NRI 1945, yang berbunyi sebagai
berikut :
Pasal
28H Ayat (1) : “Setiap orang berhak idup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. (
huruf tebal dicetak oleh Penulis )
B.2. Hak Untuk Berperanserta Dalam Rangka Pengelolaan
Lingkungan Hidup
·
Hak dan kewajiban peran
serta masyarakat
Hak peran serta masyarakat ini khususnya pada tahap
perencanaan maupun tahap-tahap pelaksanaan dan penilaian izin khususnya tentang
izin lingkungan. Keberadaan hak ini berdampingan dengan adanya kewajiban
masing-masing individu untuk menjaga lingkungannya sebagaimana terdapat dalam
pasal 6 ayat (1) UULH. Di Belanda, hak ini berperan penting dalam pengambilan
keputusan dan tidak dengan mengajukan keberatan setelah keputusan diambil.
Peran serta yang dimaksud tidak terbatas hanya pada peran serta individu belaka
melainkan juga peran serta kelompok atau organisasi dalam masyarakat.
B.3. Peran masyarkat
dalam perlindungan lingkungan
Lothar Gundling, dalam tulisannya yang
berjudul Public Participation In
Environmental Decision Making[6]
mengemukakan beberapa dasar bagi partisipasi masyarakat untuk melakukan
tindakan perlindungan lingkungan, yakni dalam hal seperti berikut:
·
Memberi informasi
kepada pemerintah;
·
Meningkatkan kesediaan
masyarakat untuk menerima keputusan;
·
Membantu perlindungan
hukum;
·
Mendemokratisasikan
pengambilan keputusan.
Dalam
Bab III Tentang Hak, Kewajiban dan Peran
masyarakat ditentukan beberapa Hak dan Kewajiban masyarakat atas lingkungan
hidup. Hak dan kewajiban yang berkenaan dengan peran serta masyarakat tersebut
terdapat pada Pasal 5 hingga Pasal 7 UUPLH. Secara garis besar dapat
dikemukakan sebagai berikut :
g. Hak
setiap orang secara sama untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat
(Pasal 5 ayat 1);
h. Hak
setiap orang memiliki informasi lingkungan yang berkaitan dengan pengelolaan
lingkungan (Pasal 5 ayat 2);
i.
Hak setiap orang untuk
berperan serta dalam pengelolaan lingkungan (Pasal 5 ayat 3);
j.
Hak masyarakat untuk
mendapatkan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam
pengelolaan lingkungan;
k. Kewajiban
setiap orang untuk memelihara pembinaan lingkungan, mencegah, dan menanggulani
pencemaran atau perusakan lingkungan (Pasal 6 ayat 1);
l.
Kewajiban setiap pelaku
usaha memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan
lingkungan (Pasal 6 ayat 2).
1. Hak
dan kewajiban dalam informasi
Pemberian
informasi yang benar adalah prasyarat bagi keperansertaan masyarakat (public participation) dalam rangka
pengambilan keputusan,yakni dalam hal:
·
Yang berkaitan dengan
informasi, masyarakat memiliki hak untuk menyatakan pendapat sesuai dengan
kepentingannya ( msalnya dalam suatu rencana kegitan atau pemberian izin untuk
melakukan kegiatan, masyarakat dapat menolaknya karena akan merusak lingkungan,
menerima dengan syarat tertentu, bahkan berperan sebagai penyokong jika
kegiatan itu dipandang berifat positif);
·
Masyarakat dapat
memberikan konstribusinya untuk berpartisipasi melakukan pengelolaan
lingkungan;
·
Masyarakat dapat
memahami apa yang menjadi kewajibannya atas suatu pengelolaan lingkungan;
·
Dalam system Amdal
khususnya, prinsip pemberian informasi yang benr dan akurat kepada masyarakat
dapat menetukan sikapnya terhadap suatu rencana kegiatan.
2. Masyarakat
sebagai elemen pengambil keputusan
Hal
yang memantapkan kedudukan masyarakat adalah pengakuan undang-undang tentang
masyarakat sebagai salah satu pihak pada proses pengambilan keputusan.
Penjelasan Pasal 10 butir a UUPLH menyatakan:
“yang
dimaksud dengan pengambil keputusan dalam ketentuan ini adalah pihak-pihak yang
berwenang, yaitu pemerintah, masyarakat, dan pelaku pembangunan lainnya”.
Dengan
diakuinya masyarakat sebagai salah satu pihak pengambil keputusan, dapat
dikatakan sekarang bahwa terdapat kesetaraan antara pemerintah, pelaku
pembangunan di satu pihak dengan masyarakat di pihak lain dalam memikul
tanggung jawab pengelolaan lingkungan, dalam hak maupun kewajiban untuk
menciptkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.kesetaraan ini membawa
konsekuensi bahwa masyarakat tidak lagi sekedar sebagai penerima keputusan,
yang hanya berperan sebagai “obyek” yang diatur, atau sebagai subjek yang hanya
sekedar mematuhi peraturan-peraturan yang ditetapkan dari atas.
Disadari
kini bahwa pengelolaan arus bawah sangat penting dan pemosisiannya menjadi
subjek pengambilan keputusan adalah tepat, karena seperti dikatakn pakar (
Alain Cunningham,19984) bahwa masyarakat lebih mengerti dan mengetahui akan
keadaan lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan
anlisis di atas, ada beberapa hal yang bisa ditarik sebagai prinsip, yakni :
1. Memberikan
hak peran kepada setip orang;
2. Peran
yang dilakukan oleh setiap orang dan masyarakat meliputi pengambilan keputusan
(decision making);
3. Melakukan
public hearing;
4. Atau
melakukan cara lain yang ditentukan undang-undang, misalnya bisa saja melakukan
dengan system inkuiri (public inquiry);
5. Melakukan
perumusan atas kebijkan lingkungan (policy
making);
6. Melakukan
proses penialaian atas Amdal (Assessment
evaluation);
7. Memberikan
pertimbangan dan saran (advising role).
C.
GUGATAN TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP
SERTA TINDAK PIDANA LINGKUNGAN
C.1. Upaya Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dengan pengajuan gugatan Class Action dan Legal Standing.
Pada UU No 32
tahun 2009 masalah penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur pada bagian ke
tiga Undang-undang ini.Dimana secara perdata undang-undang ini membatasi
aturan-aturan mengenai pengajuan gugatan oleh pihak-pihak tertentu saja,sebagai
upaya pencegahan dan usaha pelestarian lingkungan hidupGugatan Perwakilan (Class Action).
Korban dari kasus perusakan dan atau
pencemaran lingkungan dapat dalam jumlah yang cukup banyak. Salah satu contoh
kasus yang belum lama terjadi adalah tragedi lumpur Lapindo yang menyebabkan
ribuan orang menjadi korban. Oleh karena itu, apabila bersifat mengajukan gugatan ke
pengadilan adalah lebih tepat dengan mengajukan gugatan perwakilan atau yang
sering disebut sebagai gugatan class action. Unsur-unsur gugatan class action
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 37 adalah, :
(1). Hak sejumlah
kecil masyarakat untuk mewakili diri mereka sendiri (class )dan orang lain
dalam jumlah yang besar (class members);
(2). Pihak
yang diwakili dalam jumlah yang besar (numerousity of class members), dan;
(3).
Kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan antara yang mewakili dan
diwakili (commonality).
Dengan demikian, LSM lingkungan
tidak memiliki hak untuk mengajukan gugatan class action, karena mereka
bukanlah termasuk korban (pihak yang mengalami kerugian nyata). Sedangkan,
Bappedalda Provinsi atau Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Kota/Kabupaten
selaku instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup di
daerah, berdasarkan ketentuan Pasal 37 ayat (2) dapat mengajukan gugatan class
action untuk kepentingan masyarakat, meskipun bukan termasuk korban. Prosedur gugatan perwakilan harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Numerosity, yaitu gugatan
tersebut menyangkut kepentingan orang banyak,sebaiknya orang banyak itu
diartikan denganlebih dari 10 orang; sehingga tidaklah efektifdan efisien
apabila gugatan dilakukan sendirisendiriatau bersama-sama dalam satu gugatan.
2. Commonality, yaitu adanya kesamaan
fakta(question of fact) dan kesamaan dasar hukum(question of law) yang bersifat
subtansial,antara perwakilan kelompok dan anggotakelompok; misalnya pencemaran;
disebabkan dari sumber yang sama, berlangsung dalam waktu yang sama, atau
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat berupa pembuangan limbah
cair di lokasi yang sama, dll.
3. Tipicality, yaitu adanya kesamaan
jenis tuntutan antara perwakilan kelompok dananggota kelompok; Persyaratan ini
tidak mutlak mengharuskan bahwa penggugat mempunyaituntutan ganti rugi yang
sama besarnya, yang terpenting adalah jenis tuntutannya yang sama,misalnya
tuntutan adanya biaya pemulihan kesehatan, dimana setiap orang bisa berbeda
nilainya tergantung tingkat penyakit yang dideritanya.
4. Adequacy of Representation, yaitu
perwakilan kelompok merupakan perwakilan kelompok yang layak, dengan memenuhi
beberapa persyaratan:
a. Harus
memiliki kesamaan fakta dan atau dasar hukum dengan anggota kelompok yang
diwakilinya;
b. Memiliki bukti-bukti
yang kuat;
c. Jujur;
d. Memiliki kesungguhan untuk melindungi
kepentingan dari anggota kelompoknya;
e. Mempunyai
sikap yang tidak mendahulukan kepentingannya sendiri dibanding kepentingan
anggota kelompoknya; dan
f. Sanggup untuk menanggulangi membayar biaya-biaya perkara di pengadilan.
Mekanisme
pengajuan surat gugatan yang didaftarkan ke pengadilan, selain harus memenuhi
syarat formal sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata, harus memuat :
1. Identitas
lengkap dan jelas,
2. Definisi
kelompok secara secara rinci dan spesifik
3. Keterangan
tentang anggota kelompok;
4. Jika tuntutan
tidak sama karena sifat dankerugian yang berbeda, maka dalam satu gugatan dapat
dikelompokkan beberapa bagian atau sub kelompok;
5. Tuntutan atau
petitum ganti rugi, mekanisme pendistribusian dan usulan pembentukan
tim.
Setelah Gugatan
didaftarkan ke peradilan umum, segera setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan
gugatan kelompok dinyatakan sah, wakil kelompok memberitahukan kepada anggota
kelompok melalui media cetak/ elektronik, kantor pemerintah atau langsung
kepada anggota kelompok.
Adapun tujuan
dan manfaat pengajuan gugatan class action (gugatan kelompok ) adalah sebagai
berikut :
a. Agar
supaya proses berperkara lebih ekonomis dan biaya lebih efisien. Tidaklah
ekonomis bagi penggugat, tergugat, bahkan pengadilan sekalipun jika harus
melayani gugatan yang sejenis satu per satu. Manfaat ekonomis ini tidak saja
hanya dirasakan oleh penggugat, akan tetapi juga oleh tergugat, sebab dengan
pengajuan gugatan secara class actions, tergugat hanya satu kali mengeluarkan
biaya untuk melayani gugatan para pihak-pihak yang merasa dirugikan. Biaya
pengacara melalui mekanisme class actions akan jauh lebih murah daripada
gugatan yang diajukan oleh masing-masing individu, yang kadang-kadang tidak
sesuai dengan ganti kerugian yang diterima (judicial economy).
b. Mencegah
pengulangan proses perkara yang sama, dan mencegah putusan-putusan yang berbeda
satu dengan yang lainnya ataupun putusan-putusan
yang tidak konsisten.
c. Memberikan
akses kepada keadilan, dan mengurangi hambatan-hambatanyang terjadi bagi
penggugat individual yang pada umumnya berposisi lebih lemah (the rights of
groups of people who individually would be without effective strength to
bring their opponents into court). Apalagi jika biaya gugatan yang akan
dikeluarkan oleh para pihak tidak sebanding dengan tuntutan yang diajukan.
Melalui gugatan class actions ini, kendalakendala yang terjadi ini dapat
diatasi dengan cara saling menggabungkan diri bersama-sama dengan korban atau
penderita kerugian yang lain dalam satu gugatan saja, yaitu gugatan kelompok.
d. Merubah
sikap pelaku pelanggaran/tergugat dengan diterapkannya prosedur class actions
berarti memberikan akses yang lebih luas bagi para pencari keadilan untuk
mengajukan gugatan dengan biaya yang lebih efisien, dan kemudian akan
berpeluang untuk menumbuhkan sikap jera bagi mereka yang berpotensi untuk
merugikan kepentingan masyarakatyang luas (behaviour modification/to punish
corporate wrong doing, and to force corporates to pay for any harm they
have caused).
2. Gugatan Legal Standing
Dalam UU No. 23 tahun 1997 Pasal 39 yang
mnenyebutkan : “Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup
oleh orang, masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum
Acara Perdata yang berlaku’. Legal Standing dilakukan oleh Organisasi
Lingkungan Hidup sebagai perwakilan penggugat,namun tidak semua organisasi
lingkungan dapat mengajukan gugatan,melainkan harus memenuhi persyaratan,yaitu
:
1. Berbentuk Badan
Hukum atau Yayasan;
2. Menegaskan
didalam Anggaran Dasar nya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
3. Telah
melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan Anggaran Dasarnya paling singkat 2
(dua) tahun.
C.2. TINDAK PIDANA
LINGKUNGAN
C.2.1. PERKARA PIDANA LINGKUNGAN
Ketentuan tentang pidana diatur
dalam pasal 22 UULH-pasal 41-48 UUPLH yang berkaitan pula dengan pasal 8
UULH-pasal 8 dan 10 UUPLH. Keberadaan sanksi dalam hukum pidana adalahsebagai
ultimum remidium. Namun pengertian ini dalam hukum lingkungan telah bergeser
yaitu sanksi sebagai primum remidium yakni instrumen penegakan hukum yang
utama, seperti hal nya di Belanda. Pada umumnya, pada peraturan per UU an yang
sifatnya administratif mengandung sanksi pidana untuk menegakkan
ketentuan-ketentuan yang berlaku.
1. Perumusan Delik Lingkungan
Secara substantif, delik lingkungan
dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Perbuatan yang menimbulkan perubahan secara langsung atau tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik dan atau hayati lingkungan yang berakibat berkurang atau tidak berfungsinya hayati untuk menopang pembangunan berkelanjutan;
- Perbuatan memasukkan zat atau benda tertentu sehingg mencemari lingkungan (pencemaran)
- Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum lingkungan;
Rumusan tentang delik lingkungan
diatur dalam pasal 22 UULH-pasal 41-44 UUPLH yang mana unsur-unsurnya terdiri
dari:
- Barangsiapa
- Dengan sengaja atau karena kelalaiannya
- Perbuatan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup atau
- Perbuatan yang menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup
- Diatur dalam UU ini
- Diatur dalam UU lain
C.2.2.
Kedudukan Tindak Pidana Lingkungan
Dalam merumuskan tindak pidana lingkungan, hendak
selalu diingat bahwa kerugian dan kerusakan lingkungan hidup tidak hanya
bersifat nyata (actual harm), tetapi
juga bersifat ancaman kerusakan potensial, baik terhadap lingkungan hidup
maupun kesehatan umum. Hal ini disebabkan karena kerusakan tersebut seringkali
tidak seketika timbul dan tidak dengan mudah pula untuk dikuantifikasi.
Sehubungan dengan ini untuk generic crime
yang relative berat sebaiknya memang dirumuskan sebagai tindak pidana materil,
dalam hal mana akibat merupakan unsure hakiki yang harus dibuktikan. Namun
untuk tindak pidana yang bersifat khusus (specific
crimes) yang melekat pada hukum administratif dan relative lebih ringan,
maka perumusan yang bersifat formil tanpa menunggu pembuktian akibat yang
terjadi dapat dilakukan.
Yang menjadi unsure tindak pidana tersebut dapat
mencakup perbuatan yang sengaja, sengaja dengan kemungkinan dan kealpaan. Dalam
merumuskan tindak pidana lingkungan hendaknya selalu dipertimbangkan adanya dua
macam elemen, yakni elemen material (material
element) dan elemen mental (mental
element) yang mencakup pengertian bahwa berbuat atau tidak berbuat
dilakukan dengan sengaja, recklessness
(dolus eventualis atau culpa gravis)
atau kealpaan (negligence). Elemen
material mencakup: (1) adanya perbuatan atau tidak berbuat sesuatu omission) yang menyebabkan terjadinya
tindak pidana atau (2) perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar atau
bertentangan dengan standar lingkungan yang ada.[7]
C.2.3. Asas-asas Umum
dalam Tindak Pidana Lingkungan
Asas yang pertama menonjol adalah asas
legalitas, yang artinya pemidanaan harus berdasarkan ketentuan
perundang-undangan. Artinya dalam rumusan peraturan hukum pidana harus
terkandung adanya kejelasan yang berkitan dengan apa yang dikatakan sebagai
perbuatan-pe3rbuatan pidana di bidang lingkungan hidup(delik lingkungan),
tentang peradilan pidananya dan sanksi yang perlu dijatuhkan agar terdapat
kepastian hukum untuk memelihara lingkungan hidup dan sumber kekayaan alam
hingga dapat dinikmati oleh generasi-generasi yang akan datang.
Asas yang ke dua adalah asas pembangunan
yang berkesinambungan (the principle of
sustainable development), Pembangunan berkelanjutan memerlukan pula adanya
suatu system yang menjamin penataan terhadap hukum. Yang penting dalam hl ini
adalah meletakkan dasar bagi perkembangan penataan yang efektif dan mempunyai
kredibilitas. Untuk menjamin adanya penataan dan penegakan hukum, tanggung
jawab untuk melindungi kelestarian kemampuan lingkungan harus dirumuskan dengan
jelas dan dipahami.
Asas yang ketiga adalah asas pencegahan (the prectionaryprinciple), terhadap
pelanggaran delik formil pada UUPLH diupayakan tidak langsung menjatuhkan
penindakan yang berat, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan menyeluruh
dari yang teringan, sedang, dan yang terakhir yang terberat.
Asas yang ke empat adalah asas
pengendalian (principle of restraint)
yang juga merupakan salah satu syarat kriminalisasi, yang menyatakan bahwa
sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan terhadap tindak pidana lingkungan
apabila terdapat ketidak efektifan sanksi hukum administrasi, hukum perdata,
dan alternative penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan. Dalam
hukum pidana hal ini dikenal asas subsidaritas atau “ultima ratio principle” atau asas “ultimum remedium” atau “last
resort” atau merupakan terakhir kali.
Secara lebih konkrit melihat kalimat
dari penjelasan umum UU No.23 Tahun1997, penggunaan instrument penegakan pidana
lingkungan hidup baru dilakukan bila memenuhi salah satu persyaratan berikut:
1. Sanksi
administrasi, sanksi perdata, penyelesaian sengketa secara alternative melalui
negosiasi, mediasi, musyawarah di luar pengadilan setelah diupayakan tidak
efektif atau diperkirakan tidak akan efektif.
2. Tingkat
kesalahan pelaku relative berat
3. Akibat
perbuatan pelaku relative besar
4. Perbuatan
pelaku menimbulkan keresahan bagi masyarakat
C.2.4. Konsep Korban
dalam Tindak Pidana Lingkungan
Analisis
terhadap korban kejahatan semakin penting untunk menetukan politik (criminal policy) yang paling tepat dalam
rangka penanggulangan kejahatan. Dalam tindak pidana lingkungan, hal yang
paling mendasar adalah kualifikasinya sebagai tindak pidana ekonomi (economic crime) korban pertama dari
tindak pidana lingkungan sebagai tindak pidana ekonomi yakni kepentingan Negara
dan kepentingan masyarakat, karena tindak pidana ekonomi selalu berkaitan
dengan system ekonomi suatu bangsa. Bagi Indonesia hal ini tersurat dan tersirat
dalam pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian tindak pidana ekonomi sering disebut
juga sebagai crimes against constitution.
Kemungkinan korban ke dua adalah manusia perorangan atau kolektif yang
menderita baik fisik maupun mental dan korban selanjutnya adalah perusahaan
pesaing yang kalah efisien karena taat pada peraturan lingkungan yang
mengharuskan adanya pengolahan limbah dengan biaya yang besar. Korban potensial
lain adalah karyawan (employees),
karena bekerja pada suatu lingkungan yang tidak aman atau tidak sehat.[8]
Konsep
korban dalam tindak pidana lingkungan berkaitan erat dengan konsep kerugian dan
kerusakan nyata ( actual harm) dan ancaman kerusakan (threatened harm), sebab harus dipahami
bahwa kerugian atau kerusakan dalam tindak pidana lingkungan sering sekali
tidak terjadi seketika atau dapat dikuantifikasi dengan mudah. Dengan demikian
ada kategori korbanyang bersifat konkrit dan korban yang bersifat abstrak.
Disinilah pembicaraan yang sering bersinggungan dengan tindak pidana formil
dengan tindak pidana materil, tindak pidan specific
dan tindak pidana generic.
Masalahnya perbuatan sesorang tidak hanya “causa
impairmentof the quality of the naturl environment”, tetapi juga is likely to cause impairment of the quality
of the natural environment.”[9]
C.2.5. Sistem
Pemidanaan Tindak Pidana Lingkungan
Dalam
tindak pidana lingkungan, beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam pemidanaan
adalah, pertama, untuk mendidik
masyarakat sehubungan dengan kesalahan moral yang berkaitan dengan perilaku
yang dilarang. Kedua, mencegah atau
menghalangi pelaku potensial agar tidak melakukan perilaku yang tidak
bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup.
Atas dasar pemikiran di atas, menurut Muladi, Konsep Rancangan Kitab
Undan-Undang Hukum Pidana ( KUHP) telah maju beberapa langkah sebagai berikut:[10]
1. Jenis-jenis
pidana pokok tidak hanya pidana mati, pidana penjara, kurungan dan denda,
tetapi dikembangkan menjadi pidana mati, pidana penjara, pidana tutupan, pidana
pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja social (community service order).
2. Jenis-jenis
pidana tambahan yang semula hanya terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu,
perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman keputusan hakim dikembangkan
menjadi pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan atau
tagihan, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti kerugian, dan pemenuhan
kewajiban adat.
3. Apabila
dalam hukum positif (KUHP) tidak dimungkinkan adanya minimum khusus untuk
penjara dan denda, maka dalam konsep rancangan KUHP dimungkinkan penjatuhan
pidana minimum khusus.
4. Pidana
kumulatif yang semula hanya dikenal dalam tindak-tindak pidana di luar KUHP,
maka konsep rancangan KUHP diatur secara umum.
5. Dalam
Konsep Rancangan KUHP pidana denda dirumuskan dalam bentuk kategori-kategori (6
kategori).
Dengan
demikian secara antisipatif sebenarnya secara konseptual tidak ada masalah
seandainya ancaman pidana dalam tindak pidana lingkungan akan dikembangkan dan
tidak hanya mencakuppidana penjara dan/atau denda sebagaimana diatur di dalam
pasal 41,42,43,44,45,46, dan 47 UU No. 23 Tahun1997.
Mengingat
berat ringannya bahaya yang ditimbulkan oleh si pelaku dan dengan
mempertimbangkan faktor-faktor lain dalam pedoman pemberian pidana di atas,
maka jenis-jenis pidana yang dapat dikembangkan secara antisipatif (apabiola
KUHP baru belum terwujud, atas dasar Pasal 103 KUHP) adalah:[11]
1. Pidana
penjara dengan kemungkinan adanya minimum khusus.
2. Pidana
denda dengan kemungkinan adanya minimum khusus, yang mungkin diterapkan secara
kumulatif dengan pidana penjara; ketentuan minimum khusus yang meruakan
perkecualian tersebut hendaknya didasarkan secara jelas atas dasar specified special circumstances. Di
samping itu, berat ringannya pidana denda harus pula memperhitungkan gravitas
tindak pidananya dari kulvabilitas dari si pelaku. Dalam konsep rancangan KUHP
dinyatakan bahwa denda yang dijatuhkan terhadap korporasi , ditingkatkan satu
tingkat dari kategori yang ada (pemberatan).
3. Pidana
pengawasan yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan terhadap pidanay
bersyarat. Pidana ini cukup menguntungkan karena adanya kemungkinan untuk
menerapkan syarat-syarat khusus yang cukup fleksibel, asal tidak mengganggu
kebebasan beragama dan kebebasan berpolitik. Dalam syarat khusus misalnya saja
dapat diterapkan berbagai persyaratan untuk melakukan kegiatan atau tidak
berbuat sesuatu dalam rangka pencegahan terulangnya perbuatan perusakan dan
pencemaran lingkungan hidup.
4. Restitusi
dan kompensas. Dua hal ini batasnya sangat sempit. Dalam konsep rancangan KUHP
baru hal ini bisa diatasi dengan pidana tambahan dan syarat khusus pada pidana
pengawasan. Dalam hukum positif (KUHP), ganti rugi dan kompensasi bisa dicakup
oleh syarat khusupidana bersyarat sebagai mana diatur dalam Pasal 14e-14f KUHP.
Restitusi bnh jdan kompensasi yang merupakan monetary sanctions, hendaknya dijatuhkan benar-benar dengan
mempertimbangkan dua hal:pertama,
mengganti sepenuhnya keuntungan ekonomis yang diperoleh si pelaku sebagai hasil
tindak pidana. Kedua, menggantikan
sebagian atau seluruhnya biaya-biaya penyidikan dan perbaikan kembali berbagai
kerusakan atau kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan si pelaku.
5. Disamping
ketentuan tentang alas an-alasan pemberatan pidana yang umum yang lazim diatur
dalam huku pdana seperti perbarengan tindak pidana,residivisme dan sebagainya, untuk tindak pidana lingkungan
hendaknya dicantumkan alas an-alasan pemberatan pidana yang khas (specific). Misalnya apabila tindak
pidana lingkungan tersebut part of a pattern or practice of violation
of statutory or regulatory duty,di samping yang bersangkutan pernah dipidan
karena melakukan tindak pidana lingkungan hidup dan adanya kesengajaan. Di
samping berat ringannya akibat nyata yang ditimbulkan juga merupakan alas an
pemberat yang perlu dipertimbangkan.
6. Menjatuhkan
pidana kerja social (community sevice
rder).
7. Disamping
sanksi pidana (punishment atau straf) di atas, perlu dirumuskan secara
khas dan relative luas, berbagai system tindakan (treatment,matregel) sebagai sanksi tambahan dengan
mempertimbangkan hakikat kejahatan dan keadaan-keadaan yang menyertai
perbuatannya. System tindakan tersebut berupa perintah atau (order) yang mempunyai akibat
(seluruhnya atau sebagian atau salah satu) sebagai berikut:[12]
a) Melarang
si pelaku untuk melakukan atau turut serta dalam aktivitas yang dapat
menyebabkan terjadinya pengulangan atau penerusan tindak pidana.
b) Memerintahkan
untuk sementara atau seterusnya penutupan atau penghentian aktifitas,
pencabutan izin yng dikeluarkan untuk melakukan aktivias, menutup usaha, dan
menghapuskannya dari piagam perusahaan.
c) Memusnahkan
barang-barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana
d) Melarang
yang bersangkutan untuk melakukan kontrak-kontrak pemerintah, menerima subsidi,
dan kemudahan-kemudahan fiskal.
e) Perintah
untuk memecat dan memindahkan manajer dan mendiskualifikasi karyawan yang
terlibat tindak pidana dari suatu jabatan untuk jangka waktu tertentu.
f) Memerintahkan
terpidana untuk melakukan perbuatan yang dipertimbangkan dapat memperbaiki atau
menghindari kerugian atau kerusakan lingkungan hidup.
g) Memerintahkan
terpidana untuk mengumumkan fakta-fakta yang berkaitan dengan pemidanaan,
dengan cara yang ditentukan pengadilan.
Dengan
demikian, penyesuaian tetap mengacu pada Buku I KUHP, di samping dalam
batas-batas tertentu mengacu pada perkembangan tindak-tindak pidana di luar
KUHP, yurisprudensi, dan perkembangan internasional.
Atas
dasar kecenderungan internasional, disamping pidana kemerdekaan (imprisonment), perlu diperhatikan
jenis-jenis sanksi financial (financialsanctions)
seperti denda, sanksi bisnis (business sanctions)
misalnya penutupan perusahaan dan sanksi reparative (reparatory sanctions) misalnya kompensasi terhadap korban dan
perbaikan yang harus dilakukan atas kerusakan. Hal ini didasarkan atas
pengalaman bahwa tindak pidana lingkungan biasanya dilakukan atas dasar alas
an-alasan ekonomis dan dalam rangka aktivitas bisnis.[13]
C.2.6.
Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Lingkungan
UU
No. 23 Tahun1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengadopsi
pertanggungjawaban korporasi yang terdapat pada pasal 45,46, dan 47. Pasal 45 menyebutkan bahwa, apabila perbuatan
pidana atau tindak pidana yang dilakukan badan hukum atau korporasi serta oleh
pengurusnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 46, akan diberikan sanksi
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
Undang-Undang ini, terhadap pelaku pebuatan pidana atau tindak pidana
lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindak tata tertib sebagai berikut:
a) Perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau
b) Penutupan
seluruhnya atau sebagian perusahaan, dan/atau
c) Perbaikan
akibat tindak pidana, dan/atau
d) Mewajibkan
mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan/atau
e) Meniadakan
apa yang dilalaikan tanpa hak, dan/atau
f) Menempatkan
perusahaan di bawah pengampuanpaling lama 3(tiga) tahun.
[2] Hamid A. Attamimi, Peranan
Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara:
Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan
dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas
Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 287.
[3] Moh.
Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia,
LP3S, Jakarta 1998.
[4] Pan
Moh. Faiz, Human Rights Protection and
Constitutional Review, ISSM 2008, Belanda, 2007.
[5][5]
Lothar Gundling, Public Participannt in
Environmental Decision Making, dalam Trends in Environmental Policy and law, IUCN.
Gland, Switzerland, 1980.
[6]
Lothar Gundling, Public Participannt in
Environmental Decision Making, dalam Trends in Environmental Policy and law,
IUCN. Gland, Switzerland, 1980.
[7]
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan
Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
[8]
Ibid., hlm. 195
[9]
Ibid., hlm.196.
[10]
Muladi, op.cit,. hlm. 198.
[11]
Ibid., hlm. 198-199.
[12]
Ibid., hlm. 200.
[13]
Ibid, hlm. 201
0 komentar:
Posting Komentar